Chapter 16 | Seram?

0 0 0
                                    

Riuh suara murid-murid dan derap kaki berdesakkan menuju pintu. Hampir seluruh siswa-siswi berlomba untuk segera keluar kelas ketika bel istirahat berdering nyaring. Sebenarnya aku pun ingin melakukan hal serupa, tetapi saat aku hendak mengajak Wisni ke kantin, dia malah lebih dulu meninggalkan. Sial, aku lupa dia sedang menghindar.

Aku memijat pelipis, sakit kepala karena masalah yang datang bertubi-tubi. Mungkin benar statement: jika paginya diawali dengan kekacauan maka efeknya akan terasa sepanjang hari. Amit-amit, baru setengah hari saja sudah begini apalagi fullArgh, ingin rasanya aku berteriak atau tidur supaya lupa sejenak tentang kekesalan ini.

Aku menumpukan kepala beralaskan kedua lenganku yang lebih dulu disedekapkan. Mengingat kembali seluruh upayaku mendekatkan Wisni dan Ferdi ke belakang. Aku tak menyangka respons Wisni akan separah ini. Sepersekian masa berlalu, aku hampir terlelap saking hening. Tiba-tiba derap lebar dan tegas terdengar mendekat membuatku refleks mengangkat wajah. Tampaklah seringai Ferdi dengan gingsulnya.

“Baru aja mau gue kagetin,” ucapnya sambil menepuk meja agak keras.

Aku hanya menyandarkan punggung malas tanpa mau menimpali.

“Tumben nggak barengan si putih?”

Aku mengernyit hingga Ferdi pun memperjelas maksudnya, seakan mengerti apa yang kumaksud melalui tatapan.

“Wisni. Kata Lo, kan, dia suka warna putih.”

Astaga, aku baru ingat. Memang kulit Wisni tidak putih, tetapi dia penyuka warna putih yang fanatik. Aku pun segera menggeleng lesu.

“Lo kenapa, sih?” Ferdi beralih duduk di sampingku sambil menempelkan punggung tangan di keningku. “Sakit? Ke UKS aja, yuk!”

“Nggak,” selaku sambil menepis tangannya.

Dia masih saja menatapku dengan sorot keheranan. Entahlah apa yang dipikirkan.

Apakah aku harus menanyakan langsung kepada Ferdi terkait sikap Wisni? Apa ini tidak akan membuatnya patah harapan? Detik-detik semasa aku menimbang terus berlalu, hingga Ferdi bersuara.

“Sebel gue dianggurin gini, di ajak ke UKS nggak mau, ke kantin dicuekin. Maunya apa sih? Cewek kaya lo emang ribet, ya. Beda sama—”

“Wisni! Tahu, kok, kamu bakal bandingin sama dia.”

“Kenyataannya gitu, ya gimana lagi.”

Aku memutar bola mata, jika dia tahu kebenarannya. Apa masih mau memuji-muji cewek itu? Cewek yang terang-terangan menolaknya bahkan sebelum dia resmi menyatakan perasaan. Atau malah dia sudah menembaknya? Semua kemungkinan itu bisa jadi memang terjadi, kan?

Saat kutatap, Ferdi sudah melenggang, tetapi segera kucegah. “Fer!” panggilku sambil berdiri, mungkin sebaiknya kutanyakan saja ketimbang masalah semakin menumpuk di kepala.

Ferdi pun berbalik dan menungguku sampai di dekatnya.

“Kamu kemarin ngomong apaan pas nganter Wisni?” kataku saat telah menyejajarkan langkah dengannya.

Ferdi menyipitkan mata, menatapku penuh selidik. “Gue, tahu,” katanya sambil menjentikkan jari, “lo gini karena ada kaitannya sama Wisni, kan? Kalian ada masalah?”

“Yaelah, ditanya malah balik nanya.” Kuputar bola mata malas sambil berjalan bersisian dengannya.

Dia malah tergelak sambil memasukkan tangan ke saku. “Oke, gue jawab. Tadinya, sih, mau ngomong soal perasaan gue.”

Aku seketika menoleh sambil menyelipkan anak rambut ke telinga.

“Tapi nggak jadi, karena sebelum gue ngomong dia udah bilang ‘Jangan berharap lebih ke aku. Aku gak bisa janjiin apa-apa.’ Saat kami berhenti di pom bensin.”

My Beloved Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang