Bab 2-(sosok populer)

410 43 6
                                    


Gara-gara Juan, Juwita nyaris terlambat. Juwita bahkan tidak sempat berpamitan pada sang ayah dan buru-buru keluar mobil.

Ngomong-ngomong soal abangnya, seingat Juwita, Juan sudah berangkat dengan motornya beberapa saat sebelum mobil Bram yang mengantar Juwita keluar garasi, pasti abangnya itu sudah sampai lebih dulu di sekolah. Bagus, deh. Juwita jadi tidak perlu susah-susah menghindari abangnya begitu tiba di sekolah.

Info pembagian kelas sudah Juwita lihat lusa lalu di papan mading. Jadi, hari ini Juwita tinggal masuk. Sepanjang koridor, Juwita menyentuh  dadanya yang terus berdebar. Tenang, Ju! Tenang. Setelah sampai di kelas, mata Juwita mengedarp memperhatikan sekeliling, dia melihat semua orang yang sedang asyik mengobrol dan tidak menyadari kehadirannya. Juwita tersenyum getir, baru juga masuk kelas, Juwita sudah menciut. Lagi pula, apa yang Juwita harapkan?

Juwita jarang mempunyai teman akrab. Kebanyakan dari mereka datang ketika butuh saja, sedangkan Juwita sendiri merupakan tipe yang santai meski tidak mempunyai teman, tetapi tidak dipungkiri bahwa Juwita sebenarnya sangat kesepian.

Sepertinya masa SMA tidak akan jauh berbeda dengan masa sekolahnya seperti sebelum-sebelumnya.

Hah, belum lagi kali ini Juwita satu sekolah dengan Juan, hal-hal mengerikan langsung menari di kepalanya. Juwita takut mengulang kejadian buruknya dulu. Padahal, Juwita sudah meminta supaya kedua orangtuanya mengizinkan dia sekolah di SMA yang berbeda dengan Juan. Juwita malas sekali jika orang-orang mulai mengenalnya sebagai adik Juan yang populer itu.

“Kenapa juga harus beda? Inget nggak sewaktu kalian beda SMP, Ayah suka susah jemputnya, Bang Juan juga susah jemput kamu. Kalau satu sekolah, kan, kalian bisa pulang bareng.” Adalah yang ayahnya katakan saat Juwita meminta berbeda sekolah dengan Juan.

“Justru itu, Yah. Kakak enggak mau pulang bareng Abang Juan. Kak–”

“Nggak ada sesi membantah, Kak. Kamu harus mau, ini semua demi kebaikan kamu kok,” putus ayahnya tegas. Gagal, deh. Jika ayahnya sudah punya keputusan, Juwita tidak bisa membantah. Satu-satunya cara ya, terus menghindari Juan.

“Juwita!”

Lamuna Juwita buyar mendengar teriakan barusan, matanya mengerjap saat seorang gadis gadis berseragam putih abu-abu sepertinya berlari menghampiri Juwita. Ada bandana merah muda di atas kepalanya.

“Adh–eh!” sentak Juwita saat sosok tersebut tiba-tiba memeluknya.

“Gila! Gila! Gila! Ternyata kita satu kelas, Ju!”

Ugh! Juwita nyaris kehabisan napas.

“Adhira! Sesak!” keluh Juwita memuluk-mukul lengan Adhira.

Fiuh! Akhirnya. Gadis yang dipanggil Adhira tersebut melepas pelukannya lalu menyengir.

“Gue duduk sama lo, ya?” tanya Adhira yang tentu saja membuat Juwita kaget.

“Sama gue?” tanya Juwita memastikan, takut salah dengar.

“Iya. Kan, kita udah kenal.”

Adhira benar, mereka sudah saling mengenal sejak masa MPLS. Akhirnya Juwita pun mengangguk mengiyakan.

“Yey! Kalau gitu kita mending duduk bareng terus sampai lulus! Setuju?” seru Adhira girang. Juwita ikut tertawa kecil, Adhira itu memang heboh sekali dan energi positif yang Adhira bawa ternyata menular pada Juwita.

“Gue deg-deg-an banget hari pertama sekolah. Lo juga nggak?”

Juwita mengangguk. “Banget.”

Tidak lama, Juwita dikejutkan dengan gerombolan siswi yang berkerumun di dekat pintu kelas, teriakan mereka membuat Juwita mau tidak mau tertarik untuk menoleh.

“Mereka kenapa?”

“Ih! Itu deh orangnya!” ujar Adhira ikut excited bahkan sampai menggoyang-goyangkan lengan Juwita.

“Siapa?” tanya Juwita bingung.

“Lo nggak tahu?” Adhira melotot pada Juwita.

“Cowok populer di sekolah kita,” lanjutnya.

Juwita menggeleng pelan. Lebih nggak peduli, sih.

“Sini, ayo kita lihat!” Belum sempat Juwita menolak, Adhira sudah lebih dulu menarik dan mengajaknya menengok koridor. Sebenarnya Juwita malas, apalagi tubuhnya yang kecil kalah dengan beberapa teman kelasnya yang berdiri di depannya.

“Dia tuh kakak kelas sekaligus anggota OSIS di SMA Prestasi Bima tahu. Masa lo nggak tahu, sih?”

Kening Juwita mengernyit. “Enggak tahu. Memangnya siapa?”

“Lo ih, beneran kuper. Ini cowok ganteng banget. Tinggi gitu, alisnya tebal, senyumannya manis banget sampai matanya nggak kelihatan, tap–”

“Hantu, dong? Aduh!” keluh Juwita saat Adhira memukul lengannya.

“Manusia tahu! Terus ya, dengar-dengar dia lumayan galak, tapi malah banyak yang suka. Mau tahu namanya nggak?”

“Enggak.”

“Ih, Juwita! Tetep bakal gue kasih tahu.” Iya, iya. Meski baru berteman beberapa menit, Juwita seperti memahami tabiat heboh Adhira.

“Namanya Juan.”

Eh? Juwita melotot. Dia enggak salah dengar, kan?

“Lengkapnya Juan Kafka Bagaskara,” lanjut Adhira.

“Ju-Juan?”

“Iya. Namanya ganteng, kan?”

Ganteng apanya, pikiran Juwita justru kacau. Suara heboh kembali terdengar dan sesaat kemudian gerombolan laki-laki tinggi dan ganteng beneran berjalan melewati kelas mereka. Padahal, koridor mereka ramai dan berisik, tetapi kenapa juga tatapan Juan kali ini berhasil menyorot keberadaan Juwita begitu saja.

“Ju! Itu orangnya, Ju! Gila! Ganteng banget! Persis kayak yang orang-orang bilang. Kalau kayak gini gue mau deh gabung jadi fans berat dia.”

“Hah? Fans?” Juwita menoleh dengan tatapan horor.

Sialan untuk kesekian! Setelah ini, Juwita harus membuat peraturan dengan Juan; pura-pura tidak kenal Jual di sekolah! Supaya kehidupan Juwita damai dan tenteram. Harus!

Bersambung....

Lanjut??

(Ekspresi Juwita waktu tau abangnya populer di sekolah SMA mereka):

(Ekspresi Juwita waktu tau abangnya populer di sekolah SMA mereka):

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
J3 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang