16. Trauma Risa

19 7 0
                                    

Hampir satu jam berlalu, dan kedua anak itu masih terbaring tak sadarkan diri. Meyra tak henti-hentinya menghapus air mata, hatinya remuk melihat putrinya yang terkulai lemah. Vania, yang baru tiba bersama suaminya dan kedua anaknya, merasakan kepanikan yang sama.

"Tadi kata dokter, gak ada yang serius, cuma demamnya sedikit tinggi. Tapi kenapa anak kita belum bangun, Mas?" tanya Meyra, suaranya bergetar.

"Sabar, sayang. Bentar lagi dia bangun," jawab Evan dengan lembut, berusaha menenangkan.

"Mas, Ryan gimana? Dia nggak pernah demam sampai pingsan gini," Vania menyahut, wajahnya khawatir.

"Dia nggak apa-apa. Bentar lagi juga bangun," Fares menambahkan, berusaha optimis.

Perlahan, Ryan membuka matanya. Begitu melihat Vania, ia langsung mendapatkan pelukan hangat. "Ryan, kenapa bisa di kamar?" tanyanya kebingungan.

"Tadi kamu pingsan, sayang," Vania menjelaskan lembut.

"Bun, kok bunda bisa di sini?" Ryan bertanya, bingung.

"Karena bunda kamu datang, lah. Pake nanya lagi," sahut Fares dengan nada ketus.

"Mas, kamu kok ketus banget?" Vania memprotes ringan.

"Risa mana, Bun?" Ryan mendadak teringat, panik.

"Disebelah lo, Yan," Kevin menjawab, menunjuk.

Ryan langsung menoleh ke sebelahnya dan melihat Risa, wajahnya pucat pasi. "Bol, bangun bol! Kok kamu ikutan pingsan sih? Nggak lucu, tau nggak?" Ryan berusaha membangunkan Risa, air matanya mulai mengalir.

"Bangun, Ris!" teriaknya, suara penuh harap.

Ryan tidak bisa menahan air matanya. Melihat Risa terbaring lemah begitu membuatnya merasa hancur. Tiba-tiba, notifikasi ponsel Kevin memecah suasana. Raut wajahnya berubah, pandangannya kosong.

"Pesan dari siapa, Kev?" tanya Evan cemas.

"Dokter," jawab Kevin singkat.

"Dokter bilang apa?" tanya Evan lebih mendesak.

"Tadi dia lupa bilang, kalau lewat satu jam mereka belum bangun, mereka harus dibawa ke rumah sakit. Karena ini bukan cuma demam biasa," Kevin menjelaskan, suara pelan namun tegas.

"Enggak, enggak! Gaboleh dibawa ke sana! Dia gaboleh dibawa!" Ryan menolak dengan keras, suaranya penuh ketakutan.

"Tapi Yan, itu bukan pilihan. Justru lebih baik jika dia segera diperiksa di rumah sakit untuk tahu alasan pingsannya selama ini," Fares menegaskan.

"Enggak! Ryan gamau Risa masuk rumah sakit! Dia takut rumah sakit, Yah! Dia pernah cerita kalau rumah sakit itu rumah jahat yang udah ambil neneknya!" Ryan hampir berteriak, ketakutan melanda hatinya. Kecemasan yang mendalam menyelimuti mereka, seakan waktu berhenti sejenak dalam kepanikan ini.

Rumah sakit, atau yang disebut Risa sebagai "rumah jahat," adalah tempat di mana ia harus menyaksikan nenek tercintanya meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Dulu, Risa sangat dekat dengan neneknya, sosok yang selalu ada untuknya. Namun, segalanya berubah saat neneknya tiba-tiba jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit. Alih-alih pulang dengan sehat, neneknya justru pergi, meninggalkan Risa dalam kesedihan yang mendalam.

Sejak saat itu, Risa mengembangkan ketakutan yang mendalam terhadap rumah sakit. Baginya, tempat itu bukan lagi simbol harapan, melainkan pengingat akan kehilangan. Ia selalu berpikir, orang-orang yang masuk ke dalam sana pasti tidak akan kembali dengan selamat. Trauma ini menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit menerima kenyataan bahwa rumah sakit juga bisa menjadi tempat penyembuhan.

Love it's a wound  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang