Pukul 7 malam. Fuchsia berusaha tidak mengeluarkan suara apapun begitu sampai depan rumah, mendorong motornya yang sengaja dimatikan memasuki garasi, lalu mengendap-endap memasuki ruang tamu dan membuka desk untuk menaruh kunci motor. Batas jam pulangnya belum habis, Fuchsia pun tidak akan mau cari gara-gara dengan pulang telat, tapi masalahnya ...
"Cia!"
Matanya terpejam sebentar. Kenapa, sih, dia sering ketahuan? Apa langkahnya punya microphone atau sound yang bisa mengumumkan kedatangannya?
"Dihubungi dari tadi gak bisa," komentar Ratna, berdiri di anak tangga paling akhir, sudah memakai piyama bunga-bunga berwarna tosca dengan rambut dililit handuk, terlihat baru mandi. Tangannya menyilang angkuh. Dan masalahnya, "Kenapa nggak angkat telepon!?"
Ponsel dia sempat dimatikan. Lagipula, Fuchsia tetap berada di Noona Cafe untuk rapat—bukan main. Dan begitu melihat panggilan puluhan kali dari Ratna yang menyuruhnya cepat pulang, padahal masih pukul lima sore, membuatnya mematikan ponsel kembali dan melancarkan rencana pulang diam-diam.
"Harus aktif hp-nya kalau mau pulang malam! Sekarang tidur di sini lagi, jangan pulang," titah Ratna otoriter. "Gak usah terpaku sama jadwal: satu minggu di sana, satu minggu di sini."
Fuchsia melirik takut-takut. "Mau pulang. Semalam gak bisa tidur."
Ratna menatapnya heran, menuruni anak tangga terakhir dan mengambil air mineral gelas di atas meja. "Masa? Rumahnya aja bagusan di sini, masa gak bisa tidur?"
Selalu itu pertanyaannya. Tentu bukan karena masalah rumah, nyamuk, atau hal fisik lain yang membuatnya tidak nyaman berada di rumah ini: tergantung orang di dalamnya juga.
"Gak betah," lirihnya ragu, mengusap-usap lengan dingin.
"Padahal biaya hidup kamu, semua Bunda yang tanggung. Apa-apa dari bunda. Bukan dari Bapak atau mama kamu." Ratna meliriknya sebentar, sebelum duduk di sofa dan menghadap Fuchsia. "Mereka mah mana bisa. Gak ada bunda, kamu bisa apa? Tapi cuma nginep sehari aja susahnya minta ampun. Apa lagi yang buat gak betah?"
Fuchsia bisa apa?
Bisa masuk Noona Club tanpa bantuan Ratna, tanpa relasi milik Hadi—pamannya. Setidaknya, ada satu hal, di mana tidak melibatkan Ratna maupun Hadi di dalamnya.
Fuchsia menggeleng pelan. "Aku pulang dulu. Salam buat papah."
"Se-nggak betah itu, ya, kamu? Diem bentar di sini aja gak bisa. Mama kamu gak akan marah kalo kamu di sini," kata Ratna lagi. Fuchsia hanya diam, menunduk. Masih ada desir ingin marah, tapi dia sedang tidak ingin menangis malam ini. Kadang dia pun menyesali sikapnya. Kenapa harus nangis kalau mau marah? "Ya udah, cepet sana pulang."
Fuchsia mengangguk kecil, membuka pintu utama.
"Gerbangnya tutup lagi, tapi jangan terlalu keras nutupnya. Terus besok jangan lupa suruh mama kamu ke sini. Bersihin rumah. Udah berapa hari gak ke sini?" Ratna ikut berdiri dan mengantarnya sampai depan rumah. "Di rumah aja gak ada kerjaan, kan? Suami doang yang kerja, adik bunda tuh yang cari uang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Switch-Case
ChickLit🥈 Runner-up Cakra Writing Marathon Batch 6 Fuchsia, mahasiswi Ilmu Komputer yang mem-branding diri sebagai individu prestisius: bisa cari uang, organisasi bisa, IPK aman. Demi menghindari stereotip, "Kamu kan anak IT! Masa gitu aja gak bisa!?" Memb...