Chapter 11 | Berkunjung ke Rumah Ferdi

1 1 0
                                    

Ruang tamu bernuansa minimalis, dengan paduan mint dan salem begitu menyamankan. Beberapa foto keluarga terpajang rapi di beberapa bagian dinding, dari potret Ferdi dan orang tuanya mereka tampak sebagai keluarga kecil yang bahagia. Netraku sedikit berembun, teringat Papa, teringat tentang keluargaku. Seandainya aku bisa berkumpul setiap hari seperti itu.

“Eh, ini kalo gak salah Kencana, kan?” tanya Tante Nirma, Mamanya Ferdi saat aku melangkah ke dekat sofa. Ternyata beliau masih mengingatku, padahal kami hanya bertemu setiap pembagian rapor dan kenaikan kelas saja.

“Iya, Tan.” Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu mengecup punggung tangan beliau.

Kemudian Tante Nirma beralih pada Wisni, “Kalo ini siapa, ya? Rasanya gak asing juga wajahnya.”

“Saya Wisni, Tante.” Dia pun turut menyalami Mamanya Ferdi.

Tiba-tiba Ferdi menyambar sambil melesat ke dekat Mamanya dan menambahkan, “Pasnteslah Mama ngerasa nggak asing, dia juga kan dulunya temen sekelas Ferdi. Ditambah temen sebangku Kencana.”

Tante Nirma pun terkekeh, “Owalah, iya-iya inget. Kamu yang selalu jadi nyamuk kalo mereka berduaan, kan?”

Ya Tuhan, Tante Nirma ini cukup iseng juga ternyata. Berarti Ferdi belum pernah cerita mengenai gadis yang ditaksir putranya, dan Tante Nirma malah menyangka aku dan Ferdilah yang ada sesuatu. Aku memencet ujung hidung, canggung mendengar hal tersebut. Wisni pun tampak kurang nyaman, padahal yang dilontarkan Tante Nirma itu terdengar bernada kelakar saja.

“Eh Mama, ini. Udah ya, jangan gosip,” larang Ferdi sambil merengkuh pundak Tante Nirma, lalu mengajaknya ke dapur sambil melangkah, “mending kita siapin minuman buat mereka, ya. Kasian kehausan.”

Tante Nirma menutup mulutnya, “Aduh, Mama sampe lupa. Hayu!” katanya sambil turut melangkah, lalu menoleh sejenak padaku dan Wisni, “Eh kalian duduk dulu aja, ya,” imbuhnya sambil tersenyum riang.

Kini aku tahu, dari mana Ferdi mendapatkan senyum yang seolah tanpa beban itu, persis menyerupai segaris lengkung bibir Mamanya.

Aku dan Wisni pun menghempaskan bokong di kursi bermotif salur-salur dengan warna soft toska dan violet. “Kita ke sini mau ngapain, An,” tanya Wisni, sesaat setelah mereka ditelah pintu dapur.

“Itu Ferdi ngadain makan-makan gitu, katanya itung-itung syukuran kemenangan tim futsalnya. Sebagai temen terdekatnya dia ngajak kita.” Aku menimpali sambil merogoh saku baju untuk mengambil ponsel dan mengabari Mama.

“Harusnya aku nggak ikut tadi.” Wisni terdengar menyesali kedatangannya.

Baru saja hendak menimpali, suara yang tak asing bagiku menginterupsi dengan mengucapkan salam.

Aku dan Wisni pun menjawabnya, Wisni menatapku sekilas. Dia tahu aku mengagumi cowok itu, tetapi soal pertemuan tak sengaja di perpustakaan dan kemarin tidak mengetahuinya.

“Ferdinya mana, Purnama?” tanya Kak Dirga sambil melangkah masuk.

“Em, ke dapur, Kak.”

Dia duduk berseberangan denganku sambil mengulas senyum. Kemudian meletakkan keresek hitam yang dibawanya di meja.

Seharusnya sudah bisa menduga, Ferdi akan mengajak Kak Dirga. Sekarang, diri ini yang salah tingkah. Berhadapan seperti ini, membuat dia bisa leluasa memandangku. Dan aku tak bisa bebas bergerak, seakan mati gaya. Kumainkan gawai tanpa tujuan jelas, hanya untuk menetralkan kecanggungan.

Namun, Kak Dirga malah bertanya. “Eh, ini temanmu?”

Aku segera mengangguk, berusaha menatapnya setenang mungkin. Menyamarkan sorot kagum di netraku. “Namanya Wisni, Kak.”

My Beloved Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang