Entah mendapat kutukan dari dewa mana, dia kembali tidak bisa menolak permintaan tolong orang lain. Bukannya belum pernah juga, tapi malamnya akan membuat dia kepikiran dan tidak enak hati. Mungkin, jangan-jangan nenek buyutnya pada masa dulu, atau apapun itu, pernah melakukan kesalahan sangat fatal sehingga berpengaruh pada 12 keturunannya yang harus menanggung balasan besar. Padahal, dia baru saja memakai kemeja hitam panjang polos dengan jeans high waist blue sky, rambut panjang dikuncir kuda, terlihat rapi untuk seukuran anak FTI yang akan berangkat kuliah, sambil menggendong backpack hitam berisi laptop.
"Kamu samperin dulu Tante Nia ke rumahnya, ya, Cia. Benerin laptop anaknya." Ratna—yang baru membereskan piring bekas makanan mereka—menarik perhatian sejenak. "Udah ditungguin, lho, dari kemarin. Malu nanti diomongin sama tetangga lain."
Fuchsia harus kumpul dengan dua temannya di sekretariat Himpunan. Dan waktunya sebentar lagi. Namun, "Iya."
"Benerin, ya, Cia. Sampai bisa dipake lagi. Mereka suka ngomongin kalau gak bisa," kata Ratna lagi sambil melepas ikatan celemek dan menggantungkannya di rak sisi kompor. "Sebentar aja, kok. Masa anak IT gak bisa, sih."
"Iya."
Dia lemah dengan stereotip satu itu.
Fuchsia berjalan lurus begitu saja, memilih memakai sneakers putihnya cepat-cepat dan menaiki motor, menyeberangi jalan menuju sebuah rumah minimalis satu tingkat dengan taman kecil di halaman, yang hanya terhitung lima bangunan dari rumahnya. Motor KLX yang biasanya ditaruh di luar itu sudah tidak terlihat, artinya anak itu sudah pergi ke SMK-nya. Bukannya, harusnya, service dadakan ini tidak jadi?
Mimpi.
Karena Nia baru saja keluar dan menyambutnya dengan sebuah senyuman lebar. "Masuk, Cia. Laptopnya gak dibawa ke sekolah, kok, sama Alfin."
Fuchsia mengangguk kikuk. Melepas kembali sepatu dan mengekori beliau, duduk di ruang tamu yang lumayan luas. Hatinya sedikit membatin. Dengan rumah seluas ini, harusnya mereka bisa bayar tukang service laptop, kan? Bukannya menyuruh si Anak Komputer Gadungan yang terpaksa terjun ke dunia IT ini untuk mengeceknya!?
Kerutan wajah tanda kesalnya seketika disembunyikan saat Nia menyimpan laptop di meja sambil berbicara, "Kemarin, jadi biru layarnya. Kenapa tuh, Cia?"
"Izin buka, ya, Tante." Fuchsia membukanya setelah disetujui. Mencoba menekan tombol power. "Ini kena bluescreen. Coba Cia restart dulu."
"Sekalian mau sarapan dulu gak?"
Fuchsia hanya menggeleng sembari tersenyum canggung, memilih fokus pada laptop silver di depannya. Jujur, sebenarnya, dia belum mencoba langsung memperbaiki layar dengan kondisi seperti ini. Dia hanya sebatas tahu teori saat mata kuliah Sistem Operasi pertemuan satu bulan yang lalu. Namun, untungnya, selang beberapa jam—meskipun sepertinya tidak secepat tukang service handal di luar sana dan ternyata tidak langsung ter-solve dengan restart—layar sudah normal kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Switch-Case
ChickLit🥈 Runner-up Cakra Writing Marathon Batch 6 Fuchsia, mahasiswi Ilmu Komputer yang mem-branding diri sebagai individu prestisius: bisa cari uang, organisasi bisa, IPK aman. Demi menghindari stereotip, "Kamu kan anak IT! Masa gitu aja gak bisa!?" Memb...