"Lebih baik saya mati," lirih seorang gadis di tepi balkon lantai enam.
Angin sejuk meniup rambut berkilaunya di bawah sinar bulan dan gaun pendek yang ia kenakan melambai seolah mengucap perpisahan. Kedua tangan menyatu dengan erat, memohon pertolongan pada Tuhan. Perlahan bulir bening itu menetes dari pipinya.
"Saya akan lompat. Jika saya mati, artinya saya memang berhubungan dengan suami Nyonya. Akan tetapi jika saya masih hidup, Nyonya harus minta maaf atas tuduhan palsu yang tadi Nyonya lontarkan!"
"Jatuh di ketinggian segitu sama saja cari mati. Apple tidak mungkin selamat jika dia melompat. Secara tidak langsung dia sudah mengakui kesalahannya, tolong Bibi maafkan dia sekali ini saja," pinta gadis berkepang mutiara sembari memijat lembut tangan Sang Nyonya.
Apple tersentak. Sedikit mendongak mendengar suara manis milik Lychee. Mata mereka sempat beradu dalam pikiran masing-masing. Di balik nada cemas, ada sebuah senyuman miring yang begitu samar. Teman sekamar yang ia anggap sahabat malah tidak mempercayainya.
"Lyly ...." Tunduknya sedih. 'Ternyata kamu menjebakku', batin Apple.
"Hei, Lychee! Omong kosong yang kamu katakan! Mana mungkin Apple berhubungan dengan suami Nyonya? Kalau pun iya, pastilah hanya masalah pekerjaan. Kita semua tahu hubungan Tuan Asher dan Apple tidak sedekat itu!" tegur salah seorang di belakang kerumunan. Ia ingin menghampiri gadis itu dan menariknya dari sana, tetapi kerumunan sangat sulit ditembus.
Apple tersentuh mendapati satu orang yang berteriak lantang mengatakan dirinya tidak bersalah. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk lengkungan senyum yang indah. Perlahan sebelah kakinya mundur selangkah demi selangkah.
***
"Aku jatuh!"
Sepasang mata lentik terbuka. Kamar tidur dengan pencahayaan minim serta langit-langit yang dipenuhi CCTV. Gadis itu terduduk, kemudian bernapas lega dan mengusap wajahnya.
"Hah ... ternyata cuma mimpi."
Dia adalah Lexyan. Gadis berusia delapan belas tahun yang tinggal di sebuah asrama khusus. Ia dilatih sejak lahir oleh para ahli bidang kriminal dan banyak kelas sudah ia jalani, seperti kelas peretasan, penyamaran, pencurian, penyayatan, dan lain sebagainya. Semua itu ia pelajari satu per satu demi melanjut ke kelas paling sulit, yaitu kelas pembunuhan.
Lexyan menyeringai tatkala jam weker berbunyi. Jarum pendeknya menunjuk tepat pada angka tiga, menandakan saatnya dia bersiap untuk debut sebagai pembunuh. Ini merupakan hari terakhir ia tidur di kamar pelatihan. Lexyan sangat senang akhirnya bisa mendapat gelar setelah empat tahun menjalani kelas tersulit. Murid yang mendapat gelar otomatis dipindahkan ke tempat yang lebih baik dari segi fasilitas dan pelayanan. Katanya di tempat baru ada ruang privasi yang mana tidak terpasang CCTV. Dadanya berdegup kencang karena tidak sabar.
"Kamu tampak bahagia, Lexy." Seorang laki-laki tersenyum lembut.
Lexyan menoleh, menatap teman sekamar sekaligus rivalnya tanpa mengubah ekspresi. "Iya, aku memang sedang bahagia. Kenapa? Sebentar lagi aku meninggalkanmu dan tempat jelek ini, lalu pindah ke kamar tidur pribadi yang lebih luas. Aku harap kamu tidak iri, Lexion."
Lexion menahan tawa. "Aku ikut senang."
"Apa yang kamu tertawakan? Jangan berani meremehkanku!"
"Hanya merasa sedikit lucu. Bukankah kamu belum pernah membunuh orang? Aku khawatir, aku tidak yakin apakah dalam misi pertama nanti kamu juga akan menyeringai seperti tadi."
Lexyan menggembungkan pipi kesal. "Aku juga tidak yakin apakah ujian menyayat nanti kamu masih bisa tertawa seperti ini."
Laki-laki tersebut belum pernah lulus di ujian yang menyangkut dengan pisau. Ketika ahli bedah mencontohkan bagaimana melukai kulit tanpa mengiris pembuluh darah, dia selalu memutus aliran itu sampai banyak manusia percobaan di tangannya yang mati dalam jumlah tidak terhitung.
Berbeda dengan Lexyan, gadis satu ini tergolong pintar apabila dibandingkan rival sekelasnya. Lexyan tidak pernah mengubah bahan praktikum menjadi mayat. Walau pun nilai ujian cukup pas-pasan, ia sama sekali belum pernah gagal apalagi mengulang kelas. Begitu pula dengan misi pertama yang akan menjadi ujian terakhir hari ini setelah debut. Lexyan percaya diri akan kemampuannya.
"Aku bukannya tidak lulus ujian," ungkap Lexion.
"Terus apa kalau bukan tidak lulus?"
"Aku hanya terlalu nyaman di kelas tersebut."
"Yang benar saja! Dengan kamar sempit satu kasur untuk dua orang? Hebat betul kamu bisa nyaman. Aku sedikit pun tidak."
"Maksudku kelas, bukan kamar. Kamu tahu? Rasanya saat mengeluarkan benda tajam itu dari tubuh manusia, lalu setiap bagiannya berlumuran tinta merah. Itu sangat cantik dan reaksi mereka yang menjerit
ketakutan-"Lexyan tertawa spontan. "Itu karena kamu lupa melakukan anestesi, bodoh!" potongnya.
"Aku memang sengaja," kata Lexion, membuat tawa menggema di ruangan tersebut berhenti.
"Kamu gila, ya? Pantas saja aku sering mendengar teriakan tiap lewat depan kelasmu. Jadi, kamu sengaja tidak lulus tes ujian. Apa kamu tidak mau keluar dari sini?" tanya Lexyan penasaran.
Ada pagar besi berduri yang mengelilingi kawasan tempat mereka berdua dibesarkan. Pagar itu dilapisi arus listrik bertegangan tinggi. Jangankan menyentuh, mendekat pun harus dipikir ribuan kali. Tidak sedikit murid pelatihan yang mengeyel agar menjauhi pagar tersebut, kemudian mereka berakhir menjadi bahan praktikum di kelas bedah.
Lexion menatap gadis yang melamun. "Kenapa kamu ingin pergi?" Ia bertanya balik.
"Pertanyaan ini sudah berkali-kali kamu tanyakan, Lexion. Aku benci alat pengawas."
Lexion memiringkan kepala. "Kalau alat pelacak?"
"Alat pelacak juga termasuk. Benda yang paling menyebalkan. Kita mustahil bermain petak umpet dengan memakai alat ini," ucap Lexyan sambil mengangkat tangan kirinya.
Terdapat jam pintar berbentuk persegi yang tertanam di pergelangan tangan Lexyan. Jam tersebut bisa menampilkan titik koordinat lokasi seseorang dengan akurat. Titik-titik biru terpampang jelas bertuliskan nama-nama seseorang yang juga memakai alat pelacak yang sama. Benda ini membuat kita bisa mengetahui posisi satu sama lain.
"Ternyata kamu menyukai permainan petak umpet," gumam Lexion.
"Bodoh, bukan begitu maksudku!"
Tiba-tiba jam pintar menampilkan bentuk segitiga dengan tanda seru berwarna merah. Lexyan membulatkan mata, lalu sebuah jeritan melengking dari mulutnya. Tulang lengan Lexyan seakan remuk selama beberapa detik. Ia hampir melupakan salah satu fungsi lain dari jam pintar, yaitu menghukum murid yang melakukan kesalahan.
"Ada apa?" tanya Lexion datar, seolah sudah sering mendengar jeritan Lexyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Time Is Over
FantasyGagal dalam menjalankan misi pertama? Bagi pembunuh kelas teri, itu sudah hal yang biasa. Namun gadis pembunuh pada abad ke-21 ini sangat optimis akan menduduki kursi pembunuh profesional paling top di dunia. Nasib buruk menariknya dari kematian dan...