"Besok Simon pulang, kalian harus bicara, jika terus diam maka kalian tidak akan saling mengerti." Hugo mengambil alih Liam setelah selesai dimandikan oleh James, pria itu meringankan beban James dengan membantu Liam berpakaian.
James menghembuskan napas pelan mendengar saran Hugo, bukannya tidak mau bicara pada Simon, James hanya tidak mau berujung menangis jika mengeluh pada suaminya. Ia takut Simon akan tersinggung, dan bagaimana jika ia kelepasan?
Berdebat dengan Simon itu sangat melelahkan bagi James, bukan hanya otaknya yang lelah sebab terus berpikir cara membalas kalimat-kalimat Simon, tetapi jiwanya juga.
"Bagaimana menurutmu jika aku menggugatnya?"
Tangan Hugo yang sebelumnya tengah mengaitkan popok Liam terhenti, ia menoleh sejenak pada James. "Bercerai maksudmu?"
"Ya. Aku terlalu bergantung padanya, aku harus mulai hidup atas kemauanku sendiri jika ingin menghargai usahaku."
"Liam membutuhkan ayahnya—"
"Aku ayahnya! Aku orangtuanya! Hanya aku, Hugo! Simon tidak memiliki peran apapun." James terduduk di kursi kerja Simon dan menutup wajahnya, sementara Hugo tetap melanjutkan kegiatannya.
Memang apa bedanya hidup dengan Simon dan tanpa Simon? James bisa mencari uangnya sendiri, ia bisa mengasuh Liam sendiri, ia juga tidak harus melayani Simon, mencuci bajunya, menyiapkan segala keperluannya, dan memasak untuknya. James tidak harus dimaki hanya karena Hugo membantunya.
Tanpa sadar Hugo telah berdiri di depan laki-laki itu bersama Liam dalam gendongannya. "Coba pikirkan sekali lagi. Aku tidak sedang membela Simon, tapi kau tidak boleh mengambil keputusan hanya dengan memikirkannya satu kali."
Hugo menyerahkan Liam pada James, lalu mengecup dahi itu singkat. "Tidurkan dia dan segeralah makan, aku pulang."
——o0o——
Benar saja, Simon pulang dengan penampilan yang sedikit berantakan, entah apa yang telah pria itu alami di perjalanan panjangnya. Sunyi menyambut langkah pertama sosok tersebut, pandangannya menyapu seluruh sudut yang dapat ia lihat, tak ada eksistensi lain yang ia temukan. Apakah James dan Liam tidur?
Simon meletakkan tas kerjanya ke sofa dan melangkah ke dapur, meneguk segelas air dengan rakus, tenggorokannya kering sebab terjadi macet di beberapa titik. Ia tak memiliki persediaan air, menepi pun rasanya mustahil, jalanan begitu padat.
"Kupikir kau akan pulang malam, maaf ya." Simon menoleh pada James, wajah laki-laki itu tampak sembab dan sedikit kacau.
James berdiri tepat di hadapan Sang suami, membantu melonggarkan dasi pria itu dan membuka kancing atasnya, ia tak menatap Simon sama sekali. "Apa hidupmu baik-baik saja? Kau mengalami kesulitan?" tanyanya.
Dahi Simon berkerut, "Tidak, hidupku baik."
Yang lebih muda mengulum bibir, ia menurunkan tangannya dan mundur selangkah. "Kau ingin makan apa? Biar ku buatkan."
Tidak ada jawaban. Dalam keheningan itu, Simon menerka-nerka mengapa sepasang mata terkasihnya begitu redup, hanya kesedihannya yang menyala-nyala. Jarang sekali James menanyakan bagaimana kehidupannya sejauh ini, apa yang sedang laki-laki itu alami sebenarnya?
"Apa yang membuatmu seperti ini?"
Tangan itu hendak meraih Sang istri namun James segera menepisnya. Padahal ia sudah berusaha menghilangkan jejak agar Simon tidak bisa menebak emosinya, tetapi mendengar pertanyaan itu saja sudah membuktikan bahwa Simon menyadari kesedihannya.
James hendak melewati pria tersebut untuk menyiapkan makanan jika saja Simon tidak menarik paksa dirinya duduk di sofa. Lalu hening. James masih enggan bicara sementara Simon yang masih berdiri hanya menunggu dan tidak berniat bertanya, membiarkan James menggeluti pikirannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CARDIGAN || JAEMJEN
Fiksi Penggemar[BXB] [M-preg] [M] "She talks about you like you put the stars in the sky, Simon." - Aiden Jameson Marjorie. "And I talk about you like you gave me the whole world with your hands, James." - Simon Issac.