Jiji baru pulang ketika jam satu malam, ketika ia berdiri tepat di depan pintu apartemennya, perhatiannya tertuju pada tong sampah yang ada di unit sebelah. Pasalnya, tong sampah itu bukan miliknya. Jika itu bukan tong sampah miliknya, itu berarti ada penghuni baru di lantai ini. Jiji menyipit curiga, sekian lama tinggal di sini, baru kali ini dia memiliki tetangga. Walaupun apartemen Jiji berada dekat di pusat kota, namun apartemen ini tidak banyak penghuninya lantaran harga sewanya yang mahal, itu karena apartemen tersebut merupakan apartemen yang hanya bisa ditempati oleh kalangan atas yang kebanyakan jarang ada di apartemen. Ada pun dari mereka kebanyakan juga tak tinggal di sana, dan hanya menempati apartemen itu di waktu-waktu tertentu. Jiji sengaja membeli apartemen yang memang demikian, demi kelangsungan dan keamanan hidupnya. Di lantai tempat Jiji tinggal pun hanya dia penghuni tetap apartemen ini, makanya ketika ada penghuni di unit sebelah, Jiji jadi curiga."Ji, kok nggak masuk? Ngapain liatin unit sebelah. Jiji udah kenalan sama penghuni barunya, ya?" tanya Jea yang lagi-lagi belum tidur. Bukan karena ia menunggu kepulangan Jiji, tapi memang dasarnya saja dia suka begadang, hingga kesulitan tidur cepat. Lalu kebetulan juga Jea ingin membuang sampah, makanya keluar, eh taunya malah ketemu sama Jiji.
"Je, sekarang udah jam berapa? Kok belum tidur?"
"Belum ngantuk, Ji. Daripada Jiji nanyain kenapa aku belum tidur. Ada hal penting yang mau kuberitau sama Jiji. Ayo kita masuk dulu. Kita diskusinya di dalam aja."
Jiji menurut saja. Barulah setelah mereka berada di dalam dan Jiji sudah duduk di atas sofa, Jea juga ikutan duduk berhadapan dengan pemuda itu.
"Jiji mungkin belum tau, tapi di unit sebelah ada penghuninya. Namanya mbak Trisha. Kayaknya seumuran sama Jiji, dia baru pindah kemarin sore katanya."
"Trisha?"
"Iya, namanya Trisha. Jiji udah kenal, ya?"
Jiji menggeleng. Nama itu terdengar asing, dan bukan pula salah satu nama yang harus dia hindari. Nama Trisha tak ada di daftar nama-nama yang patut ia waspadai. Jadi, siapa itu Trisha? Benarkah dia bukan siapa-siapa? Walaupun ada kemungkinan Trisha memang betulan penghuni baru, tetap saja Jiji merasa curiga. Jika Trisha itu hanya salah satu penghuni tetap di apartemen ini, kenapa kebetulan sekali dia tinggal di sebelah unitnya? Karena Jiji yakin seratus persen. Bahwa apartemen ini tentu memiliki banyak unit yang kosong, kenapa dia harus memilih unit di sebelah apartemennya? Apa pun itu, Jiji patut waspada dan curiga.
"Oh ya, Ji. Ada hal yang belum aku kasih tau sama Jiji. Tadi mbak Trisha ke sini, nggak aku kasih masuk kok, tapi dia minjem kemeja putih punya Jiji. Maaf, katanya dia mau interview kerja, jadinya aku pinjemin. Jadi … salah satu kemeja putih punya Jiji ada sama dia. Sorry ... Jiji jangan marah."
Jiji memang tidak marah, tapi perkataan Jea sukses membuatnya melotot.
"Lu pinjemin baju gue sama orang yang bahkan nggak kita kenal? Lu gimana, sih, Je!"
Jiji mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana jika di salah satu saku kemeja itu ada barang miliknya yang tertinggal? Atau yang paling parahnya, ada barang yang seharusnya tidak boleh ditemukan oleh orang lain.
"Ji, sorry banget. Habisnya aku kasian. Kemeja yang dia pake kotor kecipratan saos. Gimana kalau gara-gara itu dia malah nggak lulus interview dan jadi pengangguran? Terus depresi?"
"Mikir lu kejauhan. Gue sebenernya nggak masalah karena kemeja putih gue ada banyak, tapi yang bikin gue rungsing tuh, gimana kalau di dalam saku kemeja itu ada barang yang ketinggalan? Lu tau, kan, maksud gue apa?"
Seketika Jea pun ikutan panik, dia tidak tahu apakah sudah memeriksa kemeja itu atau belum. Soalnya pagi tadi dia juga diburu-buru dengan waktu. Jadinya tidak kepikiran.
"Aduh, Ji. Maaf. Aku nggak sempat periksa kemejanya tadi. Tapi aku sempat raba-raba kemejanya kok sekilas, dan aku rasa nggak ada apa pun di dalam sakunya. Semoga aja."
"Pokoknya gue nggak mau tau. Kemeja punya gue besoknya harus udah balik. Sekarang lu tidur."
Jea tak berani membantah. Sebelum Jiji makin murka dan kesal padanya, ia langsung lari masuk ke dalam kamar.
•••
Pagi-pagi sekali Jiji sudah bangun, bukan karena dia ada urusan pagi ini, melainkan karena Jiji ingin berolahraga. Sudah lama ia tak berolahraga sebab terlalu sibuk dengan kerjaannya. Tepat ketika Jiji membuka pintu, pintu di sebelahnya juga ikutan terbuka. Ia menoleh, sedikit agak kaget. Begitu pun dengan orang yang ada di sana. Dia jauh lebih kaget dari Jiji, ditambah rambutnya juga berantakan karena baru bangun tidur, dan ada bekas iler di ujung bibirnya. Walaupun Jiji menyadari itu, dia memilih untuk diam saja, dan malah menatap wanita itu dengan tatapan mengintimidasi. Kecurigaannya pada wanita itu masih ada. Selagi Jiji belum mengetahui apa pun mengenai wanita itu, dia akan tetap waspada.
"Jangan lupa, hari ini pulangin kemeja gue," kata Jiji. Setelah itu pergi menuruni tangga.
Trisha yang langsung disambut dengan tagihan kemeja yang kemarin dipinjamnya tentu shock bukan main, ditambah lagi lelaki itu menyambutnya dengan tidak ramah. Trisha merasa tak punya masalah dengan pemuda itu, tapi kenapa pemuda itu seolah mengibarkan bendera perang padanya? Aneh sekali.
"Ya ampun, gue nggak berniat menahan kemeja punya dia kali," tukas Trisha agak sebal. Setelah memasukkam sampahnya ke dalam tempat sampah, Trisha kembali masuk ke dalam. Ia buru-buru menuju ruang cuci dan memasukkan kemeja putih yang kemarin dipinjamnya ke dalam mesin cuci.
"Liat aja, kalau nanti nih kemeja udah kering, gue lemparin ke muka tuh orang. Habisnya nyebelin banget." Trisha bersungut-sungut seraya memasukkan bubuk detergen ke dalam mesin cuci tersebut.
Tepat pada jam sepuluh pagi, Trisha selesai menyetrika kemeja putih tersebut. Beruntung dia punya mesin pengering sehingga tak perlu menunggu lama agar kemeja itu kering sepenuhnya. Trisha membuka pintu apartemennya, dan kebetulan pula lelaki yang tampaknya adalah tetangganya itu juga keluar dari apartemen. Langsung saja Trisha menghampiri lelaki itu dan melemparkan kemeja miliknya tepat mengenai wajah lelaki tersebut.
"Tuh, kemeja lo gue balikin. Makasih! Dan oh ya, kita baru ketemu hari ini, dan gue merasa kita nggak pernah ketemu sebelumnya, dan gue ngerasa nggak punya masalah apa-apa sama lo. Jadi, yang mau gue sampein. Jaga sikap lo!"
Setelah mengatakan itu, Trisha kembali masuk ke dalam apartemennya dan menutup pintu apartemennya dengan cukup kencang.
Jiji mendelik, jika wanita bernama Trisha itu bisa semarah itu padanya, itu berarti wanita itu bukanlah orang yang harus diwaspadainya. Tapi kemudian, Jiji menggeleng. Untuk orang seperti dirinya, tetap saja kehati-hatian itu diperlukan. Dia tidak boleh lengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro, Jiji
NouvellesSetelah kepergian ayahnya dari rumah, Jiji terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya dan juga adiknya Hares. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kesulitan, hingga pada saat usia Hares menginjak 14 tahun, Jiji pergi dari rumah. Setelah kepergian Jiji...