04

5 1 0
                                    

Mei 2014

Sudah lebih dari enam bulan sejak kepindahan Langit ke sekolah ini. Maka sudah lebih dari enam bulan pula aku menyukai Langit. Ya, aku masih menyukainya. Aku tidak benar-benar melupakan Langit seperti apa yang aku katakan terakhir kali kepada Gia di taman belakang sekolah. Di sekolah, aku berusaha untuk selalu menghindari Langit. Namun, itu bukanlah hal yang mudah karena kelasku dan Langit bersebalahan.

Sering kali aku tidak sengaja berpapasan dengannya dan sering kali juga mata kami bertemu. Seperti saat ini, aku baru kembali dari toilet dan di depan kelas, aku dan Langit tidak sengaja bertemu. Ia baru saja melangkahkan kaki keluar dari kelasnya saat mata kamu tidak sengaja bertemu. Ia sama terkejutnya denganku. Aku terdiam beberapa detik sebelum aku tersadar dan dengan langkah cepat aku masuk ke kelas. Aku benar-benar tidak bisa menutupi perasaanku dan aku juga tidak bisa menebak apa yang ada dipikiran Langit.

Hari ini hari terakhir ujian akhir semester yang artinya setelah ini aku akan menuju ke tahun terakhirku di sekolah ini. Setelah ujian selesai, aku dan ketiga temanku—Gia, Binta, dan Nina—memutuskan untuk karaoke di tempat favorit kami berempat. Lokasinya tidak terlalu jauh dari sekolah dan setiap selesai ujian pasti tempat ini selalu ramai didatangi oleh siswa sekolahku.

Kami memutuskan untuk berjalan kaki karena jaraknya juga mungkin hanya sekitar satu setengah kilometer dari sekolah. Selama perjalanan, Gia menceritakan bagaimana ujiannya yang selama satu minggu ini berjalan dengan tidak baik. Ia bercerita bahwa selalu saja ia lupa dengan apa yang ia pelajari tapi ia akan mengingatnya setelah ujian selesai. Aku tertawa mendengar hal itu dan sesekali menangapi cerita Gia. Binta yang selalu blak-blakan menanggapi cerita Gia dengan berkata "makanya kalo ujian tuh fokus ke soal, jangan ngeliatin pacar lo terus." Gia memukul lengan Binta cukup keras dan Binta pun membalas pukulan itu. Aku dan Nina hanya tertawa karena itu sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi kami.

***

Entah ini sudah diatur atau hanya ketidaksengajaan lainnya, aku dan Langit bertemu di sini, di tempat karaoke ini. Seperti biasa, aku selalu mematung ketika mataku dan mata Langit bertemu. Gia, Binta, dan Nina awalnya tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku terdiam sebelum mereka melihat ke arah pandangku. Setelah pertemuan beberapa detik itu, Langit langsung pergi ke ruangan karaoke-nya bersama dengan teman-temannya. Aku masih terpaku di tempatku berdiri dan tentu saja setiap pertemuanku dengan Langit, detak jantungku berdetak tidak beraturan dan aku seperti lupa cara bernapas. "Mau pindah aja?" interupsi Nina ditengah lamunanku dan aku pun tersadar setelah Nina menepuk pelan pundakku. "Nggak papa, di sini aja. Ruangannya juga beda." Jelasku pada Nina.

Aku tidak ingin merusak "mood" teman-temanku maka aku berpura-pura baik-baik saja dan berpura-pura sudah melupakan pertemuan tidak sengaja dengan Langit tadi. Aku memang tidak pandai menutupi perasaanku tapi aku pandai untuk berpura-pura baik-baik saja. Aku ikut tertawa ketika Gia dengan hebohnya menyanyikan lagu kesukaannya dari salah satu artis lokal papan atas. Kami menghabiskan waktu dua jam untuk melepaskan semua stres selama satu minggu dengan bernyanyi.

Aku tidak bertemu lagi dengan Langit setelah aku selesai berkaraoke ria dengan teman-temanku. Entah Langit sudah pulang atau masih bernyanyi dengan teman-temannya di ruangan lain. "Mau pulang bareng, Bul? Gue kebetulan dijemput Pak Anto." Tawar Binta padaku. "Makasih Bin, tapi gue pulang sendiri aja. Gue juga rencananya mau mampir ke toko buku, ada yang mau gue cari." Jawabku kepada Binta. Sebenarnya aku tidak ingin pergi ke toko buku, aku hanya ingin sendirian.

Salah satu kebiasanku ketika sedang memikirkan banyak hal adalah berjalan kaki. Menurutku, berjalan kaki bisa membantuku untuk mengurangi kecemasan walaupun tidak dapat menyelesaikannya, setidaknya rasa cemasku berkurang. Seperti sekarang, aku lebih memilih pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Jarak dari tempat karaoke ke rumahku cukup jauh. Dengan bus saja menghabiskan waktu sekitar 25 menit maka jika berjalan kaki setidaknya aku bisa menghabiskan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam.

Udara sore ini sudahtidak memberikan hawa panas malah memberikan efek sejuk karena angin sudahmulai berhembus. Matahari mulai menenggelamkan dirinya sehingga memunculkanwarna oranye yang sangat cantik. Langit tampak menawan sore ini. Maksudkulangit yang ada di atas bukan Langit yang sedang berada di pikiranku saat ini.Aku memang menyukai langit tapi tidak disangka ternyata aku juga menyukaiLangit dalam wujud manusia. Aku mendengus sembari tersenyum karena menyadaribahwa langit dan Langit memiliki kesamaan, sama-sama jauh. Aku hanya bisamemandangnya tanpa bisa menggapainya.

***

Hari ini adalah hari terakhir sekolah sebelum pergantian ajaran tahun dan ini juga berarti aku dan Langit tidak akan bertemu selama beberapa minggu. Selama ini mungkin aku belum bisa melupakan Langit karena intensitas dan probabilitas untuk bertemu Langit cenderung sering. Kesempatan beberapa minggu ini akan aku gunakan untuk mencoba melupakan Langit. Jujur saja, aku merasa egois karena lebih mementingkan perasaanku daripada kenyamanan Langit. Rasa-rasanya aku ingin meminta maaf kepada Langit karena sudah membuatnya merasa tidak nyaman karena ia mengetahui bahwa ada orang yang menyukainya, yaitu aku.

Secara tidak langsung, Langit sudah menolakku sejak awal. Tapi dengan tidak tahu dirinya, aku memilih untuk tetap menyukainya. Aku bisa saja berhenti saat itu juga tetapi hatiku memilih untuk tetap menaruh perasaan terhadap Langit. Aku merasa menjadi orang paling egois saat ini. Sebenarnya aku juga tidak tahu, apakah aku memang berhenti atau aku telah memanipulasi kepalaku dengan pikiran bahwa aku ingin berhenti? Aku baru pertama kali merasakan perasaan jatuh cinta jadi aku masih belum mengerti cara kerja perasaan ini.

Aku, Gia, Binta, dan Nina berkumpul di depan kelas setelah pembagian nilai akhir. Lucunya nilai kami berempat tidak jauh berbeda, hanya saja kami unggul di setiap mata pelajaran yang berbeda. Aku unggul di seni karena aku memang lebih menyukai pelajaran seni daripada pelajaran eksakta. Sedangkan teman-temanku, Gia unggul di bahasa, Binta unggul di matematika, dan Nina unggul olahraga. Mungkin karena perbedaan inilah kami bisa berteman karena kami tidak bersaing di satu bidang yang sama.

Ketika aku sedang berbincang dengan teman-temanku, Langit keluar dari kelasnya sembari bercengkrama dengan teman kelasnya. Cepat-cepat aku memutarbalikkan tubuhku agar Langit tidak melihatku. Aku sedang tidak ingin melihat Langit dan juga aku tidak ingin Langit melihatku. Gia, Binta, dan Nina langsung memahami keadaannya sehingga mereka berupaya untuk menutupiku walaupun aku tahu, kami berempat terlihat seperti orang bodoh sekarang. "Udah pergi belom?" bisikku kepada ketiga temanku yang dibalas gelengan oleh ketiganya. "Itu anak malah ngobrol, Bul. Gimana nih?" bisik Gia yang juga menjadi sedikit cemas. "Yaudahlah kita pura-pura bego aja. Kita aja yang pergi sambil nutupin si Bulan." Saran Binta yang langsung disetujui oleh Gia dan Nina. "Nggak papa, gue nggak usah ditutupin. Nanti malah makin aneh dan ketauan banget kalo ngehindarnya." Jawabku kepada ketiga temanku. Ya, aku memilih untuk menghadapi situasi ini. Gia, Binta, dan Nina langsung merenggangkan tubuh mereka dariku. Aku menarik napas sebelum aku memutar balik tubuhku untuk pergi menjauh dari Langit. Sialnya memang kelas Langit lebih dulu dari kelasku jadi mau tidak mau jika ingin keluar sekolah maka aku harus melewati kelas langit dulu. Aku melirik Langit yang sepertinya tidak memperhatikanku. Maka dengan cepat aku langsung pergi meninggalkan tempat itu. Sampai jumpa Langit. Setidaknya aku tidak akan menemuimu untuk dua minggu ke depan.

***

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang