Bab 10: Makan Malam yang Canggung

894 105 12
                                    

Sebelumnya aku mau ngucapin;

Selamat tahun baru!! 新年快乐! Xīnnián Kuàilè! あけましておめでとう! Akemashite omedetō!

Maaf banget kalau hampir seminggu lebih aku ngeghosting wkwk persiapan tahun baruan sekaligus banyak tugas yang harus ditutup akhir tahun. lagi dan lagi aku mau menyampaikan rasa terima kasih buat temen-temen yang udah bersedia mampir kesini, baca hasil terjemahanku yang sekiranya masih butuh latihan lagi, follow akunku, juga ngasih semangat berupa vote atau komentar. kalian moodbooster aku banget, sayang kalian banyak-banyak 💕💕💕, jangan lupa untuk dukung juga karya dan penulis aslinya juga ya. Sampai bertemu di chapter selanjutnya 🌻

- Selamat membaca-

Sudah beberapa hari sejak festival Pertengahan Musim Gugur, dan Lang Ying, Qi Rong, juga si anak kecil, Guzi tinggal di Kuil Puqi. Gubuk kecil yang hanya memiliki satu ruangan keseluruhan menjadi cukup hidup dengan enam penghuni.

Qi Rong tanpa diragukan lagi adalah penghuni terburuk. Xie Lian harus selalu mengikatnya dengan Rouye. Satu-satunya waktu Qi Rong dibebaskan dari sumpalan di mulutnya adalah ketika waktunya makan. Belum lagi, dia selalu menyemburkan makian kapanpun mulutnya dibebaskan. Qi Rong tidak akan pernah bisa diam dan membuat kegaduhan dengan menggoyangkan tubuhnya terlepas siang atau malam. Jadi Xie Lian dan Hua Cheng menendangnya keluar kuil, membiarkannya makan dan tidur di samping pintu dimana setidaknya masih ada atap di atasnya.

Qi Rong, tentu saja, memaki dan mengeluh tanpa henti sambil sia-sia berusaha terbebas dari Rouye. Si anak kecil, putra dari pemilik asli tubuh itu, Guzi, awalnya akan menangis kapanpun ia melihat ayahnya kesulitan. Bagaimanapun saat dirinya mengetahui bahwa Xie Lian dan Hua Cheng sedang menjaga mereka, ia menangis lebih sedikit.

Ia juga menjadi lebih menurut pada Xie Lian dan Hua Cheng setelah mengetahui keduanya adalah orang baik. Guzi kadang kali akan bermain bersama Wei Ying dan Lang Ying. Ia lebih sering merawat Qi Rong yang sudah seperti ayahnya- untuk sementara waktu. Wei Ying mendapat pelajaran membaca dan menulis dari Xie Lian, tapi dia juga memiliki waktu untuk bermain, dan Lang Ying akan menjadi teman sepenanggungan dan si kecil Guzi terkadang ikut terseret dengan mereka. Tentu saja, Wei Ying lah orang yang mengajak mereka berkeliling desa.

Di hari kedua setelah kembali dari perjamuan surga, Wei Ying dengan pasti berkata pada Hua Cheng, "Aku ingin belajar menggunakan pedang!"

Hua Cheng tidak terlalu terkejut saat Wei Ying mengatakan ini; dia telah menduganya. Dia tahu Wei Ying cepat atau lambat akan tertarik dengan berpedang sejak Xie Lian membawa pedang hitamnya, Fengxin, di balik punggungnya setiap saat dan Wei Ying secara pasti telah melihatnya. Meskipun begitu Hua Cheng tidak menduga Wei Ying akan meminta mengajarinya berpedang.

"Baiklah, mengapa kau mengatakannya padaku?"

"karena aku ingin belajar cara menggunakan pedang seperti A-die!"

Hua Cheng menukikkan alisnya, "Kapan kau pernah melihatku menggunakan pedang?"

"Di pertunjukkan perjamuan."

Hua Cheng tampak tersadar akan sesuatu,

"Ahh. Tapi apa yang aku gunakan itu bukan pedang, itu simitar."

"Simitar?"

"Yah, sebuah simitar. A-die tidak terlalu bagus dengan pedang. Bagaimana kalau meminta Baba mu? Dia hebat dalam berpedang, lebih hebat dariku."

"Baiklah!"

Wei Ying bertemu dengan sesuatu yang tak terduga. Ia ingin belajar bagaimana caranya mengayunkan pedang. Orang tuanya dulu, Wei Changze dan Cangse Sanren, keduanya adalah cultivator pedang. Saat dirinya melihat Hua Cheng dengan lihai mengayunkan simitar saat pertunjukan, ia hanya mengira itu juga lah sebuah pedang sejak dirinya masih harus belajar membedakan antara pedang dan simitar.

Wei Ying Putra Angkat HuaLianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang