Felix hanyalah seorang anak berusia 14 tahun saat itu. Ketika dirinya mengalami peristiwa kelam yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup. Ia bahkan masih marah tiap kali ada orang yang mengungkit permasalahan di masa lalunya. Felix, saat itu memang hanya remaja. Namun, ia juga seorang kriminal–begitu anggapan orang-orang. Felix yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP tak pernah menyangka bahwa ekspektasinya tentang makan siang yang sederhana bersama ibu hancur begitu saja.
Seperti hari-hari biasa, sepulang sekolah Felix akan menghampiri sang ibu di salah satu rumah keluarga pejabat kepolisian yang cukup terpandang. Kepala keluarga tersebut bahkan berstatus sebagai Kapolsek. Mengingat jabatan yang dimiliki, warga sekitar menjadi segan dan sangat menghormati mereka. Ibu Felix memang bekerja di sana sebagai tenaga serabutan. Kadang hanya diminta mencuci dan menyeterika, lalu pulang atau melanjutkan pekerjaan ke rumah lain yang memang membutuhkan tenaganya.
Felix melepas sepatu lusuh yang ia kenakan sesampainya di rumah yang ia tuju. Dengan pandangan getir, ia menatap ujung sepatu yang sudah robek. Sudah saatnya sepatu itu diganti yang baru. Namun, ia tak akan sampai hati meminta sesuatu yang akan membebani kedua orang tuanya. Ia berprinsip, selama masih bisa dipakai, kenapa harus beli yang baru?
Felix mengetuk pintu besar di hadapannya. Sekali, dua kali, hingga kali ketiga, ketukan itu tidak mendapat respons. Ia berpikir mungkin sang ibu sedang berada di dapur atau di belakang rumah menjemur pakaian. Wajar jika ibunya tidak mendengar ketukan pintu seorang anak berusia 14 tahun. Felix sendiri heran, di rumah sebesar itu, mengapa tidak dipasang bel saja.
Sembari menunggu kemunculan ibunya, Felix yang memiliki hobi membaca, memungut koran yang tergeletak di dekat pot bunga besar. Ia membaca headline koran tentang sebuah kasus korupsi yang terjadi di salah satu lembaga pemerintahan. Mata Felix membulat sempurna saat membaca nominal kerugian yang dialami. Ia yang masih polos hanya membatin, kira-kira bisa dapat berapa pasang sepatu dengan uang sebanyak itu?
Sekitar 5 menit setelahnya, Felix mendengar teriakan ibunya dari dalam, membuatnya reflek menoleh ke belakang. Dengan buru-buru ia membuang lembaran koran di tangannya. Tak peduli sopan santun, Felix berlari menerobos pintu masuk. Beruntung pintunya tidak terkunci, sehingga Felix dapat dengan mudah masuk ke dalam. Secepat mungkin Felix kecil mencari sumber teriakan sang ibu.
Butuh beberapa saat untuk ia menemukan sang ibu dalam kondisi setengah telanjang. Seorang laki-laki yang hanya mengenakan kaos putih pendek, berbadan tinggi, tegap, bahkan otot lengannya tercetak jelas, dan celana panjang yang nyaris melorot, sedang berusaha untuk melepaskan pakaian bagian bawah ibunya dengan paksa.
Tak butuh waktu lama bagi Felix untuk menyadari situasi macam apa yang saat ini ia hadapi. Ibunya berteriak meminta pertolongan dengan suara parau. Felix remaja yang marah tak mampu berpikir jernih. Ibunya dilecehkan. Kehormatan orang yang paling ia sayangi diinjak-injak begitu saja seolah tak ada harganya. Dengan pikiran yang kalut, emosi yang benar-benar tersulut, dan tak tahu harus berbuat apa, Felix meraih vas bunga kecil yang terletak di atas meja tak jauh dari tempatnya berdiri.
Langkah penuh kemarahan membawa kakinya mendekat ke arah laki-laki besar itu. Tanpa aba-aba, Felix yang saat itu hanya memikirkan keselamatan sang ibu menghantam kepala sosok laki-laki di hadapannya dengan vas bunga di genggaman.
Cairan berwarna merah kental merembes dari balik rambut laki-laki itu. Tangan Felix bergetar. Ia takut, air matanya mengalir begitu saja, sesaat setelah laki-laki di hadapannya menoleh dan menampilkan sosok yang sangat dia kenal. Ia adalah kepala keluarga pejabat kepolisian yang terhormat. Dan yang terjadi selanjutnya ... silakan tebak sendiri. Di hari itulah Felix menyadari sesuatu. Bahkan kebenaran sekalipun, bisa tunduk di bawah kuasa uang.
***
Langkah gontai Felix membawa tubuhnya ke dalam ruangan dengan cahaya remang-remang. Tangannya terulur menyentuh saklar lampu di samping pintu. Setelah lampu menyala, Felix dengan jelas dapat melihat sosok Feiza meringkuk di sofa panjang dekat meja kerja. Senyum tipis terukir di wajah Felix. Ia yang awalnya tampak murung menjadi sedikit lebih baik setelah melihat Feiza tertidur dengan selimut bergambar karakter Larva yang membungkus badannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NoEasy
Mystery / ThrillerFeiza Anastya Rukmini adalah seorang dokter spesialis forensik sebuah rumah sakit pendidikan di Kota Semarang. Keinginannya menjadi dokter spesialis forensik bermula saat menyaksikan bagaimana ibunya yang berprofesi sebagai ahli forensik tewas saat...