Bab 23

1K 56 3
                                    

Langkah-langkah Edgar terasa begitu berat ketika memasuki ruang tamu. Seperti ada bola besi yang terikat pada kedua kakinya hingga ia harus menyeretnya ketika berjalan. Sebentar lagi ia akan bertemu dengan Fiona. Apa yang harus ia katakan untuk membuka percakapan dengan Fiona dan menjelaskan semuanya? Bagaimana cara untuk meyakinkan wanita itu agar bisa menerimanya kembali?

Langkah kaki Edgar terhenti usai pria itu membuka pintu kamarnya. Tadi ia sempat membayangkan Fiona sedang menangis tersedu dengan kedua mata sembab dan pipinya yang basah oleh air mata. Namun, dugaan Edgar salah besar. Fiona terlihat baik-baik saja. Wanita itu sedang duduk di atas kursi rodanya dan tampak menikmati pemandangan langit dari balik dinding kaca.

"Kamu sudah pulang?"

Fiona bahkan menegur Edgar lebih dulu. Wanita itu menyisipkan seulas senyum di bibirnya yang dipoles lipstik merah muda. Ia terlihat sehat dan seolah tak pernah tahu apa-apa. Atau mungkin Fiona memang belum tahu kabar yang beredar luas di media sosial?

"Ada apa? Kamu pulang lebih awal hari ini," cecar Fiona dengan wajah polos.

"Aku hanya sedikit lelah hari ini," ucap Edgar seraya beringsut maju.

"Apa kamu sudah makan?"

"Belum." Di situasi yang Edgar alami saat ini, mana mungkin ia bisa menelan makanan? Minum air saja terasa bagai duri baginya.

"Kebetulan aku ingin makan malam bersamamu," ujar Fiona tampak sukacita.

"Ya. Aku akan ganti pakaian dulu. Kamu tunggu di meja makan, ya?"

Fiona mengangguk setuju.

Fiona memenuhi janjinya untuk tidak membaca buku lama itu ketika malam hari. Dan ia masih terjaga hingga detik ini.

Setelah berganti pakaian, Edgar bergegas menuju ke ruang makan. Fiona telah lebih dulu pergi ke sana.

Tak seperti biasanya, kali ini Edgar merasa luar biasa canggung ketika mengambil tempat duduk di hadapan Fiona. Ia bahkan enggan menatap wajah dan sepasang mata milik Fiona.

"Kata dokter aku sehat," beritahu Fiona memulai percakapan.

"Oh." Edgar bahkan melupakan soal itu. Ia juga lupa untuk menanyakan pada dokter tentang kondisi Fiona.

"Kamu tidak perlu mencemaskan keadaanku," imbuh Fiona.

"Ya," balas Edgar singkat. Tangannya mulai bergerak untuk menyuap. Gerakannya sedikit kaku.

"Aku juga sudah tidak membaca buku itu saat malam." Fiona berucap lagi.

"Aku senang mendengarnya."

"Oh, ya. Bagaimana pekerjaanmu? Apa semuanya baik-baik saja?"

Tangan Edgar berhenti bergerak. Sejenak pria itu membeku. Namun, sedetik kemudian ia mengangkat dagu. Apa Fiona sudah mengetahui kabar itu, tapi sedang berpura-pura, batin Edgar berusaha mengartikan setiap ekspresi yang ditampilkan wajah Fiona.

Sebelumnya Fiona hampir tak pernah bertanya tentang pekerjaan Edgar.

"Tidak begitu baik," tandas Edgar dengan suara lemah.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" Kening Fiona mengerut. Wanita itu terlihat ingin tahu.

"Seorang klien memutuskan berhenti memakai jasaku," ungkap Edgar tak menutupi apa yang terjadi.

"Benarkah?" Fiona melotot karena terkejut. "Tapi kenapa? Apa ada masalah?"

Edgar menggeleng. Ia bisa menebak jika klien itu telah melihat berita di media sosial dan berubah pikiran karenanya. Akan tetapi, Edgar tak bisa berterus terang pada istrinya. Ia belum siap mengatakan semuanya di depan Fiona.

"Dia tidak menjelaskan alasannya. Mungkin saja dia menemukan pengacara lain yang lebih profesional."

"Oh, sayang sekali." Fiona memasang wajah cemberut. Seolah wanita itu sedang meratapi penyesalan.

Edgar membiarkan topik perbincangan itu terputus begitu saja. Ia memilih untuk pura-pura sibuk dengan makan malamnya.

**

"Sepuluh tahun lagi, apa kamu masih akan tetap mencintaiku?"

Edgar yang sedang berbaring di sebelah tubuh Fiona, tercekat mendengar pertanyaan itu. Edgar memutar kepalanya dan menatap wajah Fiona. Wanita itu tengah asyik mengarahkan pandangannya ke langit-langit kamar yang kosong.

Gelagat Fiona cukup aneh malam ini. Membuat Edgar terus bertanya dalam hati. Mungkinkah Fiona sudah mengetahuinya?

Perdebatan kecil pagi itu juga, apa mungkin semacam firasat bagi Fiona?

"Apa yang kamu bicarakan? Tidurlah. Aku sangat lelah," balas Edgar.

"Aku hanya bertanya, Ed. Sekalipun perasaanmu berubah, aku bisa memakluminya. Aku sangat tahu diri dengan kondisiku."

Diam-diam Edgar mengembuskan napas lelah. Pikirannya sedang kalut dan Fiona menambahnya dengan pertanyaan konyol. Seakan-akan wanita itu sedang memberinya isyarat jika ia sudah mengetahui segalanya.

Edgar memilih bungkam. Pria itu memejamkan erat kedua matanya dan berharap segera tertidur secepatnya. Lebih baik ia bermimpi buruk daripada mendengar pertanyaan-pertanyaan konyol dari Fiona.

***

MY DANGEROUS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang