"Aku tidak memasukkan namaku."
"Aku tahu," kata Selene jengah. Dia tidak tahu sudah berapa kali Harry mengatakan itu selama berhari-hari setelah namanya diumumkan di depan tiga sekolah karena menjadi salah satu peserta Turnamen Triwizard, tapi dia merasa sudah mual dan lelah mendengarnya. "Kalau kau mengatakan itu sekali lagi, akan kupukul kepalamu!"
Selene tahu bahwa Harry tidak mungkin melakukan hal itu, belum lagi ada garis batas usia yang sudah disaksikan sendiri bahwa tidak akan bisa dibohongi meskipun dengan ramuan dan sihir penuaan. Namun yang telah ia pelajari sejak empat tahun berteman dengan Harry Potter adalah, tidak ada masalah tanpa ada Harry. Dia sudah menghadapi anjing berkepala tiga saat kelas satu, membeku karena Basilisk saat kelas dua, babak belur karena Dedalu perkasa saat kelas tiga, dan dia sudah menduga-duga hal apalagi yang akan terjadi di tahun keempat mereka.
"Aku tidak tahu mengapa ada namaku di sana," jelas Harry lagi, dan yang mau mendengarkannya hanya Selene yang kurang kerjaan dan Neville yang sedang membaca buku herbologinya yang baru. Mereka duduk di bawah pohon beech di tepi danau, menikmati udara yang sejuk dan pemandangan pepohonan yang berubah kemerahan.
"Tidak ada yang tahu kurasa," kata Selene, akhirnya mengeluarkan novelnya agar dia tidak ikut emosi karena mendengar keluh kesah Harry terus. "Tapi coba pikirkan, siapa yang mau kau terbunuh dalam situasi itu kecuali seseorang."
"Voldemort?" celetuk Harry. Selene berjengit pelan, tetapi Neville hampir mencemplungkan dirinya ke dalam danau saking kagetnya. "Tapi bagaimana?"
Selene mengedikkan bahu. "Mungkin salah satu pengikutnya telah menyamar dan memasukkan namamu di sana."
Gadis itu mendengar Harry menggeram kasar dan mencongkel-congkel tanah dengan keras. Selene tahu betul mengapa Harry sangat kesal. Beritanya sudah tersebar kemana pun, bahkan di koran-koran Daily Prophet dengan amat mendramatisir. Seorang jurnalis bernama Rita Skeeter telah membuat kesan bahwa Harry adalah anak yang menangisi orang tuanya sepanjang malam dan lain sebagainya, yang menurut Harry itu membuat citranya jadi jelek sekali. Belum lagi Ron juga ikut-ikutan marah padanya, mengira Harry berbohong dan benar-benar telah mencalonkan dirinya.
Seluruh Hogwarts sama seperti Ron, mereka kesal terhadap Harry Potter karena sok ngartis, terutama anak-anak Hufflepuff karena menurut mereka Cedric jauh lebih baik dari Harry. Draco Malfoy juga ikut memanas-manasi dengan membuat lencana 'DUKUNG CEDRIC' yang dapat berubah menjadi 'POTTER BAU' setiap Harry melewati siapapun yang memakainya. Selene pun sempat ditawarkan, tapi ia jelas menolak. Dari sudut pandang manapun, Selene melihat ini sebagai sesuatu yang tidak menguntungkan.
Omong-omong soal Draco Malfoy, Selene belum berbicara dengannya lagi karena sibuk menemani Harry kemana pun ia pergi. Selene tahu rasanya sendirian dan dikucilkan, jadi dia akan membantu Harry melewati masa yang sulit ini. Sementara itu, Hermione juga berusaha menemani Ron untuk mengembalikan akal sehatnya dan tidak meledak-ledak setiap nama Harry disebut. Semoga saja hubungan pertemananan ini tidak berakhir.
"Hei, hei," cicit Neville, menunjuk ke arah belakang mereka. "Maaf, tapi dari tadi dia terus melihat ke arah sini."
Selene berharap bahwa Ron yang datang dan mau menyelesaikan masalah ini dengan Harry. Namun saat ia berbalik, mereka malah mendapati lelaki berambut pirang berjalan ke arah mereka, sendirian.
"Malfoy?"
"Ngapain kau kesini?" tanya Harry protektif. Ia berdiri secepat kilat, mendahului Selene dan Neville.
Malfoy menyeringai kecil, memasang wajah mengejek dan berkali-kali dengan sengaja membusungkan dadanya, menunjukkan lebih jelas lencana POTTER BAU-nya. "Jangan temperamental begitu, Potty. Aku cuma mau pinjam pelayan setiamu, sebentar." Malfoy melirik Selene. Ia mengulurkan tangannya, berharap gadis itu mau mengambilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Friend of Mine II
FanficSelene tidak tahu apakah ia dan Draco Malfoy sudah menjadi teman atau itu hanya harapan palsunya semata. Namun lelaki itu sangat membingungkan.