Gelap, itulah yang Hares rasakan. Dia masih bisa mendengar hiruk pikuk di sekitarnya, masih bisa mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Ia masih bisa mendengar dan merasakan semuanya. Hanya saja dia tak bisa bergerak. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya sulit. Belum lagi ia merasa bahwa sekujur tubuhnya terasa sakit. Napasnya sesak. Hingga perlahan, sebuah cahaya menyapa kedua kelopak matanya. Terang, dan Hares dapat melihat wajah orang-orang yang terlihat panik menatapnya. Tapi hanya sekilas. Sebab mata Hares kembali tertutup. Kini ia tak bisa merasakan apapun. Hanya senyap, sunyi, dan gelap.
Sementara Hares ditangani oleh dokter dan perawat di dalam sana, Jea yang merupakan perempuan sekaligus orang yang menyebabkan pemuda itu masuk UGD tetap setia menunggu di ruang tunggu. Gadis itu meremas jari jemarinya, sesekali menekan kulit tangannya dengan kuku. Nara yang melihat itu sontak menahan tangan Jea dan menggenggamnya seraya menggeleng.
"Lo bisa nyakitin diri lo sendiri," katanya.
"Aku nggak bisa merasa tenang, orang di dalam sana kayak gitu gara-gara aku. Kalau dia kenapa-kenapa, aku nggak bisa maafin diriku sendiri," jelas Jea menggebu-gebu. Susah payah menahan diri agar tidak menangis.
"Itu udah pilihan dia, Hares pasti tau risikonya, dia nggak akan nyalahin lo atas apa yang terjadi."
"Kamu bisa ngomong kayak gitu karena bukan kamu yang bikin dia kayak gitu!" teriak Jea. Entah kenapa dia menjadi sangat emosional malam ini.
"Enggak, lo salah." Nara menggeleng. "Gue berani ngomong kayak gitu karena gue tau gimana Hares, dia temen gue. Dia bisa saja meninggalkan lo di sana, dan ngebiarin lo dijahatin sama manusia bajingan itu, tapi kenyataannya apa? Dia merelakan dirinya dipukuli. Untuk menyelamatkan lo, dia bertaruh dengan nyawanya sendiri, yang mana artinya, dia tau apa yang akan terjadi kalau nekat nolongin elo sendirian."
Jea terdiam, bukan karena merasa lega dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Nara, melainkan dia bingung. Bingung harus bagaimana.
•••
Malam itu hujan turun dengan derasnya, Jiji berdiri di depan jendela seraya memandangi kepadatan kota yang dipenuhi kerlap kerlip lampu jalanan dan juga lampu dari kendaraan. Tak lupa pula dengan suara klakson yang saling bersahut-sahutan. Meski samar, namun Jiji dapat mendengar dengan jelas.
Sedari tadi ponselnya berbunyi tanpa henti, dari nomor yang sama, menelpon berulang kali, dan Jiji tak berniat menerima panggilan tersebut. Lebih tepatnya, ia takut pada kemungkinan yang akan terjadi, ada ketakutan yang ia rasakan jika ia mengangkat telpon tersebut. Sebab itulah Jiji mengabaikan panggilan demi panggilan, dan lebih memilih berdiri di depan jendela seraya memandangi jejak-jejak hujan yang membuat kaca jendela kamarnya berembun.
Hingga suara bel mengagetkannya. Jiji berbalik, ragu untuk membukakan pintu. Ia hanya diam sembari memandangi ponselnya yang lagi-lagi berbunyi. Kali ini bukan dari nomor yang sama. Mendadak firasat buruk menyergap dirinya. Membuat pemuda itu berkeringat dingin dan gelisah bukan main. Dia butuh obat penenangnya agar tidak terlalu gelisah.
"Buka, buka pintunya, anjing!" teriak seseorang di luar sana. Orang itu tak lagi menekan bel, ia menggedor-gedor pintu dengan brutal.
"Jiji anjing, buka pintunya, gue mau ngomong!" teriak orang itu lagi. Kali ini disertai dengan suara dentuman yang begitu keras sebab ia menendang pintu berulang kali.
"Kalau lo nggak bukain pintunya, gue telpon polisi!"
Jiji frustasi, polisi bukanlah orang yang boleh datang ke sini.
"Lu udah gila?" tanya Jiji ketika membukakan pintu, lantas kemudian menarik orang itu masuk ke dalam apartemennya. "Mau apa datang ke sini?" tanyanya, berusaha meredam emosi, sebab Jiji sudah tak tahan ingin melayangkan pukulan pada lelaki yang kini berdiri di hadapannya.
"Lo yang udah gila, kenapa lo nggak angkat telpon dari Nara?!"
"Emangnya ada apa?"
"Adek lo, brengsek. Adek lo masuk rumah sakit!" teriak Juna.
Jiji terdiam. Rumah sakit adalah tempat paling menakutkan yang penyebutannya tak ingin ia dengar dari siapa pun . Terakhir kali ia mendengar seseorang menyebutkan rumah sakit, ibunya meninggal. Dan Jiji jelas tak ingin hal itu terjadi juga pada Hares.
"Lo masih nggak mau ketemu sama dia?"
Jiji masih terdiam. Tidak, bukan karena ia tak ingin bertemu dengan adiknya kembali. Ia tak punya cukup keberanian untuk bertemu dengan adiknya itu. Dibandingkan bertemu dengan polisi, Jiji lebih takut jika harus bertemu dan berhadapan dengan adiknya sendiri. Ada perasaan takut setiap kali ia ingin kembali. Jiji takut, jika Hares tahu kebenarannya, Jiji takut Hares akan pergi meninggalkannya. Jiji takut bila Hares berpaling darinya. Di dunia ini, dia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Hanya Hares yang dia miliki. Jika Hares juga berpaling darinya dan memilih untuk pergi, bagaimana bisa dia akan melanjutkan hidupnya nanti?
"Gue nggak bisa ketemu sama dia. Nggak akan pernah bisa."
"Ji, jangan gila. Adek lo masuk rumah sakit, dan kata Nara keadaannya nggak baik-baik aja. Lo mau tetap kayak gini? Lo mau nyesel seumur hidup lo?"
Jiji mengacak rambutnya. Semakin merasa frustasi. Di sisi lain ia sangat ingin bertemu dengan Hares, ia ingin memeriksa apakah adiknya itu baik-baik saja atau tidak, tapi di sisi lain ia tak bisa melakukannya. Ada sesuatu yang menahan dirinya. Ada sesuatu yang membuat dia harus menjaga jarak dengan adiknya tersebut.
"Gue nggak bisa ketemu dia, Juna. Nggak bisa! Lo sendiri tau alasan kenapa gue nggak bisa ketemu sama dia, lo yang paling tau alasannya kenapa!"
"Iya, gue tau! Tapi … ah udahlah, terserah lo. Gue nggak akan maksa," ujar Juna. Ia lelah berdebat.
"Gue balik. Kalau lo berubah pikiran, gue udah nyuruh Nara kirim lokasi di mana Hares berada. Periksa aja hp lo, kayaknya udah dikirim dari tadi." Setelah mengatakan itu, Juna pergi. Dia sudah melakukan apa yang bisa dia lakukan untuk memaksa Jiji bertemu dengan Hares, tapi kalau Jiji tidak mau, dia tidak bisa memaksa.
•••
Dulu Hares sempat memikirkan hal paling gila, ia ingin menabrakkan dirinya ke sebuah mobil, dan berharap dengan begitu Jiji akan datang menemuinya meski ia dalam keadaan sekarat, tapi masalahnya Hares takut mati, dan ia pun membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Jika harus mati, Hares tak ingin mati dalam keadaan yang demikian. Sekarang Hares bersyukur karena tak pernah menjalankan rencana gilanya tersebut, sebab nyatanya, meski dalam keadaan sekarat pun, Jijinya tak akan pernah datang. Ketika ia dilarikan ke rumah sakit, Hares sempat berpikir bahwa mungkin sudah waktunya dia pergi. Dan mungkin Jiji akan muncul di hadapannya, tapi kenyataannya tidak demikian.
"Abang, kamu mau jeruk nggak?" tanya Tyana. Tidak, Hares tidak memberitahu anak itu bahwa ia masuk rumah sakit dan dirawat, ia juga tidak memberitahu ayahnya. Tyana datang ke rumah sakit bersama dengan Nara yang kebetulan singgah ke rumahnya untuk membawakan pakaian, dan pada saat itulah dia bertemu dengan Tyana yang kebetulan juga mampir ke rumah. Kata Nara, anak itu diantarkan oleh supir keluarganya sebab ayahnya sangat sibuk. Jadi, tidak sempat mengantarkan Tyana ke rumah Hares.
"Nggak, makan aja sendiri," balas Hares tak semangat. "Lagian lu ngapain ke sini, sih? Sana pulang."
"Aku nggak bisa pulang sekarang, nanti sore baru dijemput. Aku udah bilang sama pak supirnya kok."
"Gue bisa pesenin ojol buat lu, tapi lu harus mau pulang," ujar Hares sudah mengotak-atik ponselnya, bermaksud memesankan sebuah ojol untuk adiknya tersebut.
"Abang nggak mau aku ada di sini? Abang nggak mau aku temenin? Aku nggak akan gangguin kamu kok. Anggep aja aku itu nggak ada, aku bisa main sama Luke di sana," ujar Tyana seraya menunjuk lantai. Luke itu adalah nama boneka beruang yang tempo lalu diberikan oleh Hares yang katanya adalah hadiah ulang tahun untuk Tyana, boneka yang pada hari itu membuat Tyana mau pergi dari rumahnya.
"Aaah, serah lu deh. Gue mau tidur. Jangan gangguin gue!" teriak Hares frustasi. Dan Tyana hanya mengangguk sebagai tanggapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro, Jiji
Short StorySetelah kepergian ayahnya dari rumah, Jiji terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya dan juga adiknya Hares. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kesulitan, hingga pada saat usia Hares menginjak 14 tahun, Jiji pergi dari rumah. Setelah kepergian Jiji...