2. Petak Umpet

24 7 12
                                    

"Lihat." Lexyan memperlihatkan jam pintar yang menampilkan angka digital. "Karena meladenimu, aku jadi telat sepuluh menit. Aku harus cepat!"

Lexyan pun buru-buru menyingkap selimut. Akan tetapi, gadis itu mematung sejenak saat manik cokelatnya menangkap warna merah yang sangat kontras dengan seprai putih. Pandangan Lexyan semakin turun ke arah pergelangan kaki, di mana warna merah lebih gelap dan sumber cairan kental memang berasal dari sana. Ia lalu menoleh tajam pada laki-laki seumurannya itu.

'Lexion ... dasar bocah gila!'

Sesampainya di kelas, Lexyan membanting pintu dengan wajah pucat.

"Kakimu kenapa, Lexy?" tanya penguji begitu sosok tertatih-tatih berjalan menuju kursi.

Lexyan menarik napas berat. Sakit dan perih di tungkai semakin menjadi-jadi seiring hilangnya efek obat bius yang Lexion suntikkan. Si anak gila itu memainkan benda tajam diam-diam ke tubuh Lexyan. Ia tidak pernah berpikir saudara kembarnya sendiri berniat membuat gagal ujian orang lain. Kalau diingat-ingat, hubungan mereka berdua cukup dekat meski tidak harmonis. Lexyan lebih menganggap dia sebagai teman sekamar atau rival daripada adik.

"Jangan cemas, Lexy! Aku hanya sedikit latihan sebab yayasan tidak mau lagi menyediakan bahan praktikum. Aku sudah melakukan anestesi selagi kamu masih tidur. Aku juga tidak sampai mengenai pembuluh darah. Kamu masih hidup, kan? Ini pertama kalinya manusia bisa tetap bangun setelah kupakai latihan."

Begitulah penjelasan kurang ajar dari Lexion yang seolah bukan apa-apa. Dia bahkan memanggil dengan sebutan 'kakak' saat memuji bahwa kaki Lexyan terlihat cantik dengan warna merah. Yang benar saja!

Lexyan menggeleng pusing. "Hanya kecelakaan kecil," jawabnya sebagai respon.

Penguji itu mengangguk. "Baiklah, kalau begitu langsung saja kalian cermati dokumen di meja masing-masing. Gambar pada halaman terakhir adalah orang yang harus dibunuh. Perlu diingat! Kalian tidak lagi menggunakan bahan praktikum yang biasanya disediakan di kelas. Kalian harus hati-hati dan mengamalkan semua pelajaran yang sudah kalian ambil di kelas-kelas sebelumnya."

Lexyan membalik ke halaman paling akhir. Sebuah foto pria bertopeng dengan keterangan usia tiga puluh tahun. Alamat tidak menentu, silsilah keluarga belum diketahui, dan wajah asli tidak diketahui. Informasi yang tertera dalam dokumen sangat minim.

Gadis itu mengernyit heran. Pasalnya, identitas pria ini hanya bisa ditelisik jika dia memakai topeng.

"Ada pertanyaan?"

Seseorang di belakang Lexyan menyeletuk, "Berapa bayaran yang akan kami dapat jika berhasil melewati ujian? Lalu apa yang akan terjadi jika kami gagal? Apakah kami harus mengulang kelas?"

Penguji tersebut tersenyum tipis. "Pertanyaan yang bagus! Aku punya kabar baik untuk pertanyaan terakhir."

Seisi kelas mulai bisik-bisik.

"Kabar baiknya adalah tidak ada pengulangan kelas dalam ujian kali ini."

Di saat mereka semua kemudian bersorak dan bertepuk tangan, Lexyan menopang dagu, menanti kalimat penguji selanjutnya.

"Tapi biarkan aku meralat pertanyaanmu, Keith. Kamu tidak seharusnya menggunakan kosakata berhasil atau gagal. Karena ini ujian terakhir, kami memberikan misi yang benar-benar dibayar oleh seseorang dengan mempertaruhkan nyawa kalian. Jadi, bunuh atau mati adalah kosakata yang paling tepat."

"Apakah kami harus mati hanya karena tidak bisa membunuhnya? Meskipun kami merupakan aset berharga yang sudah dilatih bertahun-tahun? Kenapa?" tanya Keith lagi, bertubi-tubi.

Suasana di ruang kelas seketika hening.

Penguji itu tetap tersenyum. "Aku suka sikap kritismu, Keith. Ada dua kemungkinan kenapa kalian tetap mati jika tidak bisa membunuhnya. Pertama, kalian akan mati di tangan target kalian sendiri. Kedua, kalian akan mati di tangan sekolah. Nama organisasi yang tercoreng akibat anggotanya tidak bisa membunuh target sangatlah memalukan. Tentu saja, aset berharga yang kamu sebutkan tadi menjadi aib bagi kami."

Lexyan menggeleng tak habis pikir. Ia kembali melihat dokumen di tangannya dan mengecek bagian pembayaran. Tertulis imbalan dalam jumlah yang besar. Memang seberapa besar? Pasti cukup sebanding dengan menghilangkan satu orang dari muka bumi.

"Ah, aku jadi takut," bisik seseorang di samping kanan Lexyan.

Laki-laki berkacamata menimpali, "Berarti semisal gagal, kita tidak punya pilihan selain dikejar oleh target atau dikejar pihak yayasan."

"Aku ingin kabur," cicitnya.

Lexyan tidak mau membayangkan kehidupan gagal seperti itu. Ia mencoba melihat sisi positif jika bisa membunuh pria di dalam potret. Uang akan memenuhi kantong tabungannya, lalu pergi menikmati fasilitas kamar pribadi bintang lima, membuat akun baru di situs gelap, menerima banyak misi, mengklaim poin sebanyak-banyaknya, dan mendapat peringkat nomor satu sebagai pembunuh terbaik di dunia.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya tersungging. Lexyan lanjut membaca dokumen tersebut sembari berjalan menuju kamar dengan sesekali bersenandung.

"Gila! Waktunya cuma sehari?" tanya Lexyan, melotot tak percaya sambil mendekatkan kertas tersebut ke wajahnya.

"Apa itu?" Lexion yang kebetulan lewat pun merebut lampiran kertas dari tangan Lexyan.

"Hei!" Lexyan berusaha mengambil kembali kertasnya, tetapi ketinggian Lexion membuatnya mencebikkan bibir. Terlebih pergelangan kaki masih sakit sehingga mustahil untuk melompat meraihnya.

Lexion mengalihkan atensi ke bawah, melihat kaki yang ditekuk. "Kamu yakin dengan kondisi seperti ini?"

"Semua ini ulahmu, bedebah!" ketusnya sambil meninju keras lengan Lexion.

Lexion menarik tangan gadis itu, kemudian menyerahkan gulungan dokumen. "Ini. Omong-omong kamu suka bermain petak umpet, kan?"

Lexyan mengernyit. "Aku bukan anak usia lima tahun. Bahkan di usia segitu pun aku lebih suka membuat lubang peluru di perut atau dada orang."

Lexion mengusap rambut gadis di depannya, gemas. "Maaf, Lexy. Aku yakin sekali kamu akan gagal ujian. Bagaimana kalau setelah itu kita bermain petak umpet?"

"Apa maksudmu, brengsek? Jangan main-main! Berhenti mengacak rambutku!" Lexyan menepis kasar tangan Lexion. Ia meniup poni dengan acuh tak acuh, merasa kotor sudah disentuh oleh tangan Lexion.

Lexion tampak memikirkan sesuatu dari caranya mengelus dagu. "Lexy, kamu tahu kan foto-foto di sepanjang lorong ini adalah mereka yang gagal dalam ujian terakhir?"

Lexyan menyapu pandangan ke sekitar. Foto-foto mantan anggota yang dulunya sekolah, sudah sangat lama jika dilihat dari kualitas foto yang buruk dan angka tahunnya. Foto orang yang terpasang pada dinding lorong bukan hanya gagal dalam ujian terakhir, mereka juga menjadi target pembunuhan bagi sekolah. Gadis itu tahu mereka semua ditargetkan untuk dibunuh, mereka tertangkap lalu dijadikan bahan praktikum di berbagai kelas agar tersiksa. Lexyan sendiri pernah bertemu salah satu dari mereka saat melakukan praktik pembedahan.

"Memang kenapa kalau aku tahu?" Lexyan mengerutkan dahi.

"Aku hanya berpikir jika nanti wajahmu terpampang di ujung lorong."

"Kamu gila, ya?"

Apple Time Is OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang