49. Kepergian yang Tak Terduga

10 3 0
                                    

"Al, kamu cepat ke rumah sakit .... Cia kecelakaan," suara Tante Fira pecah, bergetar, seolah-olah kata-kata itu sendiri terlalu berat untuk diucapkan. Setiap suku kata menancap dalam pikiran Alandra seperti belati tajam, mengguncang seluruh duniannya.

Dunia Alandra seketika terhenti. Kata-kata "Cia kecelakaan" bergema di kepalanya, menghantamnya seperti gelombang besar yang menghancurkan semua logika dan ketenangannya. Jantungnya seakan berhenti berdetak, tangan yang menggenggam ponsel gemetar, terjebak dalam rasa takut yang melumpuhkan.

Leon, yang sejak tadi mengamati Alandra dari sudut ruangan, segera mendekatinya begitu melihat wajahnya yang tiba-tiba pucat. “Al, lo kenapa?” tanya Leon dengan nada cemas, pandangannya dipenuhi kekhawatiran, seolah bisa merasakan gelombang emosi yang menghimpit Alandra.

Alandra mengangkat pandangannya perlahan, suaranya hampir berbisik saat ia berkata, “Cia... Cia kecelakaan, Yon.” Suara itu keluar dengan nada yang terasa putus asa, seperti seruan yang terjebak di tenggorokan.

“Apaa?” suara Ferry langsung terdengar dari belakang, terkejut dan tak percaya. Cakra dan Bayu, yang juga ikut mendengarkan, segera memusatkan perhatian mereka ke arah Alandra, wajah mereka dipenuhi ekspresi cemas, seperti mendengar kabar buruk yang tak terduga.

Nicholas, yang tadinya fokus pada kekacauan di basecamp, langsung memalingkan wajahnya mendengar percakapan itu. Matanya tajam, namun penuh kepedulian. “Kita ke rumah sakit sekarang,” ujar Nicholas tegas, tanpa keraguan sedikit pun. Kata-katanya seakan menjadi komando yang membangkitkan mereka dari kebingungan.

Keenam pria itu berlarian melewati koridor rumah sakit, dengan Alandra berada di posisi paling depan. Kakinya bergerak cepat, tetapi pikirannya berlari lebih kencang, membayangkan keadaan Cia yang tak menentu.

Setiap langkah terasa berat, seolah langit-langit rumah sakit yang tinggi menambah beban di dadanya. Dorongan untuk segera melihat adiknya terus memacu tubuhnya untuk tidak berhenti, meskipun rasa cemas menjalar dari ujung jari hingga ke hatinya.

Saat sampai di depan ruangan, Alandra langsung menghampiri Tante Fira, yang tampak duduk gelisah di kursi tunggu, tangannya bergetar di pangkuan. Ia dapat melihat kelelahan di wajah tante, dan hatinya berdesir melihat air mata yang mengalir di pipi Tante Fira.

“Tan, gimana keadaan Cia?” Suara Alandra nyaris tak keluar, dipenuhi kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Dia merasa seolah suara itu tersangkut di tenggorokannya, berjuang untuk keluar.

Tante Fira menatapnya, sorot matanya penuh kepedihan. “Cia masih di dalam, Al, masih diperiksa dokter,” jawabnya pelan, suaranya serak, dipenuhi kepedihan yang seolah tak kunjung reda. Air mata itu mengalir, menyiratkan betapa dalamnya rasa sakit yang dialaminya.

Nicholas, yang berusaha tetap tenang meski wajahnya menyiratkan kekhawatiran, bertanya, “Tan, gimana ceritanya bisa sampai Cia kecelakaan?” Nada suaranya penuh ketenangan, tetapi di dalam, rasa takutnya semakin membesar.

Tante Fira menghela napas panjang, tangannya bergetar saat ia mencoba menjelaskan. “Tante nggak tahu, Nic. Tadi Tante baru pulang arisan, terus di jalan lihat rame banget. Karena penasaran, Tante turun, dan... Tante kaget banget pas lihat ternyata itu Cia. Tante langsung minta orang-orang bantu bawa dia ke rumah sakit,” ucapnya, suara pelan itu terputus oleh isak tangis yang tidak bisa ditahan lagi.

Alandra merasakan beban berat menghantam dadanya. Rasa bersalah mulai menggerogoti pikirannya. Tangannya meremas rambutnya sendiri, mencoba menahan rasa sakit emosional yang semakin membengkak dalam dirinya, seolah-olah ingin menghancurkan perasaan bersalah yang terus menghantuinya.

"Tante udah hubungi Papa?" tanya Alandra dengan suara serak, berusaha menahan kekhawatiran yang membara di dadanya. Setiap detik terasa semakin menegangkan, dan ketidakpastian ini membuatnya hampir tak bisa bernafas.

Tante Fira mengangguk lemah, wajahnya dipenuhi kecemasan. "Tante udah telpon Papa kamu, tapi teleponnya sibuk, Al," jawabnya, nada suaranya seolah membawa beban berat yang tak tertahankan. Air mata masih mengalir di pipinya, menambah rasa hancur yang mengisi ruang di antara mereka.

Tiba-tiba, sebuah suara berat terdengar dari belakang Alandra, "Nak Al, anak kecil yang kecelakaan itu adik kamu, nak?"

Alandra berbalik dan terkejut melihat sosok yang sudah dikenalnya. "Pakde?" ucapnya setengah tak percaya, seolah salah melihat.

Tante Fira segera menambahkan, "Ini, Al, orang yang bantuin Tante bawa Cia ke sini. Kamu kenal?"

Alandra mengangguk pelan, merasakan aliran rasa syukur di dalam hatinya. "Kenal, Tante. Pakde Ahmad... pernah ketemu waktu Al ke makam Mama." Kenangan itu muncul jelas di benaknya, saat Pakde Ahmad datang dengan penuh rasa simpati, menawarkan dukungan di masa-masa sulit. Kini, sosok yang sama hadir lagi dalam situasi yang tidak kalah sulit.

“Gimana keadaan Cia?” tanya Pakde Ahmad, suaranya lembut namun tegas, menunjukkan kepedulian yang tulus.

“Masih di dalam, Pakde,” jawab Alandra, suaranya bergetar. “Kami belum tahu apa-apa,” ia menambahkan, menekankan betapa menegangkannya situasi ini.

“Cia kuat, Al. Dia pasti bisa melewati ini,” kata Pakde Ahmad, menempatkan tangannya di bahu Alandra, memberikan sedikit ketenangan di tengah badai emosional yang melanda. “Kamu harus percaya pada dokter. Mereka tahu apa yang mereka lakukan.”

Alandra mencoba mengambil napas dalam-dalam, berharap bisa merasakan secercah harapan dari kata-kata Pakde.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang dokter keluar, wajahnya tampak serius.

“Dok, bagaimana keadaan adik saya?” tanya Alandra cepat, suaranya penuh harap namun disertai ketakutan yang ia coba sembunyikan.

Dokter itu menghela napas panjang, menatap Alandra dengan berat. “Mohon maaf,” ucapnya pelan, “tapi adik Anda sudah tiada. Ada benturan keras yang mengenai kepalanya, dan kami tidak bisa menyelamatkannya.”

Dunia Alandra seolah runtuh. Kata-kata dokter itu seperti pukulan yang menghancurkan semua harapannya. Segala sesuatu di sekitarnya memudar, hanya tersisa rasa hampa yang begitu dalam.

Tangannya gemetar, hatinya mencelos dalam keheningan yang menyesakkan. Kenyataan pahit itu perlahan menghujam jiwanya—Cia, adik yang begitu ia cintai, telah pergi untuk selamanya.

Semua orang di sana merasakan kesedihan yang mendalam, sebuah suasana yang menyesakkan hati dan mengisi ruangan dengan keheningan yang mencekam.

Elin, anak Pakde Ahmad, yang sedari tadi berdiri di dekat ayahnya, melihat Alandra dengan penuh empati. Raut wajahnya mencerminkan keinginan untuk memberi dukungan, tetapi ia juga merasakan ketegangan yang melingkupi Alandra.

Dengan hati-hati, Elin mendekati Alandra dan mengelus punggungnya, berusaha untuk menenangkan. “Alandra, semuanya bakal baik-baik saja…” ucapnya lembut, berusaha memberikan sedikit penghiburan di tengah kesedihan yang mencekam.

Namun, Alandra menyingkirkan tangan itu dengan gerakan cepat dan tajam, matanya penuh dengan kemarahan dan kesedihan yang bercampur aduk. “Jangan sentuh gue dengan tangan lo!” serunya, suaranya bergetar di antara tangisan dan amarah yang tak terungkap.

Elin terkejut, dan wajahnya seketika memucat. Ia sedikit mundur, merasakan sakit dari kata-kata Alandra yang tajam. Padahal, ia hanya ingin mendekat untuk memberi dukungan, merasakan kehadiran pria itu, atau jika bisa, ia sangat ingin berada lebih dekat lagi. Rasa ingin tahunya terhadap Alandra kini bercampur dengan ketidakpastian, dan ia hanya bisa melihat dengan sedih saat Alandra terjebak dalam kesedihan yang tak terperi.

Love it's a wound  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang