Malam itu, setelah makan malam, Selene kembali ke kamar asrama Slytherin. Namun, meskipun dia sudah berguling kesana kemari di kasurnya, dia merasa terlalu gelisah untuk bisa memejamkan matanya. Ia masih terbayang dengan kilatan cahaya hijau tadi siang. Dia tahu bahwa dia perlu menenangkan dirinya, tapi bagaimana caranya?
Ia berbaring di atas tempat tidurnya, menghadap ke langit-langit kasur. Setelah beberapa saat, Selene memutuskan bahwa dia tidak akan bisa tidur. Dia pun bangkit, mengenakan mantelnya, dan meninggalkan kamar asrama. Ruang rekreasi Slytherin masih ramai ketika ia melewatinya. Beberapa anak mengerjakan tugas, sementara yang lain mengobrol di dekat perapian. Dia beruntung kali itu, tak ada yang melihatnya, sehingga dia bisa dengan nyaman berlalu.
Selene melangkah di sepanjang koridor dengan tujuan yang pasti, ke tempat dimana ia sering merenung saat malam hari, menara astronomi. Karena orang-orang di asramanya tidak bisa diajak kompromi, ia jadi tidak nyaman berdiam diri di sana. Sementara itu, menara astronomi yang cenderung lebih sepi dan cukup jauh dari asrama mana pun, sangat menguntungkannya. Belum lagi dengan pemandangan langit yang indah.
Sampai di sana, Selene menemukan pintunya terbuka. Dia memasuki menara tersebut dan melangkah ke atas untuk mencapai balkon. Dia merasa udara malam yang dingin menyejukkan wajahnya yang panas karena kecemasan. Tak seperti tahun lalu dimana para Dementor berkeliaran, tahun itu tampaknya sedikit lebih baik.
Dengan duduk di balik reling balkon, Selene mulai memandangi bintang-bintang dengan mata penuh kekaguman. Ia mengeluarkan kakinya dibalik pagar besi, membiarkannya menjuntai dan terbelai angin malam. Dia selalu merasa terpesona oleh keindahan bintang-bintang yang bersinar. Saat itulah dia merasa dirinya begitu kecil di antara semesta yang begitu besar.
Muncul suara derit kayu di belakangnya setelah bermenit-menit dia menikmati pemandangan itu. Dia menoleh ketika menemukan suara yang familiar, yang entah kenapa sering sekali didengarnya akhir-akhir ini. "Jadi tempat merenungmu antara di pinggir danau dan menara ini, ya?" tanyanya, berjalan menghampiri gadis itu. Draco Malfoy duduk di sampingnya dengan senyuman. Rambutnya bersinar secara ajaib ketika terkena cahaya bulan, tampak bukan seperti manusia. "Kenapa setiap kau sendirian, kau terlihat jauh lebih bersinar?"
Selene terkekeh geli. Malfoy suka sekali mengeluarkan kata-kata yang tak diduganya. "Aku tak merasa begitu." Gadis itu menggeleng pelan.
"Tapi menurutku begitu," kata Malfoy, menyandarkan kepalanya pada pagar besi. "Kau tidak bersama teman-temanmu? Si rambut semak itu?"
Selene mengeryit. "Rambut semak?"
"Kau tahu, aku sedang mengurangi menghina orang."
Selene terkekeh. "Well, Hermione sedang melakukan sesuatu tentang peri rumah. Dan aku malas sekali kalau sudah disuruh membaca bertumpuk-tumpuk buku yang membosankan."
"Bagaimana dengan buku yang kuberikan? Kau sudah membacanya?"
Gadis itu mengangguk. "Aku sudah menyelesaikan semuanya. Sepertinya Victor Hugo akan jadi novelis favoritku yang baru."
"Mengalahkan Jane Austen?" pancingnya. Selene menggeleng dan menyengir sebagai jawaban. Malfoy mengalihkan pandangannya dari Selene ke langit penuh bintang. Bulan purnama bersinar di antaranya. "Aku tidak tahu kalau kau sangat menyukai aku."
"Hah?" Selene mengeryit.
Lelaki itu tertawa, menunjuk pada barisan bintang yang membuat bentuk tertentu. "Draco," katanya. "Lima belas bintang yang membentukku."
Selene menatap ke langit dengan takjub. Dia tidak pernah tahu kalau ada rasi bintang bernama Draco di atas sana. "Kukira namamu berasal dari naga—dragon."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Friend of Mine II
FanfictionSelene tidak tahu apakah ia dan Draco Malfoy sudah menjadi teman atau itu hanya harapan palsunya semata. Namun lelaki itu sangat membingungkan.