(4) Perlombaan Terakhir

9 1 0
                                    

Akhirnya aku mengetahui sejarahnya bagaimana, ternyata Elin juga sudah tau kalau aku Perwana cukup lama. Aku heran bagaimana dia bisa tau, aku beri tahu ke kalian apa yang aku bicarakan tadi pagi. Dan kabar baiknya adalah aku dapat izin dua minggu, entah bagaimana caranya agar aku, Sila, dan Ririn bisa menjalankan misi. Aku ceritakan dikit bagaimana kita ber-empat berbicara soal Perwana.



Jadi ketika aku masih berumur 4 tahun, kalung kerang yang disimpan Ibukku berdenyar mengeluarkan cahaya. Ayahku sebelumnya tidak mengetahuinya, Leluhur dari Ibukku lah salah satu orang penting. Ayahku dan Ibukku merahasiakannya kepadaku hingga hari ini. Bahkan aku yang mengira itu hanya kalung biasa ternyata merupakan kalung yang membawaku ke dunia fantasi. Elin memberikanku beberapa tahun lalu karena agar aku tidak terkejut jika dia memberikannya sekarang. Sebenernya masih banyak tanda tanya Cuma aku menanggapi nya dengan baik. Aku akan melakukan misi hari senin, tapi kami tidak langsung melakukan misi itu.



Sebenernya kami hari senin perlu ke Asrama Perwana yang letaknya di Hutan Mangrove, perlu arahan karena kami tidak tahu apa-apa. Aku juga belum mampu menggunakan kekuatanku sepenuhnya, aku nanti hanya jadi beban bagi Sila dan Ririn.



Sampailah aku di Sekolah. Hari terakhir di minggu ini, aku berharap bisa melalui nya dengan baik dan tidak ada serangan monster. Aku memakai kemeja coklat dan celana jins. Aku baru ingat jika hari ini akan ada lomba terakhir yaitu petak umpet, jadi tim pencari yang berjumlah tiga sampai lima orang akan membawa senapan nerf . Dan yang main akan berjumlah kemungkinan seratus orang lebih, karena per kelas hanya mengirim lima orang untuk menjadi yang sembunyi. Aku menginjakkan kaki di lantai pertama kelasku, melihat Ririn seperti sedang mengarahkan sesuatu ke depan kelas.



Aku duduk disebelah Sila yang merupakan teman sebangkuku, aku menyapa nya seperti "hi" kemudian dia bersenyum kepadaku. Kami satu kelas mendengarkan arahan dari Ririn yang menyampaikan bahwa setiap kelas mengirim lima orang. Dia menulis di papan tulis siapa aja yang mau ikut. Instingku yang kuat menggerakan badanku untuk maju ke depan papan tulis. Aku menulis namaku, Sila dan Ririn. Tentu sisa dua orang lagi, kemudian cewek paling judes dikelas berdiri menulis namanya tentu tinggal satu orang. Ketika dia kembali ke mejanya, dia pasang muka sinis kepadaku seperti menisyaratkan Orang ini lebih baik dihapus dari nama papan tulis tentu tidak ngaruh. Karena Ririn dekat denganku, tidak segampang itu.



Ririn mengulangi kalimatnya, "Kurang satu personil siapa mau mengajukan diri?". Seisi kelas hening, aku merasa mereka tidak peduli dengan kehadirannya. "KUULANGI SIAPA YANG MAU IKUT?". Gopal mengajukan diri, berdiri tegak mendorongku menatap papan tulis. "Heii, apa-apaan..". Dia kemudian memegang spidol menuliskan namanya, mencoret silang namaku dipapan tulis. "Diam kau brengsek, kau tidak layak."



Ririn geram, "HEI..Aku ketua kelasnya aku berhak mengatur situasi ini. Kamu boleh ikut tapi jangan hapus nama Cendana. Hapus saja nama temanmu Ito itu". Dia langsung menghapus namanya, "Aku tidak peduli dengan lomba sialan ini, kamu ketua kelas yang gak becus." Aku geram, kepalanku sudah siap untuk menonjok dia dari belakang. Tapi ketika aku melihat tatapannya seperti menyaranku untuk Biarin dia Cendana, kamu kan manusia super. Anggap aja kamu Peter Parker. Sekelompok geng mereka kemudian sedang berbincang sesuatu sepertinya untuk membunuhku.



Hal baik yang aku lakukan hari ini yaitu menyarankan Ririn untuk diam, menenangkan diri. Biarkan situasi ini berlarut, aku mencoba membujuk dia untuk ke lorong. Aku menyangga tanganku dipegangan pembatas. "Rin, semua akan baik-baik saja. Jadi ketua kelas emang tidak gampang. Aku sungguh mengapresiasi". Dia tersenyum yang selalu menunjukkan gigi gingsulnya, "Terima kasih sudah menenangkanku, aku berhutang satu kebaikan kepadamu". Aku mengambil permen mint dari saku kemejaku, memberinya langsung kepadanya. "Mungkin ini bisa membuatmu segar". Dia tertawa kecil, aku senang melihatnya bahagia. Aku berharap aku bisa melalui kelas VII, VIII, IX SMP, SMA dan mungkin satu kuliah dengannya.

Cendana dan Kalung Kerang : Hilangnya Artefak sang LeluhurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang