5| Tersipu-sipu

3 1 0
                                    

"Tinggal mana?" kata Wisni buru-buru melepas ransel seraya duduk di sampingku.

Aku dan Aruni tergelak. "Lo ini, Wis. Ayolah gak usah terlalu terburu-buru gitu, minum dulu, kek," ujar Aruni.

"Kok tadi lama, ada apa emangnya?" selidikku seraya mengulas senyum.

"Ban motornya bocor," timpal Wisni singkat.

"Pantesan ...." Baru saja aku hendak meneruskan, sudah dipotong oleh Wisni yang wajahnya tampak memerah. Entah karena malu atau tersipu, aku tak tahu pasti.

"Maaf, ya. Gara-gara aku lama kalian jadi ngerjain berdua. Aku bagian mana? Sini biar aku lanjut, nanti keburu sore."

Aku mengulum senyum, memang sih jam sudah menunjukkan jelang Ashar, tetapi menurutku bukan itu alasan utama Wisni buru-buru mengalihkan pembicaraan.

Begitu pun Aruni, dia tampak menahan tawa. Temanku yang satu itu sangat mudah tergelak.

"Laporannya tinggal separuh, sih, Wis. Setelah ini kita bikin dokumen buat presentasi," terang Aruni sembari kembali memfokuskan mata pada layar laptopnya.

"Yaudah, aku minta data-data sama kirimin kopian materi. Biar aku yang nyusun file presentasinya, Run," pinta Wisni seraya mengambil ponsel dari tasnya. "Aku ada, kok, aplikasi Power Point di hape."

Aruni mengangguk, lantas menggerakkan cursor untuk mengirim file. "Via bloetooth, ya!"

Wisni pun mengangguk seraya mengotak-atik fitur di ponselnya.

"Kalo data penelitiannya ini," tambahku seraya menunjukkan buku di tangan ke arah Wisni.

"Oiya, tinggal aku foto aja, ya, An."

"Huum, eh, mending fotonya pake hapeku aja, biar lebih gampang, kan? Jadinya kamu gak perlu bolak-balik galeri sama bikin Power Point di satu hape."

"Siap-siap."

Beberapa jam berlalu, kami pun hampir menyelesaikannya. Aruni meregangkan tangan, meremas jemarinya yang tampak pegal, lantas kembali memeriksa laporan yang kami buat.

"Yeay, selesai!" seru Aruni seraya menyalin file laporan ke flashdisk.

Aku segera mengembuskan napas lega seraya menghempaskan punggung ke sandaran sofa.

"Aku juga tinggal dikit, nih!" timpal Wisni.

Aku menoleh ke arah gawai Wisni. "Mau aku diktein?"

"Nggak, An, tinggal kesimpulan, kok."

Beberapa menit kemudian, Wisni mengirimkan file ke laptop Aruni, lantas disalin ke flashdisk lagi.

"Besok kita tinggal print, sama jilid, deh! Soalnya gue gak punya printer." Aruni kembali meraih cangkir, lantas meneguk cairan kecokelatan di dalamnya.

"Sama aku aja, Run. Kebetulan rumahku deket, kok, ke tempat cetak."

Aruni pun tersenyum, mengacungkan sebelah jempol tangan seraya memiringkan kepala. Lantas Aruni dan Wisni menyodorkan uang untuk patungan biayanya.

Setelah selesai semuanya, tepat Pukul 16:30 WIB Aku dan Wisni pun pamit pulang pada Aruni dan ibunya.

~☆~

Setengah jam lebih kemudian, sampailah aku di rumah. Aku membuka pintu perlahan sembari mengucapkan salam, lalu berjalan masuk dan mendapati adikku duduk di kursi beledu sederhana bermotif kulit macan tengah memainkan gawai seraya menjawab salam.

"Main game terus," kataku seraya melirik sejenak ke arah gawai Hidan. "Mama ke mana?"

"Lagi mandi, Kak," timpal Hidan tanpa menoleh sama sekali.

Aku berlalu menuju kamar dan segera menyimpan ransel ke tempatnya. Segera mengganti seragam. Rasa lengket di tubuh membuatku ingin segera membersihkan diri, tetapi masih ada Mama di kamar mandi. Maklumlah, di rumah kami yang sederhana ini hanya tersedia sebuah WC. Sering kali aku dan Hidan berebut ketika pagi-pagi, hingga Mama memutuskan mengatur jadwal membangunkan kami. Tentunya akulah yang didahulukan, kata Mama perempuan itu lebih butuh waktu lama untuk bersiap. Memang begitulah adanya, meski sekadar memakai bedak tabur, mengusapkan minyak kayu putih di telapak tangan dan kaki, lantas menata rambut bisa memakan waktu yang tak sebentar. Kini terbersit ingatan ketika dulu aku dan Hidan beradu argumen menentukan siapa yang lebih dulu mandi. Aku tersenyum-senyum mengingatnya, hingga suara langkah menuju kamar Mama terdengar. Pastilah beliau telah selesai membersihkan diri.

Aku pun segera menyambar handuk, lantas buru-buru menuju WC. Sehabis mandi dan memakai pakaian, aku menyambar flashdisk sembari berjalan ke luar kamar.

"Mau ke mana lagi?" tanya Mama saat aku melewatinya yang tengah menyalakan rice cooker.

"Nge-print tugas, Ma," timpalku seraya berbalik menghadap beliau.

"Bagus, ya. Pulang sekolah sore banget, sekarang mau keluar lagi. Alasan nge-print tugas, tadi siang ngapain aja!"

Suara Mama lebih parau, tapi penuh penekanan. Sangat jelas terdengar nada amarah tertahan. Ya, aku memang salah karena tidak memberi kabar dulu akan pulang telat. Aku berusaha mengabaikan, lantas melajukan kaki menuju pintu. Sungguh, maksud hati hanya menghindari perdebatan dengan Mama, tetapi beliau tak akan semudah itu membiarkanku pergi meninggalkan emosinya yang mungkin sedang meletup-letup.

"Jawab, Kencana!" tegas Mama.

"Aku tadi ngerjain tugas kelompok dulu, Ma. Sekarang ini harus di-print, soalnya dikumpulin besok."

"Kamu itu perempuan, gak baik keluyuran! Kalo emang ada tugas, Mama sudah bilang harus izin dulu, izin dulu! Kenapa nggak nurut!"

Ayolah, Ma. Aku sungguh mengerjakan tugas, apa dia mengira aku berbohong? Lagian aku sudah besar, tahu mana yang baik atau tidak. Segala yang ingin kuucapkan hanya tertahan di ujung lidah, jika sudah seperti ini Mama sulit untuk dibantah.

"Jawab jujur, Kencana! Kamu dari mana? Kamu keluyuran ke mana!" bentak Mama seraya melotot.

Aku terenyak dan seketika menatap Mama. Tak sanggup lagi berdiam diri mendengar tuduhan-tuduhannya.

"Ma, aku bener-bener belajar kelompok. Sumpah. Kenapa mama gak percayaan, sih? Aku udah gede."

"Kamu udah gede, makanya Mama semakin kuatir. Kamu tahu pergaulan zaman sekarang gimana?"

"Mama, udah, ya. Keburu maghrib," kataku seraya melenggang meninggalkannya dengan timbunan kedongkolan di hati.

Hidan yang tengah memainkan ponsel, segera beranjak dari kursi. Sepertinya takut terkena damprat amarah Mama.

"Kamu gak kasian sama, Mama? Kamu gak tahu sulitnya jadi Mama, harus ngurus kalian berdua sendirian! Kamu harusnya bisa ngatur waktu."

Ayolah, kenapa Mama berlebihan seperti itu? Rasanya, kesal semakin berjibun, pun telinga seakan berdesing karena berondongan kalimat yang dilontarkan Mama.

"Ana, mohon, Ma. Percaya! Ana gak mungkin ngelakuin hal-hal negatif. Lagian aku gak minta papa kerja jauh-jauh, Kok. Itu keputusan kalian, kan? Coba kalo ada Papa pasti dia bisa ngertiin."

"Kamu gak tahu apa-apa! Semua kami lakukan demi kamu dan adikmu."

"Ya, demi kami. Tapi kami yang malah sering jadi sasaran omelan Mama. Mama yang selalu berlebihan menanggapi sesuatu!"

"Mama Cuma mau kamu gak terbawa pergaulan buruk di luar sana."

"Sudahlah, Ma. Pokoknya apa yang Mama pikirin itu gak bener." Aku segera melangkah, meninggalkan Mama dengan masih dikuasai kekesalan yang amat menyesakkan. Tidak bisakah Mama percaya? Hanya karena aku lupa izin saja, segala macam tuduhan dia lontarkan. Bahkan hingga di beranda pun masih terdengar omelannya. Aku menulikan telinga seraya terus melenggang pergi.

Di perjalanan, benakku mengawang, langit sore tampak tak seindah biasanya. Angin berembus cukup kencang, menerbangkan debu jalanan hingga aku mesti melindungi mata. Perlahan wajah Papa seakan tergambar di kepala. Rindu mulai merayapi hati, entahlah aku lupa, kapan terakhir kali papa menasihati dan menanyakan perkembangan belajarku. Aku rindu semua itu, Pa. Sangat Rindu. Rasanya ingin aku mengulang kembali ke masa itu, waktu sebelum hal itu terjadi hingga Papa memutuskan pergi sejauh itu.

~☆~

My Beloved Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang