Love In Silence

18 0 0
                                    

'Cinta gadis itu terpendam di relung hatinya yang sunyi,
Seperti sungai yang mengalir tenang,
Rahasia itu hanya dirinya simpan sebagai perasaan di dalam keheningan.'

———

Razia Savannah, seorang siswi SMA yang pemalu dan penuh impian. Setiap hari, setelah pulang sekolah Zia akan pergi ke taman dekat sekolahnya untuk duduk di bangku taman, mengamati matahari dan awan yang bergerak di balik pepohonan.

Di saat yang sama, Zia selalu memperhatikan seorang laki-laki tampan yang terlihat sibuk dengan gitarnya.

Dia, Yesaka Aidan. Adik kelasnya yang tidak pernah berinteraksi sama sekali dengan Zia. Namun, meskipun tidak pernah berbicara padanya, Zia merasa tertarik pada laki-laki berkulit sawo matang itu.

Setiap hari, Zia akan mengamati Aidan dari kejauhan, mencatat setiap detail tentang Aidan, dari senyum nya yang indah hingga suara merdunya saat memainkan gitarnya.

Setiap kali memperhatikan Aidan dalam diam, hati Zia akan berbunga-bunga. Apalagi setelah di cari tahu, Aidan adalah adik kelasnya yang cerdas juga berbakat.

Walaupun Zia bahagia, setiap hari dia juga berjuang dengan perasaannya yang bertentangan. Dia ingin mendekati laki-laki itu, tetapi takut akan penolakan dan kemungkinan menyakiti hatinya.

Dia mengalami konflik batin yang rumit, terjebak di antara keinginannya mengungkapkan perasaan dan rasa takut akan penolakan.

"Zia, besok bisa gak temenin gue ke toko buku di deket rumah lo?" tanya Alina berharap sahabatnya mau.

"Maaf aku gak bisa Al, besok aku mau pergi," tolak Zia.

Alina menatap Zia penuh selidik, "Jangan bilang lo mau pergi ke taman deket sekolah lagi?"

Zia mengangguk sambil tersenyum memamerkan deretan giginya.

Alina menunjukkan ekspresi tak percaya. "Padahal lo itu tiap hari kesana, masa absen sehari doang nemenin temen sendiri gak mau??"

"Bukan gitu, Al. Kamu itu kalo milih barang kadang enggak inget waktu, bisa berjam-jam. Aku bosen tau," ungkap Zia cemberut.

Kini giliran Alina tersenyum memamerkan deretan giginya sembari menepuk pundak Zia. "Gue janji deh gak bakal lama biar lo masih bisa ke taman, gimana?" Alina mengajukan tawaran yang tidak bisa Zia tolak.

"Iya."

———

"Belanjanya udah selesai, Al?" tanya Zia saat Alina mengajaknya keluar dari toko.

"Iya, kan gue udah janji gak akan lama," jawab Alina sambil memegang kantong berisi beberapa buku yang dirinya cari.

Zia mengangguk saja. "Zia, kayaknya gue harus buru-buru pulang deh, lo bisa kan jalan sendiri ke taman?" tanya Alina menatap temannya.

'Itu lebih bagus.'

Dengan cepat Zia mengiyakan, karena dirinya agak keberatan jika Alina tahu alasan mengapa Zia suka sekali ke taman.

Alina senang mendengarnya dan segera pamit, Zia memandang temannya yang mulai jauh dari pandangannya. Dan dengan cepat dia bergegas ke taman.

Di tengah hening nya suasana sore ini, Zia duduk di bangku tempatnya seperti biasa, sambil memegang botol berisi coklat panas di tangannya.

Seperti biasa, matanya tetap terpaku pada Aidan yang sedang sibuk mengotak-atik gitarnya. Tapi kali ini, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Aidan tampak berjalan menghampiri tempat Zia sembari memegang gitarnya dengan sebelah tangan.

"Maaf, boleh gabung gak?"

Zia tak menjawab, dirinya terkejut. Dia tak pernah berpikir bahwa Aidan akan mendekatinya.

"Permisi?" Panggilan Aidan menginterupsi pikirannya.

Dengan hati yang berdebar kencang, dia mengangguk, memberi izin kepada Aidan untuk duduk di sampingnya.

Saat mereka saling menatap, Aidan tersenyum melihat Zia. "Aku sering lihat kamu di sini, Kamu Zia kan? Kakak kelas 12 IPA 5 yang sering ditunjuk jadi perwakilan sekolah untuk lomba kesenian?" tanya Aidan masih setia menatap Zia.

Zia hanya bisa mengangguk, terlalu terpesona dengan Aidan sampai-sampai tidak mengucapkan sepatah kata pun.

"Aku Yesaka Aidan, salam kenal."

"Aku.... Razia."

Melihat wajah Zia yang tampak merah padam membuat Aidan heran sendiri. "Kamu kenapa?" Aidan hendak menyentuh dahi gadis itu, namun dengan cepat Zia memundurkan wajahnya dan menggeleng.

"Aku gapapa.... Kayak nya langit udah gelap, aku permisi." Zia berjalan dengan cepat tanpa menoleh kebelakang, dia tidak peduli jika Aidan menganggapnya gadis aneh atau semacamnya.

Percakapan singkat itu benar-benar membuat hati Zia berdebar kencang. Meskipun tidak lama, itu adalah momen berarti baginya.

Di tengah perjalanannya, Zia kaget melihat Alina yang berdiri  dengan kedua tangan terlipat di dada, menatapnya dengan tajam.

"Jadi itu alasannya kenapa lo gak mau absen ke taman?" tanya Alina galak dengan alisnya terangkat sebelah.

"Itu pacar lo ya? Kok lo gak cerita sama gue?" tambahnya lagi.

Zia menggeleng cepat. "Itu bukan pacar ku, Al. Tadi aja first time aku ngobrol sama dia," jawab Zia menarik tangan Alina agar berbicara sambil berjalan saja.

"Tapi gue liat reaksi lo gak kayak orang yang baru pertama kali ketemu tuh," cetus Alina kesal.

"Itu.... Karena aku suka dia."

Langkah Alina terhenti, dirinya memegang kedua pundak Zia dan menatap temannya itu. "Lo gila ya? Baru pertama kali ketemu udah bilang suka?"

Zia kembali menggeleng. "Aku udah sering liat dia dari kejauhan, aku juga udah suka dia dari lama, tapi baru tadi kita ngobrol untuk pertama kali," kata Zia di balas anggukan paham Alina.

"Kalo udah suka dari lama kenapa gak kasih tau dia aja tadi? Kan gak jadi beban buat lo."

Zia tersenyum dengan saran temannya, tapi menurut Alina itu bukan senyum kebahagiaan melainkan senyum kesedihan.

"Walaupun aku suka, aku gak mau langsung bilang kalo aku suka dia, nanti malah asing padahal baru juga ngobrol."

Bukannya tak mau, Zia masih belum berani mengungkapkan perasaannya terharap Aidan apalagi mereka baru saja memulai interaksi sebagai teman, Zia tidak ingin mengacaukan itu semua. Dan baginya, cintanya pada Aidan adalah rahasia yang harus dia simpan sendiri.

"Yah lo mah kayak cewek-cewek di sinetron," kata Alina bercanda dan Zia tertawa mendengarnya.

Zia berharap keputusannya untuk memendam sendiri perasaan ini sudah benar.

———

'Aku pernah mendengar, memendam perasaan sendiri adalah bentuk cinta yang paling dalam, aku rasa itu benar. Meskipun dalam diam kita tidak bisa bersama, aku dapat merasakan perasaan cinta itu sendiri. perasaan itu menggambarkan banyak warna di hatiku, seperti merah, biru, dan kelabu.'
-Razia Savannah.

ONE-SHOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang