Chapter 108 : Hesitation

75 7 0
                                    

Air mata tidak berhenti. Emilia menyeka wajahnya yang berlinang air mata berulang kali, mencoba mengangkat sudut mulutnya.

Kalau dipikir-pikir, dia jarang tersenyum dengan pantas di depan pria itu. Karena emosinya yang campur aduk, dia selalu memasang ekspresi muram.

Namun saat ini, dia ingin menunjukkan sikap tenang. Ia tak ingin membangkitkan rasa lelah di hati masing-masing yang sudah menguras tenaga setelah berhari-hari putus asa.

Tidak apa-apa. Aku menerimanya.

Dia ingin mengucapkan kata-kata itu, tetapi mengapa hanya air mata yang keluar?

Emilia menggigit bibirnya, menahan napas saat dia berusaha menelan gumpalan di tenggorokannya.

Melalui pandangannya yang kabur, wajah pria itu semakin dekat.

Dari aura sejuk yang terpancar dari mantelnya dan rambutnya yang acak-acakan, dia bisa membayangkan betapa putus asanya dia bergegas.

Matanya yang gelisah melihat dengan cemas di antara wajah basah dan bahu Emilia yang gemetar, sebelum akhirnya tertuju pada perut bagian bawah. Tatapannya, meski sedingin dan tenang seperti biasanya, tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang membanjiri dirinya.

Saat itu juga, kaki Emilia mulai bergerak sendiri.

Turun dari tempat tidur, kakinya segera melangkah melintasi selimut, lapangan berumput, dan jalan batu. Meskipun dia berjalan dengan hati-hati, takut dia akan tersandung, tubuhnya bergoyang tak terkendali.

Akhirnya, hanya selangkah lagi, Emilia mengulurkan tangannya ke arahnya.

Tubuhnya membungkuk dalam bentuk melengkung dan menegang saat tangannya yang gemetar melingkari punggung dan pinggangnya yang lebar. Itu adalah tindakan yang tidak pernah dia duga.

Emilia menempelkan wajahnya ke dada bidangnya, membenamkannya dalam pelukan ramahnya. Jaket herringbone dan kemeja sutra menempel lembut di pipinya yang basah.

Matanya tertutup rapat. Aroma yang familier dan detak jantung yang berdenyut memenuhi indranya.

Ya, di sinilah tempatku berada.

Seolah-olah setelah perjalanan panjang yang penuh perjuangan dan ketakutan, tujuan akhir telah tercapai dan kedamaian telah terjalin.

Matanya berkaca-kaca karena lega, dan air mata panas kembali mengalir. Mengendus dan bahunya mulai bergetar sekali lagi.

“…Jangan menangis.”

Suaranya yang kasar, seperti menggaruk lehernya, tidak mampu menghentikan derasnya air mata. Emilia terengah-engah, menyerahkan sepenuhnya beban yang tersisa hingga akhir, memindahkannya padanya.

Tubuh kecilnya melebur dalam pelukan lembut, dan Hadius tersentak sekali lagi. Sambil menghela nafas pendek, dia dengan lembut menariknya lebih dekat dengan lengannya yang digantung longgar.

“Jangan menangis.”

Suara berat itu hanya berisi kepasrahan, tidak tahu harus berbuat apa.

“…Aku tidak…menangis…karena…aku marah…atau…membencimu…”

Emilia kesulitan berbicara, suaranya pecah.

“Itu bukan karena… aku… tidak menyukaimu… tidak pernah…”

Alih-alih menjawab, dia malah mempererat cengkeramannya pada wanita itu.

“Kenapa… kenapa aku menangis… aku tidak… mengerti… aku benar-benar tidak mengerti…”

Emilia mencoba menahan isak tangis yang terus keluar, membenamkan wajahnya lebih dalam ke pelukannya.

Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku harus menangani hal ini?

[END] Love Doesn't MatterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang