Hares memang tidak terlalu dekat dengan Tyana lantaran ia sengaja menjaga jarak dari anak itu, namun setidaknya dia tidak buta mengenai apa pun yang berhubungan dengan Tyana. Setiap kali gadis kecil itu mengoceh, Hares selalu mendengarkan apa yang dikatakannya meski sengaja tak menyahut. Buktinya dia tahu di mana Tyana bersekolah, dan ada banyak hal lainnya yang Hares ketahui mengenai gadis itu. Seperti yang pernah ia katakan pada Jiji sebelumnya, pelan-pelan hares ingin mencoba menerima keberadaan Tyana meski rasanya agak sulit. Sebagai awal percobaannya, hari ini Hares datang ke sekolah Tyana dan menunggu kepulangan anak itu di depan gerbang. Hares berkali-kali melihat jam tangannya dan mulai menghitung mundur. Tepat hitungannya selesai di angka satu, bel sekolah berbunyi. Seketika gerbang sekolah dipenuhi oleh kendaraan dan orang tua yang menjemput anaknya. Di tengah keramaian dengan seragam yang sama, tak sulit bagi Hares menemukan sosok gadis kecil itu. Gadis kecil itu berada di antara kerumunan dengan kepala tertunduk, dan bibirnya sedikit agak manyun. Tanpa sadar Hares malah tersenyum melihatnya.
Mengira bahwa Tyana tidak menyadari kehadirannya. Hares berjalan mendekati gadis kecil itu dan sengaja berhenti tepat di depannya. Tyana yang masih berjalan dengan wajah tertunduk tanpa sengaja malah menabrak Hares. Gadis itu meringis, sebab kepalanya terasa berbenturan dengan sesuatu. Sontak saja gadis itu mengangkat kepalanya dan mendongak ke atas. Ketika menyadari bahwa orang yang ditabraknya adalah Hares, perlahan gadis itu mengembangkan senyumannya.
"Kamu datang ke sini mau jemput aku?" tanyanya masih dengan tersenyum.
Hares sempat menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lalu kemudian mengangguk.
"Sebelum pulang, mau jalan-jalan dulu nggak? Di sekitar sini aja. Kalau nggak salah, di dekat sini ada taman bermain, kita bisa ke sana," ujar Hares malu-malu, soalnya ini kali pertama ia mengajak Tyana pergi bermain, biasanya gadis itu yang mengajaknya lebih dulu, meski lebih sering ditolak oleh Hares.
"Mau, aku mau jalan-jalan dulu sama kamu. Ini pertama kalinya aku jalan-jalan sama abang, kan?"
Abang, satu kata itu sukses membuat hatinya menghangat. Padahal dulu dia benci sekali dipanggil dengan kata itu. Lebih-lebih lagi yang menyebutnya begitu adalah Tyana. Adik tirinya, anak dari wanita yang sudah membuat hidupnya dan Jiji hancur lebur. Mendadak perasaan bersalah itu kembali merasuki dirinya. Hares mulai terhasut, tapi perkataan Jiji tempo lalu kembali menyusup ke dalam benaknya. "Perasaan itu harus bisa lu lawan, Res. Jangan biarin perasaan benci itu menguasai diri lu."
"Nggak, Hares. Lu harus bisa melawan perasaan lu sendiri. Kalau Jiji bisa menerima keberadaan Tyana. Itu berarti lu juga bisa," bisik Hares kepada dirinya sendiri.
Tyana yang menyadari itu hanya mampu menatap Hares dan menarik ujung bajunya.
"Bang Hares," panggilnya pelan sekali.
"Ya?" Hares merespon.
"Jalan-jalannya, jadi?" tanya anak itu penuh harap.
"Iya, jadi kok. Ayo pergi sekarang. Pegang tangan gue, jangan pernah dilepasin."
Tyana mengangguk. Dengan senang hati ia menggenggam tangan Hares. Bahkan gadis kecil itu sengaja menggoyang-goyangkan tangan mereka.
"Biasanya ada pak supir yang udah jemput aku, tapi karena sekarang ada kamu, aku izin dulu sama pak supirnya biar beliau nggak khawatir."
Hares mengangguk. Benar saja, ternyata sudah ada supir yang menunggu kedatangan mereka. Melihat Tyana datang bersama Hares. Supir itu tak terkejut sama sekali, bahkan ia menunduk sopan pada Hares.
"Pak Adi, hari ini aku pulang sama bang Hares. Bapak pulang aja duluan."
"Oke, siap neng, tapi kalau mau dijemput sama bapak, nanti telpon bapak aja, ya? Mas Hares punya kok nomor bapak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Bro, Jiji
Short StorySetelah kepergian ayahnya dari rumah, Jiji terpaksa bekerja untuk menghidupi dirinya dan juga adiknya Hares. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kesulitan, hingga pada saat usia Hares menginjak 14 tahun, Jiji pergi dari rumah. Setelah kepergian Jiji...