Bab 13

759 44 0
                                    

"Kerjakan semuanya dengan rapi tanpa ketahuan. Mengerti?"

" ... "

Fiona menurunkan ponselnya dari telinga selepas berbicara dengan seseorang di telepon. Ia lantas memasukkan ponsel itu ke dalam saku cardigan cokelat tua yang dikenakannya sebelum Bibi Sul datang dan memergokinya sedang menelepon.

Jam hampir menunjuk angka tujuh. Fiona punya firasat jika Edgar akan kembali sebentar lagi. Setelah kejadian kemarin malam, pria itu pasti berusaha dengan keras untuk memperbaiki keadaan.

Terdengar suara ketukan pintu, lantas disusul kemunculan Bibi Sul yang hendak memberitahukan jika makan malam telah siap.

"Makan malam sudah siap. Apa Nyonya mau makan sekarang?"

"Aku akan menunggu suamiku pulang. Bibi pergi saja. Nanti aku hubungi jika aku butuh bantuan," ucap Fiona.

"Baik, Nyonya."

Bibi Sul mundur dua langkah ke belakang, lantas memutar tubuh dan berlalu dari kamar Fiona. Wanita itu membuka dan menutup pintu kamar dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang bisa mengganggu ketenangan.

Suasana kembali hening di dalam kamar. Namun, itu hanya berlangsung beberapa saat. Beberapa menit kemudian telinga Fiona menangkap suara deru mobil milik Edgar memasuki halaman rumah mereka. Sesuai dengan prediksi Fiona, pria itu pulang tepat waktu.

Fiona memutar kursi rodanya. Tampaknya wanita itu sedang bersiap menyambut kedatangan Edgar.

"Kamu sudah pulang?"

Begitu pintu kamar terbuka dan muncullah sosok Edgar, Fiona menegur pria itu dengan seulas senyum manis terukir di bibirnya yang terpoles lipstik merah hati. Fiona juga mengurai rambut panjangnya malam ini dan sengaja tampil dengan riasan yang sedikit tebal dari biasanya.

Edgar kaget melihat sambutan Fiona, tapi hanya sebentar. Pria itu berjalan ke arah nakas dan menaruh tasnya sebelum menghampiri kursi roda Fiona.

"Ya, aku berusaha menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat hari ini," ujar Edgar setelah mengecup kening Fiona. Pria itu baru menyadari sesuatu sedetik kemudian. "Di mana bunga mawarnya? Apa Bibi Is menaruhnya di tempat lain?" Pandangan Edgar menyapu seluruh ruangan. Namun, ia tak mendapati sisa-sisa buket bunga mawar yang ia bawa tadi siang. Edgar bertanya-tanya apa Bibi Is lupa melaksanakan perintahnya.

"Maafkan aku. Aku menyuruh Bibi Sul menyingkirkannya," balas Fiona. Wanita itu memasang wajah cemberut.

"Kenapa? Kamu tidak suka bunga mawarnya?" Edgar mencecar cepat.

"Bukan. Dulu aku memang sangat menyukai bunga mawar, tapi semenjak kecelakaan itu aku jadi membencinya." Fiona menghela napas. "Saat aku pertama kali membuka mata setelah koma, aku mendapati begitu banyak bunga di sekitarku. Tapi sekarang, aku merasa setiap melihat bunga, apapun itu, aku akan kembali mengingat momen itu. Kecelakaan, rumah sakit, kenyataan kalau kedua kakiku lumpuh... Aku menjadi sangat sedih jika harus mengingatnya," tutur Fiona terdengar menyayat perasaan.

Edgar bisa memahami apa yang dirasakan istrinya. Setiap kejadian buruk akan meninggalkan jejak di hati seseorang.

"Seharusnya aku yang minta maaf, Sayang. Aku tidak tahu kalau kamu sangat sensitif terhadap bunga. Sekali lagi maafkan aku," ucap Edgar tulus. Pria itu merangkul pundak Fiona, lantas mencium puncak kepalanya.

"Tidak apa-apa, Ed. Jangan meminta maaf seperti itu. Tanpa kamu meminta maaf pun, aku pasti akan memaafkan kesalahanmu. Apapun itu," tandas Fiona.

Pernyataan Fiona sontak membuat tubuh Edgar membeku. Fiona akan memaafkan Edgar untuk kesalahan apapun. Apakah maaf itu juga berlaku untuk kesalahan Edgar yang telah menduakan cinta Fiona?

"Bagaimana kalau kita makan sekarang?" tawar Fiona seolah mencairkan kebekuan Edgar.

"Ah, iya. Tunggu sebentar. Aku akan ganti pakaian dulu."

**

"Kudengar kamu pergi ke perusahaan tadi siang. Apa ada masalah di perusahaan?"

Sembari menikmati makan malam, Edgar mengisinya dengan obrolan ringan.

"Tidak ada. Aku hanya merasa bosan di rumah," balas Fiona dengan sikap wajar. "Maaf aku tidak meneleponmu lebih dulu. Kalau tahu kamu akan pulang, aku tidak akan pergi ke mana-mana tadi," imbuh Fiona.

"Seharusnya aku yang menelepon kamu lebih dulu sebelum pulang. Tapi tak apa. Lain kali aku akan menelepon," ujar Edgar. "Sayang ..."

"Hm?"

"Bisakah kamu mengajak Bibi Sul saat kamu pergi keluar?" Edgar meluncurkan kalimat ini dengan hati-hati. Ia tidak ingin terdengar posesif di hadapan Fiona.

Fiona tertegun menatap suaminya. Pikirannya butuh waktu untuk mengurai maksud kalimat Edgar.

"Maksudnya?"

"Maksudku... Jangan pergi berdua saja dengan supir pribadimu. Kamu sudah terbiasa dibantu Bibi Sul, kan?"

"Kamu cemburu?" desak Fiona seketika menyudutkan Edgar.

Edgar terdiam. Ia benar-benar tertohok, tapi enggan untuk mengakuinya.

"Krisna itu bukan orang lain. Dia temanku sejak kecil. Dia bukan orang jahat yang akan menyakitiku. Aku sangat memercayainya seperti aku memercayai kamu, Ed," tandas Fiona membela harga diri Krisna. Dan memang kenyataannya seperti itu. Krisna tidak pantas mendapat tuduhan buruk dalam bentuk apapun.

"Aku tahu. Aku hanya tidak mau orang lain berpikiran negatif terhadap kalian." Edgar masih bisa menemukan alasan tepat untuk menutupi perasaannya.

"Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangku. Aku hanya peduli dengan apa yang kamu pikirkan tentangku. Kamu memercayaiku, kan? Ed?" Fiona melepaskan sendok dari tangannya, lantas meraih genggaman Edgar.

"Tentu. Aku memercayaimu, Sayang."

"Terimakasih, Ed. Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu, Sayang."

***

MY DANGEROUS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang