"Aku sudah sampai."
Tidak lama, bel pintu berdering menandakan seseorang ingin masuk.
Pria bertopeng mematikan sambungan telepon dan menatap gadis yang beberapa menit lalu tampak gigih. "Permisi, Nona. Orang yang akan mengambil nyawamu sedang berdiri di depan. Haruskah aku membukakan pintu?"
"Tidak," jawab Lexyan sambil menunduk. Bulu kuduk gadis itu meremang sebab merasakan hawa dingin dari arah pintu. Ia teringat perkataan Lexion tentang permainan petak umpet. Sebenarnya Lexyan lebih suka bermain kejar-kejaran daripada bersembunyi seperti pengecut. Namun, kondisi kaki saat ini tidak memungkinkan untuk lari dan tidak ada tempat baginya untuk sembunyi.
"Tidak, ya? Kalau begitu, Nona saja yang membukanya."
Lexyan mengangkat satu alis. "Anda serius?"
Pria bertopeng sedikit membungkuk, melepas ikatan tali di tangan Lexyan. "Kudengar kalian berasal dari tempat yang sama, apakah dia akan membunuhmu atau membunuhku? Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelah pintu itu terbuka."
"Pfft! Tuan, apa Anda tahu rasanya otak bergoyang dalam tengkorak?" bisik Lexyan.
Belum sempat pria itu mencerna kalimat, Lexyan memanfaatkan posisi untuk menggerakkan lengan lantas melayangkan pukulan keras dari samping. Pukulannya mengenai pelipis. Seketika tubuh kekar milik pria bertopeng ambruk ke lantai. Dia pingsan.
"Fuh!" Lexyan meniup kepalan tangan sebagai penutup. "Tinjuku selalu tepat sasaran."
Gadis yang pernah mengikuti ekskul tinju itu lekas mengambil kantong hitam di meja. Ia menumpahkan isi kantong tersebut ke telapak tangan, tetapi kosong. Dahinya berkerut karena tidak mendapati sebutir obat pun.
'Sial, jangan-jangan pilnya dibuang oleh pria ini.'
Lexyan menurunkan pandangan di mana tubuh target terkapar. Dengan hati-hati, ia mengangkat topeng pria tersebut dan mulai memindai bagian wajahnya menggunakan kamera kecil yang tertanam di bawah mata.
"Kasihan sekali dia tidak sempat mengelak seranganku, tapi mata birunya benar-benar otentik," gumam Lexyan. Sepasang bola mata kalau dijual di pasar gelap biasanya dihargai belasan juta. Itu baru satu organ. Belum mencakup hati, paru-paru, dan ginjal yang bisa bernilai miliaran.
Bel pintu kembali berdering. Lexyan spontan menoleh. Ia penasaran dengan sosok yang disebutkan oleh target barusan. Katanya dia berasal dari tempat yang sama. Akan tetapi, setiap target pembunuhan dalam satu kelas bisa dilihat dengan dokumen yang berbeda-beda. Mustahil bagi para peserta ujian mendapat target yang sama karena isi dokumen pun berbeda.
Mulut Lexyan sedikit terbuka saat kamera pintu menampilkan bayangan seorang gadis misterus. Gadis di monitor memakai atasan putih dengan masker medis dan telinganya penuh tindikan. Tentu Lexyan merasa familier melihat tindik kupu-kupu tersebut.
'Gabby?'
"Kenapa kamu di sini?" Gabby bertanya setelah Lexyan menarik gagang pintu tanpa pikir panjang. Gadis itu menengok ke dalam memastikan keberadaan orang selain Lexyan.
"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu di sini dan sejak kapan namamu berubah jadi Leah?" Lexyan mencuramkan alis, membuat Gabby tertegun sejenak. Sekilas tatapan tajam tadi sama persis dengan cara Lexion menatapnya.
"Hei, jangan salah paham ...." Gabby meraih tangan Lexyan. "Aku menggunakan nama Leah untuk membantumu. Leah adalah nama samaran yang aku pakai saat di luar sekolah. Ini hanya identitas buatan. Tanpa identitas ini, aku tidak bisa masuk ke apartemen dengan mudah."
Masuk akal. Lexyan sendiri mengalami kesulitan sewaktu pemeriksaan pengunjung. Petugas front office terus menanyakan soal kartu penduduk atau kartu lainnya yang menunjukkan identitas. Sedangkan, Lexyan mengetahui rahasia umum bahwa setiap nama murid di sekolahnya tidak ada satu pun yang tercatat sebagai warga negara. Lexyan memiringkan kepala. Cara berpakaian Leah agak berbeda dibandingkan saat menjadi Gabby. Bukankah lebih merepotkan karena punya dua identitas?
"Aku kira kamu sibuk menghadapi ujian akhir, tapi kamu malah bilang mau membantuku?" tanya Lexyan dengan nada sarkas. Pasalnya tadi pagi dia menolak permintaan Lexyan untuk membuat obat pereda nyeri.
"Aku juga tidak mau datang ke sini kalau bukan dipaksa adikmu yang khawatir setengah miring." Gabby memutar bola mata ke arah punggung Lexyan.
"Lexion khawatir? Mana mungkin!"
Gadis bertindik itu mengeluarkan pil putih kebiruan. "Nah, dia mengancam akan mengulitiku hidup-hidup kalau tidak membawakanmu ini."
"Obat apa ini?" Lexyan memandang obat putih kebiruan di tangannya dengan curiga.
"Penghilang rasa sakit. Ayo coba! Aku sudah menambahkan efek ganda dari obat ini. Selain menghilangkan rasa sakit juga bisa mempercepat pembekuan darah," paparnya.
Lexyan semakin tidak ingin menelan pil tersebut. Sikap Gabby yang tergesa-gesa seolah menutupi sesuatu.
"Jangan meremehkanku, Gabby," ucap Lexyan sembari melempar obat ke sembarang arah. "Aku tidak sebodoh yang kamu kira."
Gabby terdiam sejenak. Dia telah mengorbankan banyak waktu untuk membuat pil tersebut. "Dasar ...!" umpatnya kemudian mendorong dada Lexyan hingga terjatuh.
"Kamu gila, ya!" teriak Lexyan yang hilang keseimbangan. Ia merintih merasakan siku dan pantatnya mencium lantai.
"Maaf, aku terbawa emosi. Aku tidak bisa mengambil gambar kalau kamu bergerak terus. Bisakah kamu diam sebentar?"
Gabby mulai memindai wajah Lexyan yang tersudutkan. Sebisa mungkin Lexyan beringsut ke belakang saat Gabby melangkah mendekat.
"Benar-benar gila! Untuk apa kamu mengambil foto? Jangan bilang apa yang dikatakan pria itu benar, bahwa targetmu adalah aku?" tanya Lexyan dengan pupil mata menyusut.
Gabby melemparkan seberkas dokumen untuk menjawab pertanyaan Lexyan. Gadis pirang tersebut memungut dokumen dan membukanya dengan tidak sabar.
Pada halaman terakhir, terdapat potret seorang gadis berambut cokelat memakai almamater hitam beserta informasi yang sedikit namun sangat lengkap di bawahnya. Gadis tersebut bernama Lexyan, siswi kelas D angkatan '24. Bahkan hanya dengan dua informasi ini, tidak ada yang tidak bisa menemukan Lexyan.
Spontan Lexyan tertawa getir seraya merobek-robek dokumen itu. Tatapannya kosong. Dia tidak mengerti sama sekali. Kenapa dirinya malah menjadi target?
"Gabby, tolong buat aku mengerti," lirihnya.
"Sebenarnya bukan kamu saja, tapi semua anak kelas D sejak dulu memang dijadikan target pembunuhan di ujian akhir kelas A. Aku juga kaget saat melihat fotomu di dokumenku." Gabby mengembuskan napas prihatin. "Saat kutanyakan kenapa, penguji bilang murid kelas D tidak ada yang pernah berhasil melewati ujian akhir."
Lexyan mendongak marah. "Aku bisa!"
"Bukankah kamu terlalu percaya diri, Lexyan? Apa kamu tahu di mana pria bertopeng itu sekarang?" tanya Gabby.
Lexyan celingak-celinguk mencari sosok tersebut. Alisnya terpaut.
"Tidak ada. Dia sudah kabur dari tadi sebelum aku menginjak garis pintu dan inilah alasan utama kenapa kamu bisa menjadi target. Kamu pantas mati, Lexyan," imbuhnya sambil menyiapkan jarum suntik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apple Time Is Over
Viễn tưởngGagal dalam menjalankan misi pertama? Bagi pembunuh kelas teri, itu sudah hal yang biasa. Namun gadis pembunuh pada abad ke-21 ini sangat optimis akan menduduki kursi pembunuh profesional paling top di dunia. Nasib buruk menariknya dari kematian dan...