"Loh, adik kamu di mana, Lemba—" Mega menahan pertanyaannya, dia melihat putranya berjalan cepat menaiki anak tangga tanpa mengucapkan salam atau setidaknya menyapanya yang berdiri di ambang pintu. Hujan mulai turun dengan deras, Mega khawatir karena Lemba dan Bayung pergi ketika rintik satu per satu jatuh. Yang kembali hanya Lemba.
Mega berjalan ke teras rumahnya, menatap keluar pagar, barangkali Bayung terlihat berlari menembus hujan. Namun, dia hanya melihat muda-mudi bergerombol yang tidak ada Bayung diantaranya. Mega meremas kedua tangannya.
"Bu, kok tidak masuk?" Wiyata bersandar di daun pintu, dia hendak mengunci pintu tadi, sebelum melihat sang istri berdiri di teras rumah dengan wajah khawatir. "Menunggu siapa? Lemba sudah pulang, Bapak lihat."
"Bayung, Pak." Mega menatap sang suami. "Kan Bayung pergi bersama Lemba tadi, saat Lemba Ibu tanya, malah diam saja dan langsung naik."
Wiyata mengusap punggung istrinya untuk menenangkan. "Sebentar, Bapak cari Bayung dulu, Ibu tenang, ya?"
Mega mengangguk kuat, ada perasaan lega ketika Wiyata berjalan masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa payung berwarna merah-putih. Ketika Wiyata hendak pergi dari teras rumah, Mega memekik saat melihat bayangan tubuh kecil Bayung berlari menembus hujan—tubuh basah kuyup itu berdiri di teras rumah, tidak peduli dengan tetesan dari bajunya yang basah.
Bayung berlari menghampiri Ibunya. "Kak Lemba sudah sampai, Bu?"
"Bayung! Kenapa tidak berteduh dulu, Nak." Mega berlari masuk, mencari handuk untuk menghangatkan tubuh si kecil. "Ayo ganti baju dulu."
Akan tetapi, Bayung tampak terburu-buru, dia mengentakkan kakinya ketika pertanyannya tidak ditanggapi. "Bu! Kak Lemba sudah sampai belum?"
"Sudah ... Sudah, dari tadi langsung masuk—Bayung!!!" Mega terkejut ketika Bayung melesat dari pandangannya, tidak menerima handuk yang baru saja diambil.
Menaiki tangga dengan tergesa-gesa, Bayung mendorong pintu kayu yang sudah berwarna usang. Ketika pintu terbuka lebar, dia melihat sang kakak tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil, menoleh—menatap Bayung datar.
"Kak ...." Bayung melangkah pelan masuk, dia tidak peduli jika sekujur tubuhnya basah dan mengotori ruang kamarnya. Dia hanya tidak suka dengan perasaan yang mengganjal ini ketika sang kakak berbicara tidak seperti biasanya. Perasaannya tergores, pun dengan otaknya yang mendadak takut jika kakaknya akan pergi hanya karena kebodohannya. "Maaf ...."
Lemba tidak bergerak, hanya terus mengeringkan rambut—melihat adiknya melangkah masuk dengan takut-takut.
"Kakak! Jangan seperti itu!!"
"Ck, apa?" Lemba berdecak, membuat Bayung melebarkan matanya, dia tidak tahu jika kakaknya mampu bersikap begitu.
Iya, Bayung memang tidak tahu apa pun tentang Lemba.
"Kak, maafkan Bayung, ya?"
"Tidak ada yang perlu meminta maaf atau dimaafkan, Bayung."
"KALAU MARAH YA MARAH SAJA!! KENAPA MALAH MENDIAMKAN SIH," Bukannya merasa bersalah, si kecil Bayung malah berteriak kesal pada Lemba. Kakinya mengentak-entak, "Maafin, Bayung!!!"
"Bayung, Nak, ada apa?" Mega mendorong pintu lebih lebar agar dapat melihat kedua putranya, meski hujan turun begitu deras bersama dengan gunturnya, suara teriakan Bayung masih dapat terdengar. "Kenapa berteriak, Kalian bertengkar?"
"Iih, Ibu, jangan masuk!" Bayung mendorong lembut punggung Ibunya untuk keluar, dia mengunci pintu sebelum kembali menatap Lemba yang tidak berkutik.
"Bayung tidak bermaksud seperti itu—" Kepalanya menggeleng kuat, air matanya sudah membasahi pipi halus nya, menyaingi basahnya hujan. Kali ini serius, Bayung menangis takut. "Bude Ningsih, Mamanya Kak Adindra yang meminta, katanya, Kak Lemba itu suka sama Kak Adindra tetapi malu mengungkapkan, makanya Bude minta Bayung yang memberi jalan untuk kalian pendekatan."
Lemba masih diam di tempat, menurunkan tangan yang sejak tadi sibuk mengeringkan rambut. Dia melangkah ke arah lain untuk meletakkan handuk kecilnya. "Hm, begitu—"
"KAK!!!" Bayung memekik. Dia benci melihat kakaknya bersikap acuh seperti itu. Bayung mengusap pipinya, air matanya tiba-tiba terjatuh tanpa sebab, sama seperti hujan di luar yang tidak kunjung berhenti. Seperti Apsara tahu bahwa ada seorang insan yang sedang membantunya membasahi kehidupan. "Maaf, Bayung salah ..."
"Tidak, saya yang bersalah—"
"Kakak!!!" Bayung berteriak, dia tidak suka dengan sikap menyebalkan kakaknya.
Tidak cocok.
"Bayung harus apa, Kak?" Bayung mulai terisak, ujung hidungnya memerah.
Lemba menoleh. "Bukankah seharusnya kakak yang bertanya seperti itu, Bayung?"
Dahi Bayung berkerut, tentu saja dia tidak paham maksud dari Lemba, karena pria itu hanya ingin bertanya tentang apa yang harus dilakukan agar sang adik menyadari kekesalannya ini. Lemba marah pada bayung bukan karena adiknya terlalu polos untuk membantu pihak Adindra, tetapi karena dia terlalu kesal pada dirinya sendiri, semua ini sulit dilukiskan dengan kata-kata karena Lemba sendiri tidak bisa mengatakannya.
"Sudahlah, lupakan." Lemba menghela napasnya lemah, dia agak lelah. "Sudah terlalu malam, mandilah, kamu bisa demam."
"Tidak, Bayung bersalah karena tidak bertanya pada kakak lebih dulu—"
"Bayung," suara Lemba merendah. "Kakak yang bersalah karena tidak memberitahumu. Jadi, berhenti menyalahkan diri sendiri."
"Kak ..." Bayung merengek, kakinya melangkah pelan, meraih kedua tangan Lemba. "Bayung pikir Bude Ningsih itu benar, kakak selalu menatap Kak Adindra ketika kami sedang mengobrol, bahkan sesekali melirik ke arah Kak Adindra ketika dia datang membantu di sini. Itu berarti Kakak memang memperhatikan Kak Adindra."
Lemba mendengus, menatap Adindra bagaimana? Dia tersenyum tipis memandang adiknya, mengusap wajah dengan satu tangan yang bebas. Astaga, apa adiknya itu tidak sadar jika Lemba sedang menatapnya bukan menatap Adindra? "Okay, tidak masalah, kamu hanya salah paham. Sekarang, pergi untuk mandi agar kamu tidak demam, Bayung."
"Kakak sudah tidak marah?"
Lemba tersenyum, bagaimana bisa dia marah dengan pujaannya. Kepalanya mengangguk pelan, memberikan jawaban pada pertanyaan Bayung.
"Bayung dimaafkan?"
"Uhum," Lemba mengangguk lagi.
Bayung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Semudah itu? Padahal Bayung sudah ketakutan. Jangan meninggalkan Bayung seperti itu ya, Kak? Bayung tidak mau jauh dari Kakak."
Tangan Lemba terangkat, membelai puncak kepala Bayung. Tidak ada yang dapat menjamin untuk Lemba tetap berada disisi Bayung
"Jadi, Bayung masih boleh tidur sambil memeluk Kakak?"
Lemba terkekeh sambil mengangguk, membuat Bayung berjingkrak riang. Ketika tubuh basah itu berlari akan masuk ke dalam dekapan Lemba, pria itu menahan bahu Bayung, "Kamu basah."
"Eh, iya," Bayung tertawa sambil menutup mulut dengan satu tangan.
Meski wajahnya sembap dan poninya yang lepek, Bayung tetap terlihat cantik. "Bayung pergi membersihkan diri dulu, Kakak."
Lemba mengangguk, membiarkan si kecil berlari keluar, meninggalkan jejak basah di lantai. Lemba yang perlu membersihkan itu, seperti kekesalan pada hatinya—dia yang perlu menenangkan sendiri.
***
Hellow ≥﹏≤
Wah, gini ya rasanya update gak setiap hari 😭🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBAYUNG (Short Story-END)
RomanceSeharusnya Lemba tahu, bahwa mencintai adiknya sendiri itu adalah hal yang salah. Itulah sebabnya ia melarikan diri untuk membuang perasaan terlarang itu. Sialnya, ia harus kembali dengan perasaan yang semakin membesar. Bisa tolong bantu Lemba unt...