Prosesi pernikahan Aksama dan Kaluna mengusung adat jawa, setelah ijab kabul, keduanya digiring ke dalam kamar untuk mengganti pakaian—adat jawa.
Aksama terlihat gagah mengenakan pakaian pernikahan adat jawa kanigaran, baju beskap berkerah, berbahan beludru halus. Di bagian dada dan lengan ada hiasan berwarna emas untuk menambah kesan mewah, sedangkan Kaluna mengenakan pakaian senada dengan Aksama yang membedakannya tidak berkerah. Untuk bawahan sama-sama mengenakan kain yang berbeda dengan kain arik biasanya. Untuk Aksama, pada bagian belakang diselipkan keris—sebagai lambang pusaka.
Keduanya duduk di pelaminan dengan tenang, senyum merekah dan menawan.
Lemba yang duduk di antara keluarga lainnya, menoleh ke arah Bayung yang tengah asyik menyantap banyak makanan, pipinya menggelembung lucu. Lemba tersenyum tipis, tidak bisa melepaskan tatapannya barang sebentar saja dari sang adik, sampai tak sengaja ekor matanya menatap seorang wanita yang mencuri-curi pandang—Adindra, wanita itu terlihat serius dengan obrolan perjodohan itu.
Sejak pembicaraan tidak jelas itu, Adindra yang memang membantu keluarga Bagaskara untuk mengurusi acara pernikahan tampak berusaha mendekatinya.
"Dia itu bidan di puskesmas pulau," ucap Wiyata ketika malam santai mereka diisi dengan obrolan ringan.
Suara menjadi dua, lima puluh persen keluarga memilih agar Lemba tidak usah memikirkan perihal perjodohan itu, sedangkan lima puluh persen lagi memilih agar Lemba menerima perjodohan. Adindra memang terlihat menawan, cantik dengan rambut bergelombang yang panjang, wajahnya khas wanita jawa, tingkah lakunya begitu sopan dengan yang lebih tua. Namun, semua itu tidak berlaku untuk Lemba yang tidak tertarik.
Mata tajamnya bergerak menatap Bayung yang melambaikan tangan, mengangkat piring yang sudah penuh dengan makanan.
"Mau?" Tanya Bayung tanpa suara, berteriak pun percuma karena suara musik mulai mendominasi.
Lemba menggeleng. Pergelangan tangan kanan yang terangkat bergerak pelan di depan mulutnya.
"Minum?" Tanya Bayung, yang masih Lemba dapat mengerti, kepalanya mengangguk. Dia tersenyum tipis ketika melihat Bayung bergerak mencari minum untuknya.
"Mas Lemba ...." Ada suara menyapa dari arah belakang.
Lemba menoleh, mendongak untuk melihat wajah cantik yang memerah itu. "Ya?"
"Ini, saya bawakan makan, kata Tante Ratna, Mas Lemba belum sarapan." Ucapnya, kepala Lemba mencari keberadaan Tante Ratna yang duduk di antara keluarga lain sambil menggendong Bestari. Wanita yang mengenakan pakaian kebaya keemasan itu menoleh, tersenyum lebar dan mengacungkan jari jempolnya.
Lemba berdecak, Tante Ratna adalah salah satu yang berpihak menyetujui Lemba bersama Adindra.
"Saya—"
"Nih, Kak!" Keduanya menoleh pada si kecil berlesung yang menyodorkan gelas dengan isi es buah. "Katanya haus."
Lemba meraih gelas dari tangan Bayung, mengucapkan terima kasih. Lalu menatap Adindra yang masih senantiasa membawa piring di atas telapak tangannya. "Saya tidak sarapan,"
"Eh?" Mata bulat wanita itu mengerjap pelan.
"Kak Lemba mana bisa sarapan, dia selalu makan satu roti saja sudah kenyang, Kak." Ucap Bayung sambil berlalu dari hadapan Lemba dan Adindra yang menahan malu karena merasa lancang atas sikapnya.
"Biar untuk saya saja." Pria yang duduk di sebelah Lemba meraih piring dari tangan Adindra. Membuat wanita itu menyerahkan bawaanya dan pergi dari tempat. Pria itu menyikut Lemba. "Kelihatan sekali menolaknya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBAYUNG (Short Story-END)
RomanceSeharusnya Lemba tahu, bahwa mencintai adiknya sendiri itu adalah hal yang salah. Itulah sebabnya ia melarikan diri untuk membuang perasaan terlarang itu. Sialnya, ia harus kembali dengan perasaan yang semakin membesar. Bisa tolong bantu Lemba unt...