Prompt: "Picture Prompt (pilih satu art lalu buat cerita berdasarkan art itu) min. 100 kata."
#Darkest Mind | psychological, angst,
warning content: berisi konten sensitif; mature, self-harm, depressi, mental illness, hasutan bunuh diri
Ketika perasaan itu datang, satu-satunya hal yang kuperlukan adalah menyendiri.
Hari ini, semuanya terasa suram. Langit mendung, dan riuh hujan di kaca jendela kamar menciptakan suara yang sesak di dadaku. Aku butuh seseorang untuk bercerita. Butuh siapa pun untuk mengusir kegelisahan yang mendera. Namun, kepada siapakah kukembali selain pada kesendirian?
"Mati saja, Ofelia ...."
Dia ... muncul lagi.
Dari sudut kamar yang tiada tersorot cahaya matahari sore, Op perlahan mewujud. Berbentuk dan padat, kendati hanya aku yang bisa melihatnya. Aku tak bisa menentukan berapa umur Op. Dia bisa memposisikan diri sebagai apa saja, di mana saja. Untuk sekarang, wujud Op tetap normal seperti biasanya; tinggi jangkung, menggunakan kaos putih yang dibalut jas hitam panjang. Kerahnya tampak lusuh, seperti belum disetrika. Op menyeringai, deretan gigi runcing terpahat di sana. Hanya pada mulut dan suaranya kubisa mengetahui Op. Selain itu, wajahnya abstrak. Bagai gumpalan asap dalam kerangkeng kegelapan.
"Kamu tidak punya alasan lagi untuk bertahan," ujar Op. Deretan giginya bak jeruji tajam yang mencengkeram erat apa pun yang masuk ke dalamnya. "Jadi, Ofelia, untuk apa menunggu dalam kegelisahan?"
Pada suatu waktu aku pernah berpikir, bahwasannya aku perlu mengakhiri masa-masa kegelapan ini. Namun, di satu sisi, hidupku hanya sekali. Banyak hal yang perlu kulakukan di masa depan. Berkeliling dunia, misal. Aku perlu bangkit mengubah prinsip guna lari dari zona ini. Yah, seharusnya begitu.
Tapi Op berhasil mengelabuiku.
Tak sekali dua kali aku pernah mengiris telapak tangan dengan silet, mengigit ujung jari hingga berdarah, tahan napas sampai sesak—benar-benar pengap, membuatku ingin mati. Sensasinya begitu nikmat. Menjalar di setiap tubuh. Desiran nyeri itu membawa ketenangan. Aku berhenti memikirkan banyak hal setelah itu terjadi. Dalam semenit atau dua menit, pikiranku kosong. Itu ... menenangkan sekaligus mengerikan.
"Ayolah, Ofelia." Op berembus. Ujung jasnya menyapu lantai. Ia berdiri di sampingku. "Dunia itu terlalu kejam untukmu yang lemah."
Untukmu ... yang ... lemah ....
yang ... lemah ....
Suara teriakan terdengar di balik riuh hujan. Itu lagi. Dari dalam kamar yang dinginnya menjalar ke mana-mana, aku semakin meringkuk. Memeluk kedua lutut erat. Badanku maju-mundur. Tanganku bergetar hebat.
Op berdecak, "Bodoh. Kau hidup dalam jeruji kepalsuan orang di sekitarmu. Kau lemah, Ofelia. Seharusnya kau tahu itu. Untuk apa melangkah lebih jauh? Apa arti hidup bagimu?" Dia tertawa. Menyeringai kemudian. "Akhiri semuanya. Maka, kau akan tenang. Semuanya usai."
Ayah dan mama bertengkar lagi. Aku bosan dan muak mendengarnya. Entah apa masalah mereka berdua, hal itu membawa pengaruh buruk padaku. Aku lelah. Tolong berhenti, sekali saja. Biarkan aku melangkah tanpa terbebani banyak hal dipikiran. Aku tak bisa lagi berpura-pura di depan semua orang. Aku tak bisa lagi membohongi diri sendiri. Aku tak bisa lagi mengatakan semuanya seolah baik-baik saja. Aku tak bisa lagi ...
"Aku bisa mengantarmu ke ketenangan. Bersediakah kau, Ofelia?" Op melayang di depanku. Menyeringai bagai menemukan sebuah santapan rapuh yang tak berdaya. "Akhiri saja, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambrosia
Short Story[Antologi Cerpen - Monthly Prompt BPC] 3333 tahun lalu, aku pernah bersandiwara pada Adam; tujuan hidupku hanya satu, yaitu mengelana pada waktu. Adam lantas mempercayakan kalau aku butuh Kotak Pandora untuk mengelana. Namun, Eva melarangnya. 12 per...