Chapter 18 | Siapa Gadis itu?

0 0 0
                                    

Karena penasaran, aku pun segera menghampirinya. Saat tiba di sana aku mengikuti telunjuk Ferdi yang mengarah ke banner bertuliskan Festival Bakso Mambo Kuliner. Aku tersenyum lebar lalu mendahului berjalan ke sana.

“Udah gue duga, soal makanan aja ijo, kan, mata lo.” Dia tergelak. Begitu pun denganku yang nyengir ke arahnya.

Aduh, aku lupa harus jaga image, kan ada Kak Dirga. Oke, aku harus berlagak sewajar mungkin. Kulirik sekilas ke belakang, kedua cowok itu tampak berbincang yang entah apa sambil berjalan ke arahku. Alih-alih menunggu, aku malah terus berjalan. Memperhatikan setiap stand-stand yang menjual aneka bakso. Mulai bakso solo, bakso malang, bakso lembut, bakso urat, dan banyak lagi jenis bakso lainnya. Jika saja perutku selentur karet dalam artian sesungguhnya akan kucoba satu-persatu. Nyatanya tidak begitu, paling-paling cuma muat seporsi, selain itu budget-ku pun tidak memadai.

Puas menjelajahi area itu tanpa membeli, aku segera mengarahkan langkah menuju pusat Festival yang terletak dekat Mesjid Agung dan taman kota. Hingga Ferdi yang sedari tadi berjalan di belakangku berbicara, “Gue kira mau beli, eh liat-liat doang.” Tatapan sebal kembali terlukis di wajahnya.

“Udah, mungkin pengin puas-puasin dulu jalan-jalan kali,” bela Kak Dirga.

Aku tak menimpali dan malah mencebik, lalu melayangkan pandangan berterima kasih kepada Kak Dirga. Setelahnya kembali melenggang sambil menjepretkan kamera gawai saat menemui spot menarik.

“Keren,” pujiku saat tiba di depan hamparan pohon-pohon berbatang anyaman bambu menyerupai tembikar raksasa berdaunkan payung-payung geulis putih bercorak bebungaan dengan gradasi warna yang begitu serasi sebagai ikon utama festival kota tahun ini dan menarik perhatian pengunjung layaknya magnet yang berdaya tarik kuat dengan benda logam. Lautan manusia berdesakkan di sana, berebut untuk mendapatkan posisi terbaik dan mengabadikan momen itu.

Ada juga tas tiruan raksasa dan beberapa bentuk lain yang tak kalah menyedot perhatian masa untuk dijadikan spot foto.

Aku memotret ikon itu, lalu berjalan-jalan di bawah pohon-pohon payung geulis itu. Menatap kagum dan ingin segera berpose di dekatnya.

“Estetik banget,” kata Kak Dirga sambil melihat-lihat dan menyentuh sebuah pohon yang tergantung lampion-lampion yang terbuat dari anyaman bambu juga. “Segalanya serba tradisional, keren parah.”

“Pantesan ini anak ngebet pengin ke sini,” tambah Ferdi sambil menyikut lenganku, “Lo udah liat di postingan orang-orang, kan? Terus pengin liat langsung.”

Tepat sekali, aku memang ingin menyaksikan langsung. “Gak ke TOF, nggak Nasik, dong!” timpalku asal.

“Paham-paham.” Ferdi mengangguk-angguk.

“Iya, lah. Kalo semboyan orang-orang, mah. ‘Jangan ngaku orang Tasikmalaya kalo belum ke TOF’ alias Tasikmalaya Oktober Festival, kan,” tambah Kak Dirga menoleh sekilas ke arah kami.

“Nah, kan. Betul itu.” Aku menyetujui.

“Kayaknya ini kalo malem nyala juga, ya. Di dalemnya ada lampu, tuh.” Telunjuk Kak Dirga mengarah ke dalam lampion-lampion anyaman bambu itu.

Aku pun mendekat ke arahnya. “Eh, iya, ya.” Aku berjinjit demi bisa melihatnya. “Apa payung-payung itu juga menyala, ya?”

“Ya, liat aja, kalo ada lampunya pasti nyala. Kalo nggak, ya sebaliknya.” Ferdi yang menimpali.

Ish, Ferdi gak peka, sih. Aku, kan, Cuma nyari bahan obrolan supaya bisa berbincang sama Kak Dirga.

Aku pun berlalu karena melihat ada sebuah pohon yang tidak terlalu disesaki orang-orang. Setelah berdiri di bawahnya aku menatap Ferdi dengan seraut meminta sesuatu.

“Apa? Sini gawainya, mau dipotoin lagi, kan?” Ferdi sudah menyela ucapanku yang belum sempat terlontar.

Ralat, ya, Ferdi memang peka orangnya. Namun, tadi sepertinya pura-pura enggak peka, deh.

Ferdi meraih ponselku, lalu melangkah mundur. Momen tepat, sebab Kak Dirga sedang memperhatikan ikon lain. Huh, akhirnya aku bisa lepas dari tatapannya. Jujur saja, selalu ada detak yang berfrekuensi meningkat saat berada dekat atau dalam awasan matanya.

Aku segera memosisikan badan lurus ke depan, kaki agak terbuka dengan posisi kaki kiri lebih maju. Tangan kiriku mengacungkan jempol ke pinggir, yang satunya lagi kugenggamkan di tali tas selempang. Aku tersenyum, selanjutnya bunyi kamera dibidikkan pun terdengar.

“Lagi, ya,” pintaku sambil mengubah posisi jadi menyamping dengan telapak tangan tengadah dan tatapan ke atas menuju rindangnya payung geulis.

Selesai mengambil gambarku, tiba-tiba Ferdi berteriak. “Dir, sini!”

Kak Dirga pun segera menghampiri kami dengan menampakkan raut bertanya.

Ferdi segera mendorong bahu sepupunya menuju ke dekatku. “Sana, foto sama dia!”

Aku tak menyangka, inisiatifnya ini membuat senang sekaligus jantungku berdendang tak karuan. Oh, ayolah Kencana jangan sia-siakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa begini, kan? Oke tenang, jangan sampai ekspresi gugupku tertangkap kamera.

“Oh, oke,” timpal Kak Dirga sambil membenarkan posisi berdirinya.

“Deketan dikit!” titah Ferdi.

Kak Dirga menggeser kaki, begitu juga denganku.

“Lebih deket!” Instruksi Ferdi lagi. Dia sudah seperti fotografer menyebalkan saja. Ayolah, cepat jepretkan kameranya! Jangan sampai aku tak sanggup lagi menahan degup di dada.

Kami menurutinya, lalu dia berseru, “Nah, sip!” cowok itu mengambil gambar kami beberapa kali dengan pose berbeda.

“Ayolah wefie bertiga!” usul Kak Dirga.

“Ide bagus, tuh.” Ferdi pun bergabung dengan kami, lalu mengubah menjadi kamera depan. Beberapa jepretan pun dibidikkan, setelahnya Kak Dirga beranjak lebih dulu sambil meminta gawaiku dari Ferdi.

“Giliran kalian berdua.”

“Eh?” Aku yang sudah hendak beranjak terenyak merasakan tarikan tangan Ferdi.

Aku yang belum siap malah menatap wajah cowok tinggi gelap itu yang tersenyum lebar, lepas, dan begitu ceria. Kenapa jika begitu dia terlihat lebih manis, ya? Eh, apa barusan aku memuji cowok tengil itu. Diri ini kenapa, sih?

Sedangkan kamera sudah dibidikkan Kak Dirga.

“Candid, nih. Sip!” katanya sambil bersiap mengambil gambar lagi. “Lagi, ya. Ubah gaya!”

Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah kamera dan tersenyum, tanpa sadar mengikuti gaya tangan Ferdi.

“Sip, udah.”

Aku dan Ferdi segera melangkah menuju Kak Dirga yang tengah menunduk memperhatikan layar gawai.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Kak Dirga.

“Eh, kamu Dirga, kan?” tanya orang itu tanpa basa-basi.

~☆~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Beloved Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang