02

11 1 0
                                    

Pertemuan tidak sengaja pagi itu terus memenuhi kepalaku sampai hari ini hingga tiba-tiba Gia membuyarkan lamunanku dengan ocehannya. "Lo lagi kenapa sih, Bul? Gue perhatiin akhir-akhir ini lo diem banget, sering ngelamun lagi. Emang sih lo tuh biasanya diem tapi ini lebih diem dari biasanya. Ada masalah? Sini cerita. Gue takut nanti lo malah kesurupan." Oceh Gia panjang lebar disertai dengan ekspresi muka yang dibuat-buat takut ketika ia dengan spontannya berkata bahwa ia takut jika tiba-tiba aku kesurupan. "Enggak, kok. Gue nggak kenapa-kenapa." Tidak mungkin aku bilang ke Gia kalau aku sedang memikirkan orang yang namanya saja aku tidak tahu. Bisa-bisa ia heboh dan sibuk mengorek informasi mengenai anak itu.

Seperti biasa, siang ini aku makan siang di taman belakang sekolah. Tapi kali ini aku tidak sendirian karena ketika aku sampai di sana, aku melihat ada beberapa anak yang sedang duduk bersantai sembari memegang kertas dan pensil. Awalnya aku tidak menghiraukan mereka karena aku berpikir bahwa kehadiranku juga tidak akan mengganggu mereka jika aku tidak menimbulkan keributan. Aku menyantap roti isi kesukaanku sambil membaca buku yang aku beli kemarin. "Langit, sini!" teriak salah satu anak yang berada di perkumpulan itu. Kemudian dengan spontan, aku juga menoleh ke mana suara itu ditujukan. Detak jantungku berdetak lebih cepat lagi dari biasanya. Langit. Nama si "salah kostum" itu Langit.

Informasi paling krusial yang aku butuhkan selama ini akhirnya aku dapatkan, tentunya dengan ketidaksengajaan lagi. Aku sudah menghabiskan makan siangku sejak 15 menit yang lalu tapi aku belum beranjak dari tempat ini. Jika ditanya mengapa, aku juga tidak tahu. Mungkin aku hanya ingin melihat Langit dari kejauhan walaupun aku penasaran apa yang sedang dilakukannya bersama dengan teman-temannya. Tidak, aku bukan penguntit. Aku tidak sengaja melihatnya saat aku sedang menyantap makan siangku. Jadi jangan salah paham.

Waktu istirahat tersisa 5 menit lagi dan aku memutuskan untuk kembali ke kelasku. Aku tidak ingin terlambat hanya gara-gara memenuhi rasa penasaranku terhadap Langit. Kali ini juga, hanya aku yang menyadari pertemuan ini. Sebenarnya aku tidak masalah. Walaupun hanya dengan melihatnya dari kejauhan pun, aku sudah merasa senang. Aneh memang, tapi itulah yang aku rasakan.

***

Hari-hari berjalan seperti biasa, walaupun mungkin tidak terlalu biasa lagi karena aku sekarang sibuk mencari informasi tentang Langit secara mandiri. Aku tidak berniat untuk menceritakannya kepada Gia, Binta, dan Nina karena aku berpikir mungkin berusaha sendiri merupakan pilihan paling baik, setidaknya untuk saat ini. Hanya dengan bermodalkan satu kata nama saja tentunya tidak mudah. Ada berapa ribu orang yang memiliki nama "Langit" di negara ini dan aku hanya ingin mengetahui mengenai Langit yang berada di kelas sebelah. Aku mungkin terlihat seperti "stalker" tapi aku yakin banyak orang sepertiku di luar sana ketika mereka sedang tertarik dengan orang lain.

Mungkin jika teman-temanku tahu aku lebih memilih pilihan sulit seperti ini, mungkin mereka akan menertawakan dan mengatakan kalau aku bodoh. Aku memang tidak seberani itu untuk menceritakannya kepada teman-temanku tapi aku lebih tidak berani jika harus berkomunikasi langsung dengan Langit.

"Bul, jujur deh lo sebenernya lagi kenapa sih? Lo lebih sering ngeliat ke arah luar jendela apalagi kalo anak kelas sebelah lagi jam olahraga. Lo ada naksir salah satu dari mereka?" konfrontasi telak dari Binta yang memang lebih observan dari Gia dan Nina. Dengan bodohnya, aku malah diam bukannya mengelak pertanyaan dari Binta. Gia dan Nina pun langsung menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Gia si paling heboh pun langsung pindah duduk ke sebelah kiriku dan memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya agar aku bisa menghadap ke arahnya. Siapa?! Lo naksir sama siapa?!" Tanya Gia heboh. Begitu pun dengan Nina yang duduk di sebelah kananku sambil menarik tanganku agar berpindah menghadap ke arahnya. "Bul, lo bisa juga naksir sama orang? Gue kira lo udah mati rasa." Mataku membulat mendengar pertanyaan dari Nina. Bagaimana bisa ia menyimpulkan bahwa aku sudah mati rasa. "Gue juga masih jadi manusia normal kali, Nin." Jawabku sambil memukul pelan tangannya. Aku memang pendiam, aku memang kaku tapi bukan berarti aku tidak bisa memiliki perasaan suka terhadap lawan jenis, 'kan?

Aku bingung, apakah aku harus menceritakannya kepada teman-temanku. Tapi sudahlah, aku memilih untuk menceritakannya karena gelagatku yang aneh sudah ketahuan oleh mereka dan aku memang tidak pandai untuk menutupi perasaanku. Aku pun menceritakan semuanya kepada Gia, Binta, dan Nina. Respon pertama mereka adalah menertawaiku. Katanya mereka masih tidak menyangka bahwa aku juga bisa menyukai laki-laki apalagi ini laki-laki yang baru beberapa minggu aku lihat. Seperti yang sudah aku prediksi sebelumnya, Gia bersemangat untuk mendapatkan informasi mengenai Langit dari temannya yang juga berada di kelas yang sama dengan Langit.

Sebelum Gia bertanya dengan temannya, aku sudah memberitahu Gia pertanyaan apa saja yang perlu ditanyakan, seperti nama lengkap dan mengapa ia pindah ke sekolah ini. Aku tidak ingin terlalu mengorek informasi yang terlalu bersifat pribadi karena aku yakin jika aku berada di posisi Langit, aku akan merasa tidak nyaman jika ada orang asing yang ingin mengetahui informasi yang terlalu pribadi. Berkat Gia, aku tahu nama lengkap Langit dan mengapa ia pindah ke sekolah ini. Langit Arkana Dirgantara dan ia pindah ke sekolah ini karena orang tuanya dipindahtugaskan ke kota ini. Terima kasih, Gia.

***

Sesampainya di rumah, aku langsung mencari media sosial yang mungkin dimiliki olehnya. Aku tidak bisa menahan perasaan senang ketika aku menemukan akun Langit di aplikasi biru tua berlogo "F". Aku langsung bangun dari posisiku yang awalnya berbaring di atas kasur. Pikiranku bergulat lagi, apakah aku harus menekan tombol dengan tulisan "tambahkan teman" atau tidak. Jika aku tidak melakukannya, aku tidak bisa tahu aktivitas apa yang dilakukannya di sana. Tapi jika aku melakukannya, bukankah sangat aneh jika ada orang asing yang bahkan ia tidak tahu siapa tiba-tiba ingin melakukan permintaan pertemanan. Kira-kira aku berpikir setelah 30 menit hingga akhirnya aku memutuskan untuk menekan tombol itu. YOLO. Istilah itulah yang akhirnya aku gunakan untuk meyakinkan tindakanku yang tiba-tiba ini. Entah keberanian dari mana, aku menuliskan "add back" di kolom pesan di akun Langit dan mengirimkannya. Setelah aku menyadari apa yang telah aku lakukan, aku berteriak, dan langsung menenggelamkan kepalaku di bawah bantal.

Satu hari, dua hari, tiga hari bahkan hingga hari ini sudah seminggu aku tidak mendapatkan notifikasi bahwa dia menerima permintaan pertemananku. Banyak spekulasi yang muncul di kepalaku saat ini. Apakah ia tidak ingin menerima permintaan pertemaan dari orang asing, apakah ia sudah lama tidak membuka akunnya, atau apakah ia memang sengaja tidak ingin menerima permintaan pertemanan dariku. Namun setelah itu aku juga berpikir mungkin aku kalau jadi Langit, aku juga akan melakukan hal yang sama.

Aku tidak menyerah karena hanya tidak dihiraukan di aplikasi biru tua itu. Aku mencari sosial media Langit yang lain seperti di aplikasi burung biru. Secercah harapan lagi muncul. Aku menemukan akun Langit. Kebetulan ia baru menuliskan beberapa ciutan di sana. Karena aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung mengikuti akun Langit dan menyebut akun Langit yang berisikan tulisan "follback". Kali ini aku sangat berharap agar aku "di-notice" oleh Langit.

Lagi-lagi aku tidakdiharaukan oleh Langit. Dia masih aktif di aplikasi burung biru itu, sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya, tapi ia tidak membalas cuitan dariku. Tidak mungkin 'kan ia tidak melihat notifikasi dariku? Apakah ia sengaja tidak menghiraukanku? Tapi apa alasan ia menghindariku? Banyak sekali spekulasi muncul di kepalaku saat ini. Jujur saja, ada perasaan sedih dan kecewa dan rasa-rasanya aku ingin menangis saat ini juga.

***

LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang