Bab 2

1.2K 44 0
                                    

"Jam berapa sekarang, Bi?" Fiona, wanita cantik berusia 28 tahun itu bertanya pada Bibi Sul, asisten rumah tangganya. Fiona tak menoleh sedikitpun pada Bibi Sul dan terus menerawangkan tatapan kosongnya ke satu titik di hadapannya. Sebuah dinding kaca tegak beberapa jengkal di hadapan Fiona. Tirainya terbuka dan menampilkan pemandangan angkasa malam tanpa bintang.

Bibi Sul mengeluarkan sebuah ponsel dari saku celemek yang dipakainya.

"Jam delapan lewat empat puluh lima menit, Nyonya," jawab Bibi Sul seperti yang tertera di layar ponselnya. Fiona suka jawaban detail dan bukan sebaliknya.

"Tolong panaskan lagi makanannya," suruh Fiona lagi-lagi tanpa menoleh ke arah Bibi Sul yang sedari tadi berdiri di belakang kursi rodanya, menunggu perintah majikannya.

"Baik, Nyonya." Bibi Sul mundur beberapa langkah, lantas berlalu meninggalkan kamar Fiona. Wanita itu berjalan dengan hati-hati, begitu juga saat ia membuka dan menutup kembali pintu kamar Fiona. Sebisa mungkin Bibi Sul meminimalisir suara yang dihasilkan oleh gerakan tubuh atau gesekan sepatunya dengan lantai.

Sepeninggal Bibi Sul, ruangan itu kembali senyap. Tidak. Bahkan saat Bibi Sul berdiri di belakang kursi rodanya, suasana di kamar itu juga hening. Ada Bibi Sul atau tidak, tak berpengaruh pada situasi kamar Fiona.

Fiona masih menatap langit malam dan belum berpikir untuk sekadar mengalihkan pandangan, apalagi memutar kursi rodanya. Wanita itu terlalu nyaman dengan apa yang ia lakukan sekarang. Hal semacam itu seolah sudah menjadi rutinitas Fiona, bukan hanya saat malam hari, tapi nyaris sepanjang hari.

Kecelakaan dahsyat yang dialami Fiona tujuh bulan lalu, telah mengubah segalanya. Bukan hanya fisik Fiona, tapi juga kejiwaannya. Pasalnya akibat kecelakaan itu, Fiona mesti kehilangan kebebasannya untuk bergerak. Oleh dokter kedua kaki Fiona divonis lumpuh. Alhasil Fiona harus menggunakan kursi roda di sepanjang sisa hidupnya. Meski begitu, masih ada segelintir dokter yang menyarankan agar Fiona menjalani terapi meskipun peluang kesembuhannya sangat kecil. Alih-alih pergi menjalani terapi, Fiona memilih untuk tidak menghiraukan saran tanpa harapan itu.

Dan semenjak kecelakaan itu, hari-hari Fiona menjadi kelabu. Ia berubah menjadi pemurung dan tak banyak bicara. Ia jarang keluar rumah dan Fiona juga hampir tak pernah tersenyum selama tujuh bulan terakhir. Fiona benar-benar menjadi orang yang berbeda pasca kecelakaan itu. Orang yang paling merasakan dampak perubahan Fiona adalah Edgar, pria yang dinikahi Fiona dua tahun lalu.

Orang-orang mungkin menyebutnya sebagai sebuah keberuntungan bagi Fiona karena sampai hari ini Edgar masih ada di sisi wanita itu. Demi melihat kondisi Fiona yang seolah tanpa harapan, bukannya pergi meninggalkan wanita itu, Edgar justru tetap setia mendampingi Fiona. Di mana lagi Fiona bisa mendapatkan pria setia dan tampan seperti Edgar? Namun, apa Fiona juga menyebut ini sebagai keberuntungan?

Selang lima belas menit berlalu, telinga Fiona mendengar suara derit pintu gerbang dibuka, lantas setelahnya disusul dengan suara mobil memasuki halaman. Edgar pulang. 

Sebagai seorang pengacara, Edgar tak punya jadwal tetap kapan ia pulang ke rumah. Tapi, sebisa mungkin Edgar menuntaskan pekerjaannya sebelum jam tujuh malam.

"Sayang?"

Suara Edgar memecah keheningan di dalam ruangan yang dihuni Fiona beberapa saat kemudian. Pria itu berjalan ke arah tubuh Fiona yang sedang terduduk di atas kursi roda.

"Kamu menungguku?" sapa Edgar, lantas mendaratkan kecupan hangat di kening istrinya.

"Kamu pulang?" lirih Fiona tanpa memperlihatkan ekspresi bahagia atau semacamnya di depan Edgar.

"Maaf, aku sedikit terlambat. Tadi aku mampir ke kafe untuk membeli muffin cokelat kesukaanmu. Dan kamu tahu apa yang terjadi? Seseorang telah menabrak mobilku dari belakang. Aku meminta pertanggungjawaban pemilik mobil itu, tapi dia melarikan diri. Aku juga tidak sempat mengambil fotonya," papar Edgar menjelaskan kronologis kejadian yang ia alami sebelum kembali ke rumah.

"Apa kerusakannya cukup parah?"

Edgar menggeleng.

"Tidak. Tapi harus diperbaiki secepatnya. Aku akan membawanya ke bengkel besok."

"Kenapa tidak menyuruh orang untuk membawanya ke bengkel? Kamu bisa menggunakan mobil yang satunya, kan?"

"Iya, kamu benar." Edgar menuruti saran Fiona.

"Apa kamu sudah makan? Aku tadi meminta Bibi Sul agar memanaskan makan malam."

"Belum."

"Kalau begitu, ganti pakaianmu dan kita makan malam setelahnya."

Edgar mengangguk. Pria itu sekali lagi mencium kening Fiona sebelum pergi menjauh untuk berganti pakaian.

***

MY DANGEROUS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang