Hari pertama tahun ajaran baru berjalan cukup baik. Tidak ada hal mengejutkan yang terjadi, selain kejutan bahwa aku ternyata berada di kelas yang sama dengan Langit. Tidak ada tegur sapa yang terjadi antara aku dan Langit. Aku bukan tipikal orang yang memulai percakapan dan aku pikir Langit pun begitu. Jujur saja, saat ini aku sibuk mengendalikan emosi dan pikiranku. Aku harus tetap fokus dengan materi yang disampaikan oleh guruku. Aku tidak ingin terdistraksi oleh Langit yang jelas-jelas tidak peduli.
Sejujurnya aku sekarang sedang mencoba untuk "move on" dari Langit. Semenjak aku mengetahui bahwa Langit sudah memiliki seseorang dihatinya, aku pun langsung mencoba untuk melupakannya. Aku tidak ingin menyimpan rasa kepada orang yang sudah memiliki kekasih. Sudah cukup sakit bagiku ketika mengetahui bahwa Langit tidak memiliki perasaan kepadaku maka aku tidak ingin berlarut-larut dalam rasa sakit ini apalagi saat ini Langit bukan hanya tidak memiliki perasaan kepadaku tapi sudah ada orang lain yang berhasil memenangkan hati Langit.
Bel istirahat sudah berbunyi 10 menit yang lalu tapi aku masih duduk di kursiku, belum berniat untuk mengeluarkan kotak makan siangku. Aku lebih memilih untuk memasang "earphone" dan menenggelamkan wajah beralaskan lenganku di meja. Aku tidak tidur, aku hanya mencoba untuk menenangkan hati dan pikiranku serta mencoba untuk memahami situasi apa yang sedang kualami saat ini. Sebelumnya aku sudah mengabari Gia, Binta, dan Nina untuk tidak menghampiriku karena aku sedang ingin sendiri, beruntungnya teman-temanku memahamiku.
Tidak lama aku merasakan ada seseorang yang mengetuk mejaku, sontak aku pun mengangkat kepala untuk melihat siapa yang mencoba memanggilku. Aku mencoba memfokuskan pandanganku untuk melihat lebih jelas siapa orang yang mengetuk mejaku beberapa saat lalu. Aku merasakan nafasku terhenti beberapa detik dan mataku membola. "Lo ga makan siang?" ucap anak itu santai sembari memasukkan wafer cokelat ke dalam mulutnya. Iya, orang yang mendistraksiku adalah Langit. "Kenapa lo ga makan?" tanyanya lagi. "Oh... Nggak. Lagi gak laper." Jawabku sedikit terbata. Ia melirik buku yang tertulis namaku diatasnya. "Lo Bulan 'kan?" Aku hanya mengangguk. "Gue Langit dan gue yakin lo udah tahu." Aku hanya diam karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. "Gue udah ngikutin balik lo di twitter karena kita sekarang temen sekelas. Semoga lo ga salah paham." Ucapnya lagi. Jujur saja hatiku mencelos mendengar perkataan Langit barusan. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Langit lalu kembali duduk di kursinya. Jika ditanya apakah aku baik-baik saja, jujur aku tidak baik-baik saja. Aku kesulitan untuk bernapas dan aku yakin jika aku berkedip air mataku pasti akan turun maka aku pun dengan langkah cepat pergi ke toilet. Aku menyadari bahwa kata-kata Langit tadi menyiratkan bahwa ia menyuruhku untuk mundur dan sekarang aku 100% yakin bahwa aku harus mundur.
***
Bel masuk sudah berdering sekitar 5 menit yang lalu dan aku sekarang masih berada di toilet. Ternyata aku membutuhkan waktu lebih lama untuk menenangkan diriku. Aku membasuh mukaku dan dengan cepat berlari menuju ke kelas dan beruntungnya guru fisika yang bertugas untuk mengajar hari ini belum tiba di kelas. Aku berjalan ke kursiku tanpa menoleh ke arah Langit. Aku menghela napas dan merutuki siapa saja karena mengapa Langit harus duduk tepat di seberangku. Aku menepuk punggung Ina, anak di depanku yang kebetulan kami pernah berada di kelas yang sama di tahun pertama. "Ina, maaf banget, lo mau tukeran kursi sama gue ga? Soalnya mata gue ga terlalu bagus." Pintaku kepada Ina dan beruntungnya Ina mau bertukar kursi denganku. "Ya udah boleh deh." Jawab Ina. "Thanks ya, Na." Ku balas dengan senyum. Aku sedikit melirik ke arah Langit dan ternyata Langit sedang memperhatikanku. Aku mencoba untuk tidak peduli dan mempercepat pergerakanku.
Sepulang sekolah aku langsung berjalan menuju halte bus. Aku sengaja tidak ingin bertemu dengan teman-temanku karena aku hanya ingin sendirian. Ruang obrolan dengan teman-temanku dipenuhi dengan pertanyaan bahwa aku ada di mana dan kenapa tidak menunggu mereka. Aku hanya membalas bahwa aku harus segera pulang karena ibuku memintaku untuk berbelanja. Aku tidak berbohong karena memang sebelum pergi ke sekolah tadi ibuku memintaku untuk segera pulang karena ibu meminta untuk ditemani belanja karena Kak Bintang akan pulang larut hari ini.
Di bus, seperti biasa aku memasang earphone dan playlist-ku secara shuffle memutar lagu "Beautiful Pain" dari grup BTOB. Aku kembali teringat percakapan singkatku dengan Langit saat jam makan siang tadi. Aku tidak pernah menyangka bahwa ternyata patah hati akan sesakit ini. Aku sekuat tenaga untuk menahan agar air mataku tidak jatuh. Tapi ternyata hal itu sia-sia. Benteng pertahananku runtuh begitu saja ketika kata-kata lagi terus memutar di kepalaku. Aku mengeluarkan masker dan topi untuk menutupi wajahku yang sudah basah dengan air mata.
Sesampainya di rumah aku langsung berlari ke kamarku dan menjatuhkan tubuhku di kasur. Aku merasa pusing karena sepertinya aku cukup banyak mengeluarkan air mata hari ini. Rasa kantuk mulai datang dan aku memilih untuk tidur sebentar sebelum pergi menemani ibu pergi ke toko swalayan. Aku harap setelah aku bangun, rasa sakit yang aku rasakan hari ini dapat hilang, begitu pula perasaanku kepada Langit.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen FictionBulan tidak tahu bagaimana hidup Langit. Bulan hanya sekedar tahu nama, tapi Bulan tidak tahu bagaimana kisah hidup Langit yang sebenarnya, Bulan tidak tahu bagaimana hari-hari Langit, dan Bulan tidak tahu hal-hal sulit apa yang Langit hadapi.