Kita memang kadang tidak mengerti bagaimana cara kerja semesta. Kita memang tidak bisa menebak kejutan apa yang akan diberikan semesta. Kita juga terkadang tidak bisa menerka apa yang tidak kita ketahui. Hidupku dipenuhi dengan berbagai macam teka-teki dan pertanyaan mengenai Langit. Menaruh perasaan terhadap Langit itu seperti mengerjakan kuis yang tidak pernah dipelajari sebelumnya bahkan tidak memiliki buku panduan. Aku bahkan belum mampu menjawab semua pertanyaan sebelumnya, jadi mengapa aku harus diberi pertanyaan baru lagi?
Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasurku. Tempat favortiku yang biasanya terasa nyaman dan aman ini, sekarang bahkan tidak terasa nyaman. Kepalaku penuh dan perasaanku berantakan. "Dek, kamu besok udah mulai masuk sekolah kan, ya?" Itu Bintang, kakak perempuanku satu-satunya yang berusia 3 tahun lebih tua dariku. "Iya." Jawabku singkat. "Kamu kenapa? Nggak biasanya begini kalo diajak ngomong." Kak Bintang mendekat dan mendudukkan dirinya di ujung kasurku. "Nggak kenapa-kenapa. Aku capek aja habis main sama kucing." Jawabku seadanya dan tidak sepenuhnya berbohong karena memang energiku cukup terkuras hari ini. "Beneran gapapa nih? Kalo ada apa-apa, kamu bisa cerita ke kakak. Kalau pun kakak nggak bisa bantu, seenggaknya kakak ada buat dengerin cerita kamu." Aku hanya menjawab dengan anggukan dan senyum singkat. Kak Bintang memang tidak pernah memaksaku untuk bercerita jika ada hal yang menganggu pikiran atau perasaanku. Kak Bintang pernah bilang "Bulan kalo belum mau cerita berarti dia masih bisa nyelesaiin masalahnya sendiri."
Setelah aku membersihkan diriku dari keringat dan debu yang menempel di tubuh, aku beralih mengambil benda kecil yang sedari tadi tidak aku hiraukan. Ada banyak notifikasi pesan masuk di obrolan grup dari teman-temanku. Mereka sibuk membahas bagaimana jika kami berempat tidak lagi sekelas. Beruntungnya, tahun pertama dan tahun kedua kami berempat selalu berada di kelas yang sama. Tentu saja, Gia yang paling heboh padahal jika kami tidak lagi sekelas, ia pasti dapat dengan mudah berteman. Berbeda dengan aku, Binta, dan Nina yang cukup sulit untuk bergaul. "Gue kasian sama kalian bertiga sih kalo tau-tau ga sekelas. Takutnya tahun terakhir kalian jadi nggak seru." Salah satu pesan yang Gia tulis di obrolan grup itu. "Gue doain semoga lo yang ga sekelas sama kita bertiga." Jawab Binta. Mulai dari situ Gia dan Binta kembali memenuhi ruang obrolan. Aku tersenyum ketika membaca pesan-pesan itu.
Setelah membuka aplikasi pesan yang membuatku cukup terhibur, aku kembali teringat mengenai kejadian tadi sore. Aku ragu-ragu apakah aku harus membuka aplikasi berlogo burung biru atau tidak. Mungkin aku bisa tahu jawaban mengenai pertanyaan yang terus menerus berputar di kepalaku. Satu menit, dua menit, tiga menit hingga sepuluh menit akhirnya aku memutuskan untuk membuka aplikasi itu dan melihat cuitan terbaru dari Langit. Jantungku berdegup sangat cepat, mungkin dua hingga tiga kali lebih cepat. Aku mulai merasa kesulitan untuk bernapas. Aku melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku lihat. Aku tidak pernah mempersiapkan jika hal seperti ini akan terjadi. Aku kira, aku akan baik-baik saja jika Langit tidak membalas perasaanku karena aku tidak pernah memikirkan bahwa ada hal-hal di luar kendaliku. Aku tidak pernah mempersiapkan bahwa Langit juga bisa memiliki perasaan kepada orang lain.
Cuitan terbaru dari Langit diunggah 30 menit yang lalu menunjukkan punggung seorang perempuan berambut hitam panjang sepinggang dan menggunakan dress di bawah lutut, persis seperti perempuan yang aku lihat tadi sore berjalan dan tertawa bersama Langit. "Thank you for spending your time with me <3" deskripsi singkat yang tertulis di foto itu. Pertahananku ternyata runtuh juga. Aku gagal untuk menahan air mataku untuk tidak lolos. Aku melepaskan semua emosi yang dari tadi aku tahan, aku sudah tidak sanggup untuk menahannya lagi. Aku membiarkan air mataku membasahi wajahku.
***
"Dek, mata kamu kenapa?" Tanya Kak Bintang tepat ketika ia melihatku keluar dari kamar. Aku merutuki diriku karena semalam aku menangis terlalu lama hingga aku tertidur. Aku tidak menyangka jika hasilnya akan berbekas separah ini. "Aku semalam begadang, nonton film sedih terus kebawa suasana jadinya aku nangis sampe ketiduran." Jawabku bohong. Akhir-akhir ini aku sering berbohong kepada orang sekitarku untuk menutupi perasaanku. Ralat, tidak hanya kepada orang-orang, tapi aku juga berbohong kepada diriku. Aku sangat tidak baik-baik saja sekarang.
Hari pertama di tahun ajaran baru sekaligus tahun terakhirku berada di sekolah ini, disambut dengan kesedihan. Apakah sisa hariku di sekolah ini akan selalu diisi dengan kesedihan? Semoga saja tidak. Aku berharap, setelah ini hari-hariku hanya diisi dengan suka cita. Dengan gontai aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Memori mengenai pertemuan pertamaku dengan Langit tiba-tiba terputar kembali. Aku masih ingat bagaimana eksistensi Langit menarik atensiku ketika ia berhadapan dengan guru BK dan mendapatkan "ceramah" karena ia memakai seragam yang salah pada saat hari pertama ia mulai bersekolah di sini. Kenapa aku harus teringat hal itu sekarang? Cepat-cepat aku menyadarkan diriku dan dengan langkah yang masih lamban, aku menuju ke kelas baruku.
Aku mencari namaku di papan pengumuman untuk melihat di kelas mana aku harus menghabiskan tahun terakhirku. Aku berharap aku masih berada di kelas yang sama dengan ketiga temanku—Gia, Binta, dan Nina. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hariku di kelas tanpa mereka bertiga. Aku memang tidak banyak berbicara tapi setidaknya jika ada mereka, aku tidak merasa kesepian. Aku menemukan namaku tapi aku tidak menemukan nama ketiga temanku di kelas ini. Aku membaca ulang nama-nama yang tertulis di kertas itu, aku tetap tidak menemukan nama teman-temanku. Aku malah menemukan satu nama yang sangat familiar diingatanku. Nama yang dari semalam terus memenuhi isi kepalaku. Aku membuang nafasku kasar. Dunia memang terkadang sebercanda itu.
"Bulaaaan, gimana bisa lo hidup tanpa kita?" Gia melihatku berada di depan kelas baruku dan tiba-tiba langsung memelukku. "Bul, pokoknya lo jangan banyakan diem. Lo harus bersosialisasi, seenggaknya dikit. Yang penting lo nggak keliatan menyedihkan. Nanti kita bakal sering-sering nyamperin lo kok." Nina memberiku saran yang terdengar seperti ceramah. "By the way, lo nggak papa?" Tanya Binta yang aku langsung mengerti apa maksudnya. "Ya mau gimana lagi. Masa gue harus bilang ke Kepala Sekolah buat minta pindah kelas, ya kan ga mungkin." Jawabku dengan tawa ringan. "Tapi kenapa hidup gue banyak banget kejutannya deh." Gia, Binta, dan Nina menatapku meminta penjelasan lebih lanjut. Aku pun menceritakan kejadian kemarin kepada mereka bertiga. Reaksi yang mereka berikan sama, sama-sama terkejut dan menatapku dengan tatapan iba.
Aku memasuki ruang kelas dan mencari tempat duduk yang masih kosong. Aku memutuskan untuk duduk di bangku ketiga dari depan di barisan paling kiri. Aku meletakkan tas di samping meja dan mengeluarkan handphone untuk menghindari rasa canggung karena jujur saja aku tidak terlalu mengenal banyak orang yang ada di kelas ini, paling hanya ada beberapa—tidak sampai sepuluh orang—yang aku kenal karena mereka berada di kelas yang sama denganku ketika di tahun pertama dan tahun kedua. Lima menit berselang, aku melihat Langit baru datang. Aku melihat ke arah Langit dan aku yakin Langit tidak sengaja menatap ke arahku, mata kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Langit langsung mengalihkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang belum terisi. Sialnya, hanya tersisa satu kursi kosong dan itu berada di seberang kananku. Aku membuang nafasku pelan dan langsung mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Selamat Bulan, selamat menjalani satu tahun terakhir di sekolah ini. Semoga banyak hal baik yang datang.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/354667784-288-k994822.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit
Teen FictionBulan tidak tahu bagaimana hidup Langit. Bulan hanya sekedar tahu nama, tapi Bulan tidak tahu bagaimana kisah hidup Langit yang sebenarnya, Bulan tidak tahu bagaimana hari-hari Langit, dan Bulan tidak tahu hal-hal sulit apa yang Langit hadapi.