EPILOG : TAMARAM

828 93 84
                                    

Sejak kepergian Lemba dari keluarga Bagaskara dua tahun lalu, seisi rumah menjadi berubah. Mega lebih pendiam, Wiyata tidak banyak bicara dan Renjana lebih suka menghabiskan waktu di tempat kerja. Aksama dan Kaluna sudah sibuk dengan rumah mereka sendiri.

Bayung melangkah pelan menatap genggaman tangan seorang pria tinggi berwajah manis, bibir pria itu terus bergerak—mengajak keluarganya berbicara sepanjang mereka berjalan menyusuri trotoar, melewati beberapa pura.

"Nah, Pak, Nuraga tuh suka kumpul bersama teman-teman di kafe yang tidak jauh dari sini." Ucap Nuraga pada wiyata yang berjalan di belakangnya. "Katanya pada kafe itu juga menyediakan resort. Jadi, Nuraga akan pindahkan sekeluarga untuk tinggal di sana lebih dulu, tidak apa-apa, 'kan?"

Wiyata terkekeh. "Tidak masalah, rumahmu masih terlalu repot jika kami menempatinya."

Nuraga mengangguk, tangan yang menggenggam tangan lebih kecil di guncang. Kepala tunangannya itu mendongak, tersenyum tipis membuat Nuraga turut menarik kedua sudut bibirnya.

"Apa?" Tanyanya lirih.

Nuraga menggeleng. "Kok diam saja?"

"Bayung tidak tahu mau bicara apa," pria kecil itu terkekeh, perjalanan dari pulaunya menuju pulau dewata membutuhkan tenaga yang lumayan cukup menguras karena mereka masih menggunakan jalur darat. "Wah, ada nama Bayung di restoran itu." Bayung memekik sambil menunjuk, melepaskan genggaman Nuraga.

Seluruh keluarga menatap ke arah sebuah rumah makan berdesain khas pulau dewata. Namun, yang membuat menarik keluarga tersebut adalah namanya, 'Lembayung'. Nuraga mengerutkan dahinya. "Wah, saya juga lupa, ini baru buka mungkin? Mau mencoba, sepertinya enak karena ramai."

Tidak ada yang menolak ajakan Nuraga, mereka melangkah menyeberang jalan pada zebra cross menuju restoran bernama 'Lembayung'. Tempatnya tidak terbilang sederhana tetapi tidak bisa dikatakan mewah juga, para pelayannya mengenakan pakaian khas. Para pria mengenakan Baju safari, baju yang memiliki bentuk tidak jauh berbeda dengan kemeja. Namun, baju safari memiliki kerah dan dua saku di bagian kiri serta kanan bawah, sedangkan untuk para perempuan mengenakan baju kebaya Bali.

Seorang pria menghampiri, tersenyum begitu ramah. "Selamat sore …"

"Sore," Nuraga menunduk kecil, merangkul bahu Bayung lembut. "Kami datang satu keluarga, apa ada tempat, Bli? (panggilan pada orang Bali berjenis kelamin laki-laki)."

"Oh, ada. Mau kami tempatkan di tempat khusus? Bisa memandang bagaskara yang sebentar lagi terbenam di ujung Ufuk?" Tanya pria itu dengan aksen khas Bali, Nuraga mengangguk mengiyakan, membuat pria itu memberikan arahan jalan untuk satu keluarga Bagaskara.

Sebuah tempat yang mencukupi untuk satu anggota keluarga berisi tujuh orang, hanya ada beberapa tempat untuk keluarga, sisanya beberapa orang yang datang hanya berdua atau sendirian. Nuraga berpamit untuk mencari pelayan yang mencatat pesanan dan Renjana ikut untuk mencari kamar kecil. Wiyata dan Mega mengobrol ringan membicarakan tentang acara yang akan mereka gelar, Aksama dan Kaluna sibuk berswafoto, sedangkan Bayung menatap ke arah pantai dengan banyak orang yang sedang bermain di sana.

"Bli Lemba, hari ini pesanan kepiting kita tidak datang. Jadi, terpaksa menu itu kita tutup untuk malam ini, bagaimana?" Seorang pelayan wanita berkebaya itu berucap dengan pria berkemeja abu-abu, rambutnya panjang digelung, dia memakai kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya.

"Tidak masalah, penuhkan stok makanan yang lain." Ucapnya.

Tidak hanya Bayung, seluruh keluarganya juga ikut menatap pria itu. Pria yang seharusnya masih menjadi anggota keluarga mereka sebelum pertengkaran dua tahun lalu itu terjadi.

LEMBAYUNG (Short Story-END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang