Delapan

595 81 56
                                    

Typo

***

Hanni masih betah dalam kebungkamannya. Dia sama sekali tidak mengerti akan pilihan yang diajukan Minji. Itu terlalu ambigu menurutnya. Keluar berkali-kali atau tidak keluar sama sekali? Maksudnya apa? Ayolah, Hanni tidak suka ini.

Hanni tersentak dari lamunannya manakala Minji mulai berjalan masuk lebih dalam ke dalam apartemen, membuat dirinya harus berjalan mundur mengikuti langkah kaki Minji yang maju.

Mata Hanni masih terkunci dengan mata tajam Minji―yang di dalamnya menyimpan seribu teka-teki, yang mana itu sudah Hanni pastikan dia tidak dapat memecahkannya.

"Kenapa diam saja, hum? Bukan kah pilihan yang aku berikan cukup mudah?" tanya Minji, seraya melempar seringaian tipis, "Atau, mau aku pilihkan?" tanyanya menawar, bertepatan dengan dirinya yang berhenti berjalan saat mereka berdua sudah berada di tengah-tengah ruangan.

Meski begitu, Hanni masih saja merapatkan bibirnya. Memilih sendiri tapi dia tidak mengerti, dipilihkan takut ujung-ujungnya tidak beres. Kini posisinya terpojok. Tidak tahu harus melarikan diri ke kanan atau ke kiri.

"Diam berarti iya," seringaian Minji semakin lebar sedetik sesudah dia berujar, dan Hanni masih saja tidak bersuara, walaupun jemarinya sudah meremat jaket yang dikenakan Minji di bagian lengan, menunggu kalimat selanjutnya yang akan dilontarkan Minji, "Kedua pilihanku sama saja sebenarnya, tapi, opsi yang pertama lumayan menarik,"

"Kau setuju?" sambung Minji.

"........"

Namun, Hanni lagi dan lagi hanya membisu di tempatnya. Lidahnya terasa kelu. Bahkan untuk sekedar bergerak sedikit saja, dia tidak mampu. Tatapan Minji yang tajam namun juga teduh seperti membiusnya secara tidak langsung.

Seringaian Minji kian lebar dibuatnya. Dia menurunkan tangan kanannya dari pinggang ramping menuju pantat Hanni yang terbalut celana pendek sejak kemarin, lalu meremasnya nakal, menyebabkan sentakan ringan terjadi di dalam diri si empunya pantat, "Aku anggap kau setuju, sayang,"

-

-

-

"Aahhh...!"

Tubuhnya terhentak cukup kuat, membuat dia harus meremas sandaran sofa berwarna cokelat tua yang terbuat dari kulit sebagai pegangannya seerat yang dia bisa―walau benda panjang di bawah sana, yang bergerak keluar-masuk dengan cepat, selalu berhasil membuatnya lemas bukan main.

AC dengan suhu yang cukup rendah tidak mampu menekan hawa panas yang menguar dari kedua tubuh polos penuh peluh itu. Bersamaan dengan decitan kaki sofa yang berbunyi tidak karuan; pasti sofa yang mereka tunggangi sudah bergeser dari posisi awalnya.

Tapi apa mereka perduli? Oh tentu saja tidak. Malah salah satu di antara mereka semakin bergerak cepat; memaju-mundurkan pinggulnya, menggosok dinding vagina sempit itu dengan penis besar nan panjang berurat miliknya―hingga terdengar becek sekali lantaran ada cairan kental yang mulai merembes di sela-sela sumpalannya.

"Sshhh! Aahhh!!"

Sesuatu yang hebat dirasakan akan keluar lagi dalam waktu dekat, membuat remasan di sandaran sofa semakin kencang. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di dalam perutnya. Berbarengan dengan sensasi panas menggosok liang vaginanya.

"Akuhh aahh akuhh ssshhh hampirrhh ughh!"

Rembesan cairan kental alaminya makin menjadi, menyebabkan gesekan 2 alat kelamin yang berbeda bentuk itu, kian lancar keluar-masuk tanpa hambatan. Lolongan kenikmatan juga tidak dapat ditahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love and ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang