03

8 1 0
                                    

Binta dan Nina menanyakan bagaimana "progress"-ku untuk bisa berkomunikasi dengan Langit. Hanya gelengan yang aku berikan sebagai jawabanku. Nina menepuk punggungku sebagai upaya untuk menenangkanku. Aku hanya balas senyum getir ke Nina. "Jangan nyerah, Bul. Mungkin si Langit Langit itu emang anaknya susah bergaul sama orang baru." Ungkap Binta yang juga berupaya untuk mendukungku. "Iya, Bin." Jawabku singkat. Aku memilih untuk mengeluarkan buku pelajaranku dan mencoba mencatat hal-hal penting agar aku dapat terdistraksi dari pikiran tentang Langit.

Seminggu belakangan aku lebih memilih untuk menghabiskan waktu istirahat makan siangku di kelas. Aku terlalu malas untuk keluar kelas kecuali untuk ke toilet. Alasan utamaku memilih untuk tidak keluar dari kelas ini adalah karena aku takut jika harus bertemu dengan Langit. Aku takut jika ternyata Langit sudah mengetahui tentang diriku yang tertarik dengannya. Walaupun ini hanya spekulasiku saja tapi tetap saja aku terlalu takut. Tapi setelah aku pikir-pikir, bagaimana juga Langit bisa tahu tentangku? Apakah ada yang membocorkannya? Seingatku, aku hanya menceritakannya kepada ketiga temanku saja, tidak ada yang lain.

Aku kembali tenggelam kepada pikiran-pikiranku yang sudah kusut seperti gulungan wol. Aku terlalu memikirkannya mungkin karena ini jatuh cinta pertamaku dan anehnya aku menjatuhkannya kepada Langit. Aku terus memeriksa media sosial milik Langit, kalau-kalau saja ia baru melihat notifikasi dariku. Memang, tidak baik untuk terlalu berharap. Lagi-lagi aku dijatuhkan oleh ekspektasiku sendiri. Langit terus menulis cuitan mengenai kesehariannya dan apa yang ia alami. Kabar baiknya, aku lebih mengenal Langit walaupun hanya menjadi "silent reader" di media sosialnya.

Langit itu suka bermain "games online". Langit itu suka menonton animasi. Langit itu suka makan ramen dan sushi. Langit ternyata "talkative" jika bersama dengan teman dekatnya. Langit itu ternyata sangat pintar dalam pelajaran sains maka dari itu ia mengikuti olimpiade sains. Langit juga ternyata alergi terhadap udara dingin jadi ia mudah sakit ketika sudah memasuki musim hujan. Langit ternyata tidak setertutup yang aku bayangkan. Aku mendapatkan informasi-informasi itu hanya bermodalkan cuitan yang dituliskan olehnya di aplikasi berlogo burung biru. Aku bukan penguntit 'kan?

***

Pagi ini aku udara cukup dingin karena sudah memasuki musim penghujan. Beberapa bagian jalan dipenuhi dengan genangan air karena semalam hujan cukup deras. Aku sedang memasukkan payung ke dalam tas ketika notifikasi muncul di ponselku. Aku segera memeriksanya dan ternyata ada pesan masuk dari Gia. "Bul, lo udah berangkat? Nanti kalo udah sampe sekolah, kita bisa ketemuan di taman belakang yang sering lo datengin, nggak?" tulis Gia. Aku menaikkan sebelah alisku karena merasa heran. Ada apa Gia pagi-pagi mengirimiku pesan seperti ini? Kenapa ia memintaku untuk menemuinya di sana dan kenapa tidak di kelas saja? "Gue baru mau berangkat. Oke, nanti gue ke sana." Balasku kepada Gia. Dengan terburu-buru aku berjalan menuju halte bus agar aku bisa menaiki bus secepat mungkin.

Sesampainya di sekolah, aku langsung menuju taman belakang sekolah, tempat yang Gia minta untuk aku menemuinya pagi ini. Aku melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Gia. Sekitar satu menit aku berkeliling dan akhirnya aku menemui Gia yang sedang duduk di kursi di pinggir kolam yang ada di taman itu. "Hai, Gi. Ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi karena jujur saja aku penasaran dan perasaanku tidak enak. "Hai, Bul. Sini duduk dulu." Jawab Gia dengan senyum simpulnya tapi ada tatapan aneh di matanya. "Kenapa, Gi?" tanyaku tidak sabar. Jujur, aku tidak suka situasi seperti ini. Aku tidak suka situasi yang terlalu serius seperti ini apalagi hanya ada aku dan Gia, sahabatku.

"Maaf, Bul." Bukan penjelasan, melainkan permintaan maaf yang aku dapatkan. "Maaf untuk apa, Gi?" aku mencoba untuk tetap tenang walaupun sekarang pikiranku mulai penuh. "Maaf karena gue nggak sengaja bilang ke Langit kalo lo suka sama dia." Tunggu, Gia baru saja mengatakan bahwa ia tidak sengaja memberitahu Langit bahwa kalau aku menyukainya. Alisku bertaut menandakan kebingungan dan meminta penjelasan lebih. "Maaf, Bul." Bukan maaf yang aku butuhkan sekarang tapi penjelasan. "Gi, bisa jelasin detailnya, nggak? Jujur aja gue bingung." Jawabku datar. "Jadi, sebenernya waktu lo minta informasi Langit kemarin, gue nggak nanya ke temen gue. Gue nanya langsung ke Langitnya." Jelas Gia sejelas mungkin. Aku tidak menjawab karena aku merasa belum puas dengan penjelasan Gia. "Terus gue nggak sengaja bilang kalo ada temen gue yang suka dia." Lanjut Gia sambil menunduk. "Lo sebut nama gue?" Aku mencoba untuk tetap tenang. Gia mengangguk. Aku mengarahkan pandanganku ke depan. Aku menghela napas berat. Aku dan Gia terdiam untuk beberapa saat. Jujur saja, tidak ada yang bisa aku katakan sekarang.

Mungkin ini jawabankuuntuk spekulasi yang kubuat beberapa waktu lalu. Langit sudah mengetahuitentangku bahkan ia tahu dari teman dekatku sendiri. Langit tidak suka jika akumenyukainya, simpulku cepat. Aku mengehela napasku dan mencoba untuk tetaptenang. "Yaudahlah nggak papa, Gi, lo juga nggak sengaja. Udah kejadian juga'kan? Apa boleh buat." Tenangku kepada Gia sambil mengusap lengannya. Akumelihat Gia sangat menyesali perbuatannya. Aku juga tidak mau jika hubungankudengan Gia berantakan hanya karena masalah laki-laki. "Sekali lagi maafin gueya, Bul. Gue beneran nyesel." Isak Gia. Ternyata ia sedari tadi menahantangisnya. "Udah, nggak papa, Gi. Malah bagus, soalnya sekarang gue tahu kaloLangit emang nggak suka sama gue. Jadi gue bisa cepet-cepet lupain Langit." Ucapkudengan sedikit terkekeh. Aku berbohong kepada Gia bahwa aku baik-baik saja. Akukalah bahkan sebelum memulai.

***

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang