Bab 3-(abang jahil)

296 23 2
                                    


"Abang!"

Hampir sepuluh menit sejak Juwita mengetuk pintu di depannya, tetapi pemilik kamar enggan membuka. Juwita memutar bola matanya jengkel. Mana pintunya dikunci lagi, kan, Juwita jadi tidak bisa sembarangan masuk.

"Abang! Buka pintunya!" seru Juwita lagi sambil memutar knop pintu. Namun, sia-sia.

Bang Juan tidur, ya? Tetapi, ini, kan, baru pukul delapan malam, mustahil abangnya sudah tidur.

"Oh! Iya! Kan gue bisa lewat balkon," cetusnya tiba-tiba menemukan ide.

"Kenapa juga gue baru inget," lanjutnya.

Tanpa berpikir panjang, Juwita berlari ke kamarnya. Kamar Juwita dan Juan itu bersebelahan dan saling terhubung lewat balkon, kedua kamar juga sama-sama memiliki pintu kaca. Juwita bisa bebas keluar-masuk selama Juan tidak mengunci pintunya. Beruntung pintunya benar tidak dikunci. Begitu masuk, aroma mint seketika itu terhidup. Kamar Juan itu jauh lebih rapi dan bersih dari kamar Juwita. Di sudut kamar terdapat satu koleksi gitar yang digantung, hadiah kelulusan Juan dari orangtuanya. Ada juga rak buku yang penuh dengan buku pelajaran.

Orang lain ngoleksinya novel, ini dia ngoleksinya buku pelajaran? Nggak habis pikir.

Di ujung kamar, tubuh Juan duduk membelakangi Juwita, laki-laki itu tengah menghadap PC.

Dih, pantas nggak denger, lagi main game.

"Bang!" panggil Juwita melangkah mendekat.

"Abang! Gue mau ngomong." Juwita sekarang sudah berdiri di samping Juan yang sedang bermain game. Namun, Juan bergeming dan terpaku pada monitor.

"Woi, lo denger nggak, sih?!" Juwita mulai kesal karena keberadaannya diabaikan.

"Diem dulu," peringat Juan.

Juwita merotasikan bola matanya kesal.

"Abang, ih! Dengerin gue!"

"Ngapain lo ke sini? Pergi sana. Gue lagi main game, ganggu!" usir Juan.

Juwita melongo. Enteng sekali laki-laki di depannya menyuruh Juwita pergi.

"Gue mau ngomong," ucap Juwita sambil menggoyangkan bahu Juan. Juan akhirnya bersedia menoleh, menatap malas-malasan adiknya.

"Apa, sih?" tanyanya tidak sabar. Dia benar-benar tidak mau diganggu.

Telunjuk Juwita menunjuk telinga Juan, menyuruhnya untuk melepaskan headphone yang menempel.

"Apa?" tanya Juan ketus usai melepas headphone.

"Gue mau minta sesuatu."

Salah satu alis Juan naik. "Minta apa?"

"Gue minta lo buat nggak ngenalin gue di sekolah," kata Juwita mantap.

"Sinting. Aneh," komentar Juan kembali memasang headphone.

"Ih Abang! Gue beneran!"

"Gue nggak mau." Juan sudah kembali fokus pada game-nya.

"Kok gitu?" Juwita tidak terima.

"Lagian kurang kerjaan banget lo."

"Pokoknya kita pura-pura nggak kenal, Bang!"

"Nggak! Gu-eh!" Ucapan Juan terputus saat Juwita mengambil headphone Juan lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Ju! Kembaliin!" Juan melotot.

"Lo harus setuju dulu baru gue kembaliin."

Yang kali ini pasti berhasil. Namun, alih-alih panik, Juan justru menyeringai. "Ya udah, gue masih bisa main game tanpa itu, kok."

Ah! Kesel. Juwita langsung cemberut. "Ini, ini. Gue kembaliin." Juwita mengembalikan benda yang diambil serta menaruhnya di depan Juan.

"Tapi, lo setuju, dong. Please. Nanti gue bakal kabulin apa pun yang lo mau."

Juan masih terlihat cuek dengan penawaran adiknya.

"Lo boleh kok ngambil bagian duit jajan gue bulan ini." Juwita masih berusaha bernegosiasi.

Salah satu alis Juan naik, dia justru penasaran, kenapa Juwita memintanya untuk tidak mengenal adiknya tersebut bahkan sampai mau melakukan apa pun.

"Setengahnya?" tawar Juan menyeringai.

Sontak, Juwita terkejut. Setengah dari uang saku sebulannya? Duh, kenapa jadi enggak ikhlas, ya?

"Lima ratus ribu aja. Gue kasih, deh," kata Juwita.

Juan menggeleng. "Satu juta." Senyum Juan semakin jahil. Lagi pula, kapan lagi coba bisa membuat Juwita menurut begini.

Satu juta? Juwita langsung panik, itu bukan uang yang sedikit. Namun, sekarang ia sedang mempertaruhkan dirinya.

"Gimana?"

Juwita cemberut. Walaupun terasa berat, ini pilihan terakhir. Meski uang jajannya akan berkurang, Juwita lebih takut jika teman sekolahnya mengetahui mereka adalah saudara kandung. Masa sekolah Juwita pasti terancam. Tidak menutup kemungkinan mereka juga akan mulai membanding-bandingkan Juwita dengan Juan dan hidup Juwita pasti tidak akan tenang. Juwita menggeleng menepis pikiran yang membuatnya takut. Nggak, mending gue kasih duit ke dia. Daripada hidup menderita di sekolah.

"Okay, deal!"

Juwita mengulurkan tangan yang dijabat langsung oleh Juan. Setelah itu, Juwita bergegas beranjak sambil menggerutu. Ludes sudah uang jajan gue!

"Phft." Juan menahan tawanya melihat langkah kesal Juwita.

Nanti duitnya gue balikin, kok, tapi ngejahilin dia kapan lagi coba.

"Tutup lagi pintunya, Ju!"

"Ogah!"

Shit!

Juwita kalau ada maunya:

Tapi yang dibaikin ngelunjak:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tapi yang dibaikin ngelunjak:

Tapi yang dibaikin ngelunjak:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
J3 [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang