Jarum pendek hampir mengarah angka dua belas. Masih tersisa beberapa menit lagi sebelum waktu ujian berakhir. Lexion berbaring di kasur, tersenyum mengamati salah satu titik koordinat di jam tangannya yang berkedip-kedip. Koordinat tersebut milik Lexyan. Hal itu menandakan bahwa daya tahan pemilik koordinat sedang menurun.
"Selamat malam, Kakak!" sapa Lexion sembari mendekatkan speaker jam tangan ke mulut. Laki-laki itu membuat panggilan kepada seseorang yang sedang memperjuangkan hidup.
"Lexion, tolong aku!" jerit Lexyan.
"Bagaimana kondisi kakimu, Kak?"
"Apakah pertanyaan itu lebih penting sekarang?" Firasat buruk kerap menghinggapi Lexyan setiap kali Lexion memanggilnya 'Kakak'. Gadis itu kewalahan mengatur napas antara mengeluh rasa sakit kakinya karena dia melompat dari satu gedung ke gedung lain atau sosok Gabby yang terus mengejarnya tanpa jeda.
Di saat seperti ini Lexyan teringat dengan penjelasan salah satu pengajar di kelas pembunuh. Beliau pernah menerangkan, bahwa seseorang bisa menjadi sangat kuat pada detik-detik sebelum kematian. Lexyan seolah merasakan sendiri hal tersebut. Luka di kaki seakan bukan masalah besar jika dibandingkan dengan nyawa kecil yang terancam.
Suara ngos-ngosan terdengar jelas di telinga Lexion, membuat si empu mengeraskan rahang. "Ternyata begitu. Kamu menolakku main petak umpet, tapi malah asyik main kejar-kejaran dengan orang lain. Kamu membuatku sedih, Lexy!"
Sontak pandangan Lexyan buram mendengar jawaban itu. Matanya berkaca-kaca. "Aku ini memang dikejar sungguhan ... sialan!" Ingin sekali ia mengeplak kepala Lexion.
Di seberang sana, Lexion terkikik geli. "Sepertinya menyenangkan."
"Sama sekali tidak!"
Jantung Lexyan memompa lebih cepat. Gabby hampir saja mencekal bahunya, tetapi untungya Lexyan berhasil mengelak dan hal itu berhasil membuat Gabby geram.
"Lexion!" Panggilan tersebut tidak direspon.
Pupil Lexyan melebar menyadari bangunan pendek di depan memiliki jarak lumayan jauh. Ia terpaksa mengerem langkahnya, kemudian memandang bawah kaki berupa gedung-gedung malam dengan lampu berpijar. Jalan raya tampak gemerlap oleh berbagai kendaraan yang berlalu lalang. Segala hal terlihat sangat kecil.
'Cantiknya,' batin Lexyan, melupakan kehadiran Gabby di samping.
"Mengerikan, ya?" sentak Gabby. "Bagaimana kalau aku mendorongmu dari sini?"
Gadis berambut cokelat itu menjauhkan diri. "Dasar gila!"
Kepala seseorang bisa pecah jika jatuh dari ketinggian 200 meter. Petugas kesehatan akan sulit mengumpulkan otak yang berceceran. Atau mungkin sebuah mobil menabrak dengan kencang sebelum wajah Lexyan benar-benar menghantam aspal, lalu para pejalan kaki bergidik ngeri melihat ususnya berhamburan.
Gabby menjambak Lexyan seraya mengembuskan napas lelah. "Yah, memang cukup gila, tapi mau bagaimana lagi? Pil buatanku yang barusan kamu buang sudah tidak ada. Padahal mengingat hubungan persaudaraan kita, tadinya pil itu hanya membuatmu mati tanpa rasa."
"Ugh, dasar gila!" Lexyan mendelik tajam. Ia mencoba menarik rambut gadis pengkhianat di depannya selagi gadis itu berusaha melempar kepalanya ke bawah.
"Apa tidak ada kosakata lain? Aku bosan mendengarmu mengatakan 'dasar gila' setiap hari."
Lexyan membulatkan mata tatkala Gabby mengendurkan cengkeraman. Dalam sekejap, Lexyan tidak lagi menapaki rooftop.
"Gab—" Gadis itu berusaha menggapai sosok Gabby dengan tatapan bergetar yang menyiratkan permintaan tolong, tetapi nihil.
Gabby justru mengabadikan momen tersebut seraya menggerakkan bibir. "Bye, Lexy," ucapnya tanpa suara.
Di sisi lain, Lexion terus memandangi pergelangan tangan. Benda yang sengaja ditanam ke tubuhnya itu mendadak berhenti menampilkan titik koordinat Lexyan. Beberapa petugas kebersihan pun memasuki kamar, kemudian membereskan barang peninggalan kakaknya. Lexion menyentuh dada seakan mencari perasaan kehilangan itu. Namun, detik berikutnya ia tersenyum lebar.
"Ini seperti permainan petak umpet ...."
***
"Tolong aku!" Bayangan gadis yang pernah muncul di mimpi Lexyan, kini muncul di bawah sinar bulan.
Lexyan bertanya-tanya mengapa sosok tanpa wajah itu terdengar putus asa seperti dirinya. Waktu seolah berhenti memberikan ruang bagi keduanya untuk bicara.
"Jika kamu menolongku, aku juga akan menolongmu." Bayangan gadis tersebut mengulurkan tangan.
'Siapa?'
Diri sendiri merasa sulit untuk keluar dari kematian yang disebabkan oleh temannya. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir menolong orang lain? Lexyan hanya merasa tidak adil kalau mati sia-sia seperti ini.
'Baiklah, tolong selamatkan aku dulu.' Minimal ia harus membalas dendam pada Gabby.
Lexyan pun menerima uluran tersebut dan tiba-tiba angin dari arah depan menerjangnya dengan kencang. Saking kencangnya dia sampai memejamkan mata. Begitu mata terbuka, tempat yang mengelilingi Lexyan sudah berbeda dari sebelumnya. Kamar luas dipenuhi perabotan mewah, vas bunga yang terlihat antik, kasur empuk, dan selimut yang lembut.
"Gila, di mana aku?" gumamnya heran.
Perlahan ia turun dengan langkah hati-hati menuju pintu. Lantainya dingin. Jelas bukan mimpi. Entah ke mana angin aneh itu membawanya pergi.
Tanpa sengaja, Lexyan melewati cermin seukuran tubuh. Sontak langkah kakinya terhenti karena merasa adanya kejanggalan. Lexyan mundur selangkah dan menatap pantulan di dalam cermin tanpa berkedip. Alisnya mengernyit.
Lexyan memegang pipinya yang sedikit bengkak kemerahan. Banyak jahitan belum dilepas. Benang-benang hitam mencuat, menciptakan kesan buruk rupa jika dibandingkan pipi tirus miliknya yang sebelah.
"Ini ... aku? Tidak mungkin! Kenapa wajahku jadi jelek?" Lexyan menggeleng tidak terima sambil menjambak rambut.
Namun mengingat insiden tadi malam, gadis itu bersyukur tidak ada kerusakan lain pada tubuhnya. Luka sayat di pergelangan kaki juga menghilang. Bukan hanya itu, sepertinya lebih tidak mungkin bagi tubuhnya masih utuh setelah terdorong dari ketinggian 200 meter.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan. Lexyan menoleh cepat.
"Kamu sudah bangun?" Seorang perempuan masuk dengan nampan berisi alat-alat medis seperti jarum suntik, kasa, antiseptik, dan sejenisnya. Dia tampak heran melihat gadis yang hampir seminggu tidak sadarkan diri itu berjalan dengan tegap.
"Siapa kamu?" tanya Lexyan sambil melayangkan tatapan tajam.
Ia spontan tertawa. "Ini tidak lucu, Apple. Aku sabahat terbaikmu. Lyly!"
"Lychee?" tanya Lexyan memastikan. Nama tersebut seketika mengingatkannya pada mimpi buruk. "Apa yang ingin kamu lakukan dengan alat-alat itu?"
"Tentu saja aku ingin mengobati luka-lukamu, Apple. Sepertinya ingatanmu sedikit kabur setelah melompat dari lantai tiga, tapi jangan lupa bahwa aku punya keterampilan medis yang lumayan."
Ingatan Lexyan cukup baik untuk mengingat wajah orang dalam sekali pertemuan. Meski semua sosok dalam mimpi malam itu terlihat samar, ia tahu pandangan Lychee menyembunyikan kebohongan.
Lexyan mengembuskan napas kasar. "Hah, ternyata kamu yang menjahit wajahku jadi sejelek ini?" Sial, berteriak membuat rahang Lexyan tambah ngilu.
"Apa maksudmu jelek?" balas Lychee dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya berniat memperbaiki wajah kamu yang sudah tidak tertolong, Apple."
Tabiat busuk Lychee mirip dengan Gabby, membuat Lexyan ingin sekali mencongkel matanya. "Kamu mau mati ya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/354892243-288-k837465.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Time Is Over
FantasyGagal dalam menjalankan misi pertama? Bagi pembunuh kelas teri, itu sudah hal yang biasa. Namun gadis pembunuh pada abad ke-21 ini sangat optimis akan menduduki kursi pembunuh profesional paling top di dunia. Nasib buruk menariknya dari kematian dan...