Six

849 79 1
                                    

Esoknya aku diperbolehkan pulang oleh dokter Carolina.

"Kalau ada apa-apa mengenai keadaanmu, jangan sungkan untuk menghubungiku, ya."

Dokter Carolina, harusnya dokter mengatakan itu kepada waliku yang jelas-jelas ada disampingku.

"Ah, baik kak Lina."

Langsung saja kujawab agar tidak memakan waktu. Dengan begitu, aku, kedua orang tuaku, ditambah dengan eksistensi baru, yaitu Kesya yang sudah resmi jadi temanku kemarin, pulang ke rumahku.

Ayah menyetir di depan, ditemani ibu di sampingnya. Aku dan Kesya duduk di belakang. Aku menatap ke arah luar, memandangi pemandangan jalan raya, manusia, pepohonan, kendaraan yang dalam waktu 10 detik, ada saja yang menyalip.

Perlahan tapi pasti, dengan udara yang segar, aku menyeringai pasti, pasti akan sampai di rumah dengan lancar tanpa ada hambatan.

"BACOT KAU! MAJU SINI KUCING GEMUK!!"

Ini yang dinamakan tanpa ada hambatan '-'.

"Aduh, apa-apaan sih remaja berseragam di depan? Ngapain juga berkelahi di tengah jalan!"

Ibu bahkan mulai terlihat kesal. Sementara aku hanya menampilkan ekspresi datar penuh beban.

Bug Bug Bug Bug

"DASAR ANJING!"

"KAU BABI!"

"HEH! MARZUKI SIALAN!!"

BUG

"BOG-HAH?!"

Kalau seperti ini situasi dan kondisinya sih, kapan bakalan sampainya coba?!

"Dita, Dita, sepertinya tawuran di depan itu tawuran antara gengnya si Romeo dan Xander deh."

"Tcih, mau geng Roma Kelapa kek, geng Sandelphone kek! Aku hanya ingin sampai di rumah lalu tidur!"

Akh...puncak kelelahanku. Begitu ekstrim jalur hidup ini, huh.

"Tenang saja Dita, kita akan segera sampai di rumah."

Entah kenapa, ketika ayah berbicara, auranya jadi gelap, segelap masa lalu ragaku yang diculik oleh Sandra.

Ayah tiba-tiba keluar dari dalam mobil.

"Ya ampun, habislah para bocah kencur itu, hihihi!"

Dan entah kenapa, tawa ibu terdengar menyeramkan ketimbang tawa tante kunti.

"Mana pemimpin geng masing-masing?"

Ketika ayah berdiri di dekat kumpulan remaja itu, aku bisa merasakan aura aneh dari tubuh ayahku.

"Saya! Memangnya ada perlu apa, huh? Menjauh dari sekitar kami kalau tidak mau terluka, paman!"

Bocah sialan! Sepertinya dia meremehkan ayahku! Ugh! Anak-anak zaman sekarang sepertinya merupakan titisan iblis semua deh.

"Bocah sialan. Kamu pikir kamu siapa sampai berani melawan saya?"

Ayah langsung mendekat tanpa mereka sangka dan menarik tubuh pria, hm, mungkin saja dia adalah Sandelphone itu.

Bruk!

"XANDER!"

Pekik semua anggota gengnya. Sementara ibuku malah mulai terlihat merona. Mungkin tersipu dengan kehebatan ayah.

Apa ini hanya perasaanku saja?

Rasanya aku seperti melihat ayah versi masa mudanya.

Apa jangan-jangan dulu ayah adalah seorang mantan berandalan sekolahan?

Yang KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang