Perjalanan kembali berlangsung hingga akhirnya tiba di tempat tujuan. Waktu menunjukkan pukul lima pagi, dan para siswa mulai turun perlahan dari bus sambil membawa barang bawaan masing-masing.
Suasana sekitar danau masih diselimuti kabut tipis. Beberapa siswa sibuk mengatur barang bawaan mereka, sementara yang lain menikmati pemandangan pagi yang asri.
“Gila, keliatan seger banget airnya,” ujar Cakra kagum sambil memandang danau yang tampak berkilauan di bawah sinar matahari pagi.
“Gas, langsung mandi, yuk!” seru Bayu penuh semangat.
“Nanti kita beku, anjir. Udara dingin gini, serius mau nyemplung?” balas Ferry, memasukkan tangannya ke dalam kantong jaket.
“Iya, lagi pula ini masih jam lima pagi,” tambah Leon sambil mengusap kedua tangannya untuk menghangatkan diri.
Tiba-tiba, Dafi datang menghampiri kelompok mereka, membawa jaketnya yang disampirkan di bahu. “Kenapa sih kalian ribut soal dingin? Ini malah waktu paling bagus buat mandi. Nyemplung aja, nggak usah banyak mikir!” ucapnya dengan nada santai.
Bayu menoleh dengan alis terangkat. “Berani banget ngomong gitu. Yaudah, lo aja duluan. Kasih contoh ke kami, Bang Dafi.”
Dafi terkekeh kecil, lalu melirik Navio yang sedang berdiri di sampingnya. “Gue berani kok, tapi Navio harus ikut. Nyali lo ada nggak?” tantangnya, sambil menepuk bahu Navio.
Navio mendengus pelan sambil melipat tangan. “Serius, Fi? Dingin gini gue nggak mau mati konyol. Mending nunggu matahari naik dulu, baru kita mikir soal mandi.”
“Ah, dasar kalian pengecut!” Dafi berlagak kesal, lalu melangkah ke arah danau. “Lihat aja gue buktiin. Gua nyemplung, kalian semua harus ikut!” teriaknya dengan percaya diri, meski langkahnya mulai melambat ketika udara dingin mulai menusuk kulitnya.
Leon tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. “Gue yakin dalam waktu tiga detik dia bakal naik lagi.”
“Gue juga yakin!” jawab Ferry sambil menunggu dengan ekspresi penasaran.
Dafi berdiri di tepi danau, menyentuh permukaan air dengan kakinya. “Uh, ya... lumayan dingin sih,” gumamnya pelan, tapi suaranya cukup terdengar oleh yang lain.
“Nyali gede, kan? Terusin dong!” Bayu menyemangati sambil tertawa.
Dafi menggertakkan gigi, berusaha mengabaikan ejekan teman-temannya. “Tenang aja, gue nggak akan mundur!” ucapnya, meski tubuhnya mulai menggigil.
Navio dan Leon saling bertukar pandang sambil menahan tawa. “Kita tunggu aja. Sebentar lagi pasti dia balik dengan alasan klasik,” ujar Navio.
Dafi berdiri di tepi danau, kakinya masih terendam air dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Dia terus berusaha tegar meskipun raut wajahnya mulai memperlihatkan tanda-tanda kekalahan.
“Gue... gue bisa, kok!” Dafi berusaha meyakinkan diri, sambil menatap teman-temannya yang sudah hampir tidak bisa menahan tawa.
Bayu, yang dari tadi berdiri dengan tangan di pinggang, bersorak. “Ayo, Fi! Kita semua percaya sama lo! Nyemplung aja!”
Ferry mengangguk dengan ekspresi serius, tapi bibirnya jelas terlihat tersenyum geli. “Gue tunggu alasan lo yang lebih epic dari ‘airnya terlalu dingin’ nanti.”
Leon, yang sudah tidak sabar, berteriak dari jauh. “Oke, gue hitung mundur dari tiga! Kalau lo nggak nyemplung, lo kalah!”
Dafi mendengus pelan dan menatap air di depan matanya. “Gue nggak takut, gue bisa! Kalau gue mundur, gue bakal jadi bahan ketawaan seumur hidup,” ucapnya, hampir terdengar putus asa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love it's a wound [END]
Teen Fiction"Gue cuma mau Risa sedikit aja mirip sama dia, emang salah?" ***** "Gue udah usaha. Tapi semakin lama, bukannya perasaan gue ke dia yang hilang, malah perasaan gue ke Risa yang perlahan menghilang." ***** Risa Azkia Bimantara, gadis berambut hitam l...