Ruang tengah Bagaskara dipenuhi tawa oleh Lemba, puncak kepalanya sedang dikacaukan oleh Renjana. Kakak pertamanya itu tidak berhenti mengganggu dirinya, terkadang mencubit kedua pipi atau memeluknya erat.
"Uh, kenapa kamu jadi setampan ini sih?" Renjana menatap wajah Lemba lamat-lamat, wajahnya tersirat sebuah rasa bangga melihat sang adik tumbuh dengan baik ketika jauh dari keluarga. Ketika mendengar Lemba pulang, Renjana tidak memiliki waktu untuk menjemput karena warung sembako tempatnya bekerja sedang ramai. Saat pulang, Lemba sudah terlelap dan Renjana hanya berani mengintip dari celah pintu yang dibuka sedikit. Ketika pagi datang, Renjana sudah harus berangkat kerja, maklum saja, di pulau mereka belum ada yang membuka warung sembako sebesar tempat Renjana bekerja. "Kamu pasti menjadi idaman para wanita di kota?"
Lemba terkekeh. "Tidak juga, Kak."
Lemba pasrah, dia menjadi sasaran kegemasan oleh sang kakak. Matanya menatap Bayung yang tengah asyik berbincang dengan sepupu jauh sambil menyantap makanan. Kedua sudut bibir Lemba tertarik, jika saja posisi mereka bukan seperti ini, Bayung cemburu tidak ya?
Lemba berdecak dalam hati, mana mungkin Bayung cemburu, masalahnya hanya dia yang memiliki rasa di sini.
Renjana menepuk pipi tirus Lemba. "Heh, ditanya juga."
"Eh?" Lemba menatap Renjana—mengerjapkan mata dua kali. Dia terhanyut dalam lamunan. "Kak Jana bilang apa?"
Wanita berambut panjang itu mendengus, melipat kedua tangan di dada. "Bukan kakak, tapi Mbah Uti."
Lemba menatap wanita tua yang memakai atasan kebaya jadul dan bawahan kain panjang, semua orang menyebutnya mbah. Dalam bahasa jawa, mbah adalah panggilan untuk kakek dan nenek, untuk membedakannya, kebanyakan orang memanggil mbah laki-laki dengan panggilan mbah kakung—dalaman bahasa jawa, kakung adalah laki-laki dewasa, sedangkan untuk mbah perempuan dengan panggilan mbah uti—yang diambil dari kata putri atau berarti perempuan.
Lemba berjalan dengan kedua lututnya, meraih tangan Mbah Uti dengan kedua tangannya. "Sehat, Mbah Uti?"
"Sehat," Mbah Uti mengecup puncak kepala Lemba yang duduk di lantai. Memeluknya erat. "Kamu kerja apa di ibu kota?"
"Di percetakan, Mbah." Jawab Lemba, masih dalam pelukan Mbah Uti.
Mbah Uti menjauhkan tubuhnya. "Apa itu? Kerjanya ngapain?"
Lemba tersenyum tipis, matanya hampir menyipit menahan polosnya pertanyaan Mbah Uti. "Perusahaan yang mencetak majalah, koran, sampai novel. Lemba bagian yang mencetak koran, Mbah."
"Walah, pasti pusing."
"Tidak juga," Lemba mengelus lengan Mbah Uti yang masih menangkup wajahnya. "Kapan-kapan Lemba ajak Mbah Uti ke sana."
"Mboten purun (tidak mau)" Mbah Uti menggeleng, mengatakan tidak bersedia untuk kalimat basa-basi Lemba. "Lemba tidak usah kembali saja, di sini sama Mbah Uti, ya?"
Giliran Lemba yang menggeleng samar, jangan sampai terlihat oleh Bapak dan Ibu. Lemba sudah mendengar sayup berita jika dirinya tidak akan dikembalikan atau lebih tepatnya tidak diizinkan untuk pergi dari pulau. Lemba memang sengaja dipulangkan.
"Gantian, Mbah Uti." Ucap Mbah Kakung, menarik Lemba dalam dekapan istrinya. Lemba tertawa saja ketika tangannya ditarik oleh pria tua di sebelah Mbah Uti. Lemba dipeluk erat. "Sampai pangling (tidak mengenali), cucuku gagah, sepertiku."
Mbah Uti berekspresi seperti muntah, mengejek Mbah Kakung yang terlihat memuji dirinya sendiri. Hal itu membuat seluruh orang tertawa, menggeleng heran pada pria tua yang hobi bercanda.
Mbah Kakung dan Mbah Uti yang berada satu ruangan dengan Lemba adalah orang tua dari Bapak, sedangkan orang tua dari ibu hanya tinggal kakek yang berada di ibu kota—tidak ikut karena kesibukannya, hanya menitipkan bingkisan kecil serta amplop untuk membantu acara megah milik Aksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEMBAYUNG (Short Story-END)
RomansaSeharusnya Lemba tahu, bahwa mencintai adiknya sendiri itu adalah hal yang salah. Itulah sebabnya ia melarikan diri untuk membuang perasaan terlarang itu. Sialnya, ia harus kembali dengan perasaan yang semakin membesar. Bisa tolong bantu Lemba unt...