Hari-hari melelahkan selama pelantikan anggota baru Mading, seabreg tugas sekolah, dan persiapan untuk penampilanku di pentas seni. Sungguh tak sebanding dengan buncah bahagia yang kini memenuhi relung dada. Akhirnya HUT RI yang kutunggu-tunggu pun tiba.
Selain itu, tadi pagi sesaat setelah aku bangun tidur. Aku terus bersenandung, sebab berita bahagia dari Ferdi membuat hati ini selayaknya taman dipenuhi bunga bermekaran.
~☆~
Rangkaian acara HUT RI di sekolahku sekarang memang lebih meriah. Setelah pelaksanaan upacara. Dilanjutkan dengan beberapa perlombaan, dan acara puncaknya diisi dengan berbagai pertunjukkan pentas seni.
"An, siap, ya! Abis ini kamu tampil," kata Anita sambil menepuk pundakku.
Aku yang tengah asyik menonton pertunjukkan band sekolah segera beranjak. Meraba-raba tas selempang, tetapi yang kucari tak ada.
Melihatku yang masih berdiri di tempat membuat Anita mengernyit, dia tampak menuntut penjelasan melalui tatapannya.
"Kertasnya gak ada, Ta. Bentar," pintaku berusaha menetralkan keresahan, "Kalian liat nggak?"
"Nggak, An. Emang kamu simpen di mana?" Wisni yang menyahut.
Sementara aku masih kebingungan, tanganku semakin lincah mencari. Merogoh seluruh saku yang ada di pakaian, mana tahu aku lupa malah melipatnya, kan? Namun, nihil kertas itu tak juga kutemukan.
"Coba deh inget-inget lagi, An. Mungkin lupa di rumah?"
Aku menggeleng, masih ingat betul sudah membawanya. Bahkan tadi pagi sempat berlatih di kelas, aku berjalan sambil berpikir kemungkinan keberadaan benda itu.
"Ada salinan di hape gak?" Anita mengekori langkahku yang tergesa-gesa.
Lagi-lagi aku menggeleng, aku tak bisa banyak bicara saat berpikir begini. Hingga vokalis band terdengar menutup penampilannya, menandakan saatnya aku naik ke panggung.
"Ta, tolong geser urutan tampilku sama yang lain. Please ...."
Aku tak mau menjadikan penampilanku berantakkan, terlepas dari hadirnya dia atau tidak. Hm, apa dia akan datang? Kenapa malah sibuk memikirkannya, penting sekarang kertas itu bisa segera ditemukan. Lebih dari itu semua, aku harus bisa bertanggung jawab atas apa yang telah kusanggupi. Lagi pula diri ini tak mau terlalu melambungkan harap, sebab kecewanya akan terasa menyayat.
Aku terburu-buru melangkah di koridor menuju kelasku. Memeriksa laci meja dan area sekitarnya, tetap tak ada. Namun, aku enggan menyerah, benda itu harus ditemukan! Hingga aku terus mencari ke tempat-tempat yang dilalui atau disinggahi sebelum menyaksikan pentas seni, masih juga tak ada. Tuhan, di mana lagi aku harus mencarinya? Aku kembali berusaha mengingat-ingat sambil menempelkan telunjuk di antara kedua alis. Ah, ada satu tempat lagi yang belum kuperiksa, ini harapan terakhirku.
Segera kulajukan kaki ke sana, saat tiba di depan perpustakaan. Tampaklah beberapa murid baru keluar dari sana. Sejenak berdiri, rentetan aktivitasku di sini kembali berputar di kepala. Hingga sampai pada saat mengenakan sepatu, aku menjentikkan jari dengan senyum mengembang. Ingat dengan jelas meletakkan kertas itu di lantai.
Aku mulai memperhatikan sekitar rak sepatu dan beranda perpustakaan, sampai tong sampah pun kuperiksa. Mungkin saja ada orang yang memungut dan membuangnya, kan? Karena mengira itu sekadar kertas. Kututup hidung, khawatir ada bau tak sedap dari sana. Namun, masih tak kutemukan.
"Tuhan, ke mana lagi aku harus mencari?" gumamku sambil terus mengingat-ingat.
Apakah ada tempat yang terlewatkan? Aku mengedarkan pandangan, hingga tatapanku jatuh pada kertas yang dipegang oleh seorang cowok sambil bersandar di dinding. Aku masih ingat betul hiasan dedaunan yang iseng kugambarkan di belakangnya, itu pasti milikku.
Aku segera menghampirinya, lalu berucap. "Maaf, Kak."
"Iya?" timpalnya sambil menurunkan kertas yang menghalangi wajahnya.
Aku tertegun, netraku seakan terkunci oleh pandangannya yang menusuk, tetapi menawan. Wajah ini? Rupa yang sering kupandangi dalam layar gawai, lengkung bibir yang masih tampak serupa. Persis seperti saat terakhir kali aku melihatnya secara langsung.
Tiba-tiba, aku tak sanggup berkata-kata. Lidah ini terasa kelu, jantung pun ikut bertalu-talu. Tuhan, ini nyata atau mimpi? Jika mimpi, aku ingin terus tertidur saja. Supaya terus bisa bersamanya seperti sekarang.
"Hai," katanya sambil menggerak-gerakkan telapak tangan di depan wajahku. "Kok malah senyum-senyum? Ada apa, ya?"
Ya, Tuhan. Aku kedapatan menatap kak Dirga tanpa berkedip sambil tersenyum, harus ke mana kubuang muka ini.
"A-nu. Eh itu, Kak." Telunjukku mengarah pada kertas yang dipegangnya.
Kak Dirga mengangkat tangannya. "Oh," katanya sambil tersenyum, manis, manis sekali. Aku seakan terbius senyumnya yang selalu tampak tulus itu.
"Ini punya kamu?"
Aku hanya mengangguk sambil sibuk menetralkan degup di dada yang kian meraja lela.
Kak Dirga pun menyodorkan kertas itu dan berucap, "Puisinya bagus, dan gaya tulisanmu mengingatkanku sama seseorang."
Aku mengulurkan tangan untuk menerima kertas itu. Entah seperti apa wajahku sekarang, dipuji langsung olehnya membuat pipiku menghangat. Seperti mendapat hadiah super 'wah', dan apa katanya? Dia ingat gaya tulisan seseorang? Apakah maksudnya gaya tulisan-tulisanku di Instagtam? Ah, kenapa aku jadi ke-GR-an seperti ini. Bisa saja, kan, ada yang orang lain juga yang mirip.
Baru saja aku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suara seseorang membuatnya mengalihkan pandangan.
"Dirga! Gila, lu gak pernah berubah, ya, Man. Disiplin terus!" seru seorang cowok yang wajahnya dulu sering kulihat. Masih alumni sekolah ini.
Kak Dirga terdengar terkekeh, lalu menghampiri kawannya.
Sementara aku masih tertegun menatap punggungnya, hingga suara Vina yang mulai membaca puisi terdengar melalui pengeras suara. Aku tersadar harus segera stay dekat panggung.
Di setiap langkah yang terayun, aku tak henti membayangkan seraut menawan yang masih memenuhi kepala. Seandainya ini bukan acara khusus peringatan HUT RI ingin rasanya kuganti puisi ini dengan tema lain, tema yang sesuai dengan yang kurasakan sekarang. Kini aku menyesal tidak membubuhkan nama penaku di kertas tadi, supaya dia langsung mengenaliku. Bahwa akulah orang di balik akun yang sering berbalas komentar di unggahan Instagramnya.
"Ah, sudahlah, bukankah kau ingin menikmati prosesnya, Kencana?" gumamku pada diri sendiri.
~☆~
Setelah berselang penampilan Vina dan dance dari salah satu kelas. Kini giliranku membacakan puisi, salam pembuka kuucapkan. Aku berkali-kali membenarkan mikrofon, aku bukan seseorang yang akan terserang demam panggung. Namun, kali ini rasanya berbeda, mengetahui kehadiran Kak Dirga membuat adrenalinku terpacu lebih tinggi. Seperti ada tantangan yang sangat menegangkan, apakah jatuh hati membuat segalanya berlebihan seperti ini?
Aku mulai menghela napas panjang, lalu memfokuskan tatapan pada kertas. Sejenak terpejam, lalu menatap para penonton.
Teruntuk Negeriku yang Bertambah Usia
Aku menjeda sejenak, lalu meneruskan membaca setiap bait puisi itu. Hingga sampai di bait terakhir.
"Mari, kita ucapkan bersama-sama!" kataku sambil mengisyaratkan ajakan dengan tangan pada penonton.
Selamat ulang tahun ibu pertiwi! Selamat bertambah usia Indonesia tercinta.
Seusainya, kuembuskan napas lega yang disambut tepuk tangan para penonton. Sejenak melirik ke arah beranda perpustakaan yang menghadap langsung ke arah panggung.
Senyumku mengembang ketika mendapati Kak Dirga dan Ferdi menatap ke arahku sambil turut bertepuk tangan dan tersenyum.
Wajahku bukan tipe yang mudah bersemu, tetapi bisa kupastikan rautku tak mampu lagi dikendalikan. Aku secepat mungkin turun dari panggung sebelum ekspresi yang mungkin berlebihan ini disadari banyak orang.
~☆~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Beloved Best Friend
Teen FictionPermainan Truth or Poetry membawa Kencana Agnishika makin dekat dengan gebetannya, Dirga Tanwira. Hal itu diperlancar karena campur tangan sahabatnya, Ferdi Atmaja. Namun, ketika mereka hampir meresmikan hubungan. Sesuatu kejadian yang melibatkan Fe...