3. Ayo Sembunyi!

16 4 1
                                    

"Foto wajahmu saja sini! Biar aku yang pasang." Lexyan menadahkan tangan, pose meminta.

Laki-laki berambut cokelat itu merogoh saku. Lexion menyerahkan selembar kertas pada Lexyan. Gadis di depannya terpaku pada kertas kumal yang ternyata berisi gambar dua bocah kembar berusia delapan tahun. Dalam foto terlihat gadis cilik menggendong anak laki-laki dengan seragam olahraga yang sama. Lexyan hampir lupa kalau dulunya Lexion lebih pendek dan lemah darinya.

Lexyan mengangkat kepala. Sekarang Lexion jauh lebih tinggi, bahkan lebih kuat. 'Apa dia selalu membawa foto ini setiap waktu?' benaknya tak percaya.

"Saat sekolah mengadakan sayembara untuk menangkapmu, aku janji akan mengajukan diri. Kita bisa bermain petak umpet setelah itu. Apa Kakak bisa bersembunyi dengan baik?" tanya Lexion serius.

"Kenapa aku harus sembunyi?" Lexyan menautkan kedua alis.

"Ya? Kalau tidak sembunyi ... aku tidak punya pilihan selain menikammu." Lexion mengatakan itu sambil menunjukkan pisau kesayangan.

"Dasar sinting!"

Adik kembarnya selalu memanggil 'kakak' hanya di saat-saat terjepit tali mati. Daripada dibunuh oleh Lexion, lebih baik ia mati bunuh diri.

Lexyan mendorong dada lelaki itu agar menyingkir dari jalan. Ia harus menemui seseorang untuk mengatasi pergelangan kaki yang terluka.

"Gabby!" teriaknya begitu seorang gadis berjas putih keluar dari ruang laboratorium. Lexyan menggerakkan tangan sebagai isyarat 'kemari'.

Berjarak enam meter, Gabby memutar mata malas. Dia menghampiri gadis pirang tersebut dengan sekilas mengangkat dagu. "Kenapa memanggilku?"

"Darurat!" Lexyan menyentuh kedua bahu Gabby. "Aku hanya punya waktu sampai tengah malam nanti untuk menyelesaikan ujian akhir, tapi Si Bodoh itu menyayat kakiku dan pendarahannya belum berhenti."

Gabby pun menunduk melihat kondisi kaki teman seperjuangannya itu. Warna merah segar terus menyebar meski sudah dibalut perban yang memang tampak amburadul. Gadis itu melebarkan mata. "Astaga ... perban ini, apa ulah Lexion juga?"

Lexyan mengangguk.

"Keterampilan tangannya buruk sekali," keluh Gabby sembari berjongkok melepas perban yang sudah berbau anyir.

"Tolong buatkan aku obat pereda nyeri," pinta Lexyan setelah gadis di depannya selesai membalutkan perban baru. Kali ini lebih rapi dan cantik.

Gabby adalah murid yang pernah menyandang peringkat tertinggi di kelas farmasi. Itulah sebabnya, Gabby langsung dipindah ke kelas A. Dia pandai mengutak-atik formula. Keahliannya tidak hanya membuat racun dan obat. Gabby juga mendalami bidang kedokteran dan selalu merawat orang lain seperti keluarga, khususnya terhadap Lexyan. Ia bahkan membawa alat pertolongan pertama di balik jas putih yang selalu dipakai ke mana-mana.

"Tidak bisa, Lexyan. Aku sedang menjalankan ujian akhir sama sepertimu. Aku juga sibuk membuat formula, sedangkan obat yang kamu maksud memerlukan waktu pembuatan lumayan lama," tolaknya.

"Ayolah, Gabby ...," bujuk Lexyan sambil memasang wajah melas. "Bagaimana kalau aku membayarmu?"

"Kamu miskin," ingat Gabby, sukses menyinggung perasaan.

"Iya-iya, tapi bukankah kata penguji kita akan dibayar?"

Gabby terdiam beberapa detik. "Itu kalau kamu berhasil, Lexyan."

"Apa maksudmu? Tentu saja aku pasti akan berhasil!" seru Lexyan sembari membusungkan dada.

Gabby tidak bisa berkata-kata lagi karena Lexyan begitu percaya diri. Tiba-tiba terdengar suara jentikkan jari. "Ah! Sepertinya aku punya obat dengan efek serupa, tapi tinggal sedikit."

Dia lalu mengeluarkan empat butir pil dari saku jas. "Obat ini bisa menghilangkan rasa sakit."

Lexyan segera mengunyah pil tersebut. Rasanya pahit, sensasi aroma kimia menyeruak dari mulut hingga hidung, membuat orang yang sekedar mencium baunya ingin muntah. Tidak lama setelah menelan obat pemberian Gabby, nyeri di kaki kanan menghilang entah ke mana.

"Efeknya lebih cepat dari dugaanku," kagum Lexyan sambil menendang-nendang kecil.

"Meskipun pil yang kuberikan padamu bekerja dengan cepat, efek penghilang rasa sakitnya hanya bertahan lima jam. Kamu batasi sebelum efeknya habis dan pastikan menelan pilnya tepat waktu, oke?" ingat gadis bertindik di bagian bibir.

Lexyan mengibaskan ujung rambut, seolah menganggap peringatan tersebut sebagai hal remeh. "Jangan khawatir, Gabby! Aku akan melahapnya hari ini sampai pil buatanmu habis tidak bersisa."

Gadis itu meraba ikat pinggangnya yang terselip kantong kecil berwarna hitam.

Gabby meringis. "Kamu yakin menyimpan di situ aman?"

Lexyan mengangguk mantab. "Kenapa tidak?"

"Ah, ya sudah. Cepatlah berangkat! Kamu kira berapa lama lagi ujian kita berakhir?" Gabby meninju pelan lengan Lexyan.

Tidak lupa mereka berpelukan sebentar, lalu Lexyan berlari ke arah koridor. Sebuah mobil penjemputan sudah menanti dirinya di halaman utama. Lexyan membalikkan badan. Gabby hanya memandang dari kejauhan saat Lexyan tersenyum sambil melambaikan tangan. Namun, bibir melengkung indah tersebut berubah cemberut tatkala sosok Lexion muncul dari belakang. Gadis itu langsung masuk mobil tanpa menoleh lagi.

"Cih, dia benar-benar kasar," decih Lexion sambil menatap Gabby yang tiba-tiba berbalik.

"Apa?" tanya Gabby ketika laki-laki bermata elang menghalangi jalannya.

"Sejak kapan pil penghilang rasa sakit buatanmu bertahan selama lima jam? Aku ingat itu hanya bertahan dua jam," selidik Lexion.

"Aku sudah meningkatkannya jadi lima jam," jawab Gabby, singkat. Saat hendak pergi, Lexion menahan gadis itu dengan mencengkeram kuat pergelangannya. Gabby meneguk saliva susah. Sebisa mungkin ia mencoba menarik tangan yang hampir patah dari cengkeraman Lexion.

"Kamu pikir aku bodoh? Mustahil bagimu meningkatkan efek obat dari dua jam menjadi lima jam! Sebenarnya berapa lama efek obat itu akan berakhir?" desak Lexion sembari menguatkan cengkeraman.

Gabby dapat merasakan aliran darahnya berhenti. "Le-pas!"

"Aku tidak akan melepasmu sebelum kamu mengatakan kebenaran," tekannya.

"Ti-tiga jam," jawab Gabby terbata-bata. Ia bernapas lega begitu Lexion melepaskan tangannya, meskipun tercipta bekas merah yang amat kentara pada kulit putih Gabby. Dia hanya bisa mengumpat pelan.

***

'Gabby tidak mungkin menipuku,' batin Lexyan. Dalam keadaan terikat, ia duduk dengan cemas. Gadis itu tidak pernah menduga akan berada pada situasi sekonyol ini.

Pria bertopeng menggoyangkan gelas anggur di tangannya. Sesekali tawa rendah itu keluar dari mulut tatkala mendengar suara perempuan berkelakar dalam sambungan telepon. Anehnya suara perempuan itu samar-samar mirip sekali dengan suara Gabby.

"Jangan bunuh sekarang ...," larang si pemilik suara di seberang sana. "Aku perlu mendokumentasikan wajahnya sebelum dia mati."

Pria bertopeng menjawab, "Baiklah, aku sedang berusaha menahannya. Hanya saja kesabaranku bisa menipis, Nona Leah."

"Aku mengerti, aku hampir tiba di lantai enam."

Lexyan bernapas lega karena nama perempuan tersebut adalah Leah. Namun, bukan saatnya untuk lengah seperti ini. Lexyan menatap kantong hitam yang tergeletak di meja tidak jauh dari tempat ia diikat. Andai saja dia bisa menelan satu pil lagi, pasti dia bisa membalikkan keadaan.

Apple Time Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang