Menjelang semester akhir, Hares lebih banyak gabutnya ketimbang sibuknya. Dia sudah jarang ke kampus lantaran matkulnya untuk semester ini hanya berupa skripsi. Paling-paling sibuk dengan proposal yang sampai saat ini belum dia temui judul yang cocok untuk penelitiannya. Sementara kedua temannya Nara dan Juna yang merupakan temannya dari sekolah menengah atas terlihat semakin sibuk kian harinya. Nara yang sibuk dengan organisasi kampus dan Juna yang pusing setengah mati lantaran proyek untuk tugas akhirnya terus-terusan ditolak oleh sang pembimbingnya. Kata Juna rasanya ingin melipat bumi menjadi dua bagian. Hares tertawa saja ketika mendengar keluhan temannya yang seperti itu, meski Hares sempat menertawai Juna, sesama Mahasiswa semester akhir, Hares paham betul bagaimana pusingnya. Rasanya seperti main kejar-kejaran dengan waktu, tapi biarpun begitu, yang namanya Hares tetap santai dalam menjalani hidupnya. Tidak ingin berpusing-pusing ria dengan tugas akhirnya, meski begitu, jika sudah mepet dengan waktunya. Hares juga ikutan pusing dan gelisah dengan sendirinya."Kalian berdua harus tau!" teriak Juna yang baru saja bergabung dengan Hares dan juga Nara. Hares yang melihat temannya seperti itu bukannya ikutan merasa senang dan penasaran malah prihatin. Penampilan Juna terlihat sangat kacau, membuktikan betapa stressnya dia beberapa bulan ini. "Akhirnya proyek untuk tugas akhir gue di acc sama pembimbing gue! Rasanya seneng banget, anjing!" teriak Juna kegirangan. Tampak kelegaan di setiap lekuk wajahnya.
Melihat Juna yang girang seperti itu, Nara pun demikian. Dia tahu betul bagaimana perjuangan temannya yang satu itu, sehingga apa yang membuat Juna hampir gila beberapa bulan belakangan ini selesai juga.
"Wih, mantap. Berarti tinggal bikin proyeknya aja, kan, lagi?"
"Iya, untung ide untuk tugas akhir gue ini nggak ribet. Jadi gue rasa gue nggak terlalu pusing ngerjainnya. Lu gimana?"
"Belum di tahap yang udah jauh banget, sih, tapi ya untungnya judul untuk proposal gue juga udah di acc, tinggal eksekusinya aja lagi. Lu gimana, Res? Udah kepikiran judul untuk proposal lu belum?" Nara bertanya. Mengalihkan pandangannya dari Juna ke Hares.
"Belum, doain aja deh," balas Hares sekenanya. Diam-diam dia merasa cemas juga di dalam hati. Bagaimana jika kedua temannya lulus lebih dulu dan wisuda sama-sama?
"Sering-sering merenung di kamar mandi aja, Res. Gue jamin lu bakalan dapet ide," balas Juna bermaksud bercanda, meskipun tidak akan mempan. sekaligus memberi semangat.
****
Pada jam sepuluh malam, Hares baru balik dari kampus. Alih-alih mengikuti saran Juna merenung di kamar mandi agar dapat ide untuk judul proposalnya. Hares malah merenung di kampus, soalnya di kampus banyak mahasiswa semester akhir yang sama-sama stress seperti dirinya. Siapa tau dia tiba-tiba dapat ilham. Tapi yang namanya ekspektasi tuh seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Jadi Hares hanya pulang tanpa mendapatkan apa-apa. Kecuali suara jeritan dari gang yang berada tidak jauh dari tempat Hares membeli makanan. Lantaran penasaran, ia pun buru-buru masuk ke dalam gang yang cahayanya remang-remang. Ternyata gang itu adalah gang buntu yang kebetulan hanya diisi oleh empat orang, yang mana satu lagi adalah seorang perempuan yang sudah terlihat sangat ketakutan. Bodoh, seharusnya Hares tidak datang ke sini sendirian. Harusnya dia membawa orang lain bersamanya. Sekarang pemuda itu bingung harus bagaimana. Karena tidak mungkin dia maju sendirian melawan tiga orang preman yang berbadan besar. Belum apa-apa pasti dia sudah dijadikan dadar gulung oleh tiga preman tersebut. Tapi Hares pun tidak bisa pergi dan pura-pura tidak peduli dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Ditambah lagi perempuan yang sudah diapit oleh ketiga preman itu memandanginya dengan nelangsa. Pengecut bila Hares harus melarikan diri dan mengorbankan nyawa orang lain demi menyelamatkan nyawanya sendiri. Hares mengerang frustasi, kenapa Tuhan selalu saja menghadapkan manusia dengan dua pilihan yang sulit? Jika Hares melarikan diri, nyawa perempuan itu bisa terancam, bahkan mungkin juga bisa merusak hidup perempuan tersebut, tapi kalau dia nekat menolong, bisa saja nyawanya yang terancam. Meski terkadang sering putus asa dengan hidupnya, tetap saja Hares ingin hidup lebih lama. Setidaknya sampai dia lulus dan wisuda.
"Ngapain lu liatin kita kayak begitu? Kalau kagak mau kena masalah, mending lu kabur dah. Jangan ikut campur sama urusan kita!" teriak salah satu seorang preman di sana. Hares sempat gentar. Lagi pula dia bisa melarikan diri dulu lalu minta bantuan orang lain untuk melawan ketiga preman tersebut, tapi bagaimana jika dia terlambat?
"Dia mau jadi jagoan kayaknya bos. Mending kita hajar aja ramai-ramai," usul salah satu preman lainnya, dan kedua temannya tampak tergoda.
"Kebetulan banget dah. Gua udah lama kagak mukulin orang. Ayo dah, habis itu kita senang-senang."
Hares gugup, apalagi ketiga preman tersebut tampak serius dengan ucapannya.
Kejadiannya terjadi begitu cepat. Ketiga preman tersebut tiba-tiba sudah menerjang tubuhnya, dan mereka secara bergantian memukuli tubuh Hares secara brutal. Tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Mereka terus memukul, meninju, dan menendang tubuh Hares yang sudah tergolek tanpa ampun.
"Mampus lu, mampus. Mati aja lu sono!"
Pemuda itu-Hares susah payah melindungi wajahnya agar tidak terkena pukulan. Jika pun dia harus mati hari ini, setidaknya orang-orang masih mengenali wajahnya. Tak akan Hares biarkan para bajingan itu merusak wajahnya.
Aksi pengeroyokan itu berhenti ketika salah satu dari mereka mendengar sirine polisi, ketiganya lari pontang-panting, dan terkadang saling menabrak satu sama lain. Tak lama setelah kepergian ketiga preman tersebut, seseorang menghampiri Hares. Wajah Hares memang tak terlalu babak belur, tapi sekujur tubuhnya biru lebam, Hares merasa bahwa ada tulang rusuknya yang patah.
"Harusnya tadi kamu kabur aja," ujar orang tersebut yang ternyata adalah perempuan yang ditolongnya. Setidaknya Hares bersyukur bahwa perempuan itu tidak meninggalkannya dan membiarkannya mati dihajar ketiga preman tersebut.
Hares berusaha bangkit dari posisinya, tapi rasanya sulit sekali, sebab sekujur tubuhnya terasa sakit. Bahkan ia pun merasa mual dan siap memuntahkan seluruh isi perutnya.
"Harusnya gue yang ngomong kayak gitu, tapi untungnya para jahanam itu udah kabur," ujar Hares terbatuk. Dan tak lama kemudian ia malah muntah. Bukan muntah biasa, melainkan muntah darah.
"Astaga, kita harus ke rumah sakit sekarang!" teriak si perempuan mulai panik. "Pinjem hp kamu, cepetan!"
"Di dalam saku celana, ambil aja," tukas Hares susah payah. Bahkan napasnya mulai terengah-engah.
"Kata sandinya apa?" tanya si perempuan, tapi Hares tidak merespon.
"Hei, bangun!" teriak si perempuan menepuk-nepuk kedua pipi Hares dengan brutal. Beruntung Hares menyediakan panggilan darurat di ponselnya, sehingga memudahkan si perempuan menelpon nomor yang tertera di panggilan darurat tersebut, setelah menghubungi dua nomor yang tidak satu pun dari mereka mengangkat panggilannya, si perempuan berhenti di nomor panggilan dengan nama Nara. Beruntung dari semua nomor darurat yang tertera di sana, ada satu yang menjawab panggilannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro, Jiji
ContoSetelah kepergian ayahnya dari rumah, Jiji terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya dan juga adiknya Hares. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kesulitan, hingga pada saat usia Hares menginjak 14 tahun, Jiji pergi dari rumah. Setelah kepergian Jiji...