Chapter 15 | Ada Apa dengan Wisni?

0 0 0
                                    

“An, aku mau ngomong sesuatu.” Wisni tiba-tiba menarik lenganku ketika baru tiba di kelas.

Aku yang tengah asyik mengedit Foto untuk diunggah di Instagram seketika terperangah, ada apa dengan Chairmate-ku ini? Tidak biasanya dia bertingkah grasa-grusu seperti itu.

“Bentar,” kataku sambil menekan tombol simpan di aplikasi editing foto, “nah, udah. Mau ngomong apa?” Aku bersedekap di meja dengan tatapan penuh tanya.

“Nggak di sini.”

“Terus?”

Wisni malah melenggang pergi. Apa dia habis mimpi buruk semalam? Kendati masih heran, aku tetap mengekorinya. Langkah cewek penyuka warna putih itu tampak tergesa-gesa, menyusuri koridor kelas XII yang ramai oleh murid-murid.

Sesampainya di tempat tujuan, Wisni terduduk di bangku panjang tanpa menoleh padaku sekali pun. Bahkan saat langkahku mendekat, dia abaikan begitu saja. Mau tak mau akulah yang harus membuka percakapan. “Ada apa? Kamu gak biasanya, loh, kayak gini?”

“Aku nggak mau basa-basi. Berenti berupaya deketin aku sama Ferdi.” Nada suaranya terdengar datar, tetapi syarat akan peringatan.

Kini aku mengerti pokok permasalahannya di mana. Seketika kuhela napas sambil menegakkan punggung untuk mengumpulkan keberanian mengklarifikasi.

“Wis, dengerin dulu ....”

“Kamu gak perlu beralasan apa pun, salah aku juga kemarin ngeiyain ajakan kamu.” Dia mengempaskan punggung di sandaran kursi, matanya lurus ke depan.

Sedetik kemudian Wisni malah sudah berucap lagi.

“Sejak kerja kelompok di rumah Aruni, sebenernya aku mulai nyadar usaha kamu ngedeketin aku sama Ferdi. Makanya aku menolak ajakanmu nonton final Futsal waktu itu.” Dia menjeda kalimatnya, tampak memilah perkataan juga. “Tapi, kemarin, aku gak enak terus-terusan nolak. Meski tahu itu ajakan Ferdi, melihat kamu memelas seperti kemarin rasanya susah banget buat menghindar, dan kukira makan-makan biasa. Nyatanya apa?”

Deg!

Seketika aku ingat kejadian itu, saat Ferdi secara tidak langsung mengutarakan perasaannya.

“Aku juga nggak nyangka kejadiannya bakal gitu, Wis. Sumpah. Aku gak tahu soal game itu.”

“Terus kamu nggak peka pas aku isyaratin buat nolak ajakan Ferdi nganter pulang. Ini bukan soal game aja, intinya kamu gak perlu susah payah lagi berusaha nyomblangin kami. Aku nggak suka.”

“Tapi, Wis. Aku pikir nggak ada salahnya kamu buka hati buat cowok, kan? Aku tahu kamu belum pernah pacaran, mungkin ini saatnya kamu coba hal baru. Gak usah kaku-kaku amat gitu jalanin masa-masa SMA.”

“Kamu gak tahu apa-apa soal aku, An. Aku bukan kamu, dan kamu gak bakal ngerti meski aku jelasin sekali pun.”

Baru kali ini aku mendapati Wisni semarah ini, sungguh. Aku tak menyangka karena misiku bisa berakibat fatal. Perkataannya barusan menimbulkan desir perih di hatiku. Ya, ternyata aku belum mengenal dia sepenuhnya. Sepertinya dua tahun tak cukup untuk bisa mengenal baik cewek dingin dan tertutup ini.

“Stop berusaha mendoktrin aku soal hal-hal berbau pacaran, berenti berusaha deketin aku sama dia. Kalau kamu nggak mau pertemanan kita jadi korbannya.” Dia beranjak sambil membenarkan ranselnya, tak sekali pun dia labuhkan tatapannya kepadaku. Namun, entah kenapa setiap perkataan yang Wisni lontarkan seolah diiringi getaran luka lama yang menyeruak, tetapi berusaha dia tutupi.

Aku masih memandang punggungnya yang semakin menjauh, lalu beranjak mengayunkan langkah ke arah serupa.

~☆~

My Beloved Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang