"Si anak baru itu ternyata lumayan juga."
Komentar itu muncul dari Riga di sela-sela dia sedang menikmati makan siangnya. Seperti hari-hari biasa (setelah aku 'terjebak' dalam cerita nya), aku cuma melirik singkat sebagai reaksi. Riga seolah tahu bahwa aku memang tak pernah memberikan reaksi kontras untuk setiap statement yang dia katakan. Baik itu kritikannya akan kualitas guru di kelas kami. Atau bagaimana contoh soal ujian akhir sekolah yang baginya kurang masuk akal.
Riga memang seringnya tak peduli dengan reaksi siapa-siapa.
Frasa 'lumayan yang dia katakan tentang si anak baru itu bukan dalam perihal ketertarikan lawan jenis. Melainkan bicara soal nilai akademis serta sifat teladan yang terlihat pada Jinan setelah hampir seminggu lebih menjadi teman sekelas kami. Secara penampakannya, Jinan memenuhi kualisifikasi sebagai saingan Riga selama dua semester akhir kami di kelas 12 ini.
Setidaknya begitu lah menurut Riga. Dia lumayan sering mengamati dan mengawasi Jinan serta riwayat nilai-nilai sekolahnya. Bahkan kali terakhir aku mencuri lihat dari smartphone-nya, Riga iseng riset sekolah lama Jinan di Bandung yang ternyata salah satu sekolah terbaik di sana. Nama Jinan pun muncul di laman sekolah sebagai murid yang menorehkan prestasi cerdas cermat.
"Kayaknya semester ini bakal seru," ada senyum kecil di wajah Riga. Ternyata adanya saingan bukannya membuat dia gusar, melainkan tertantang. Ada kalanya si arogan ini butuh warna baru dalam dunia nya yang membosankan.
Aku tak menimpali lagi. Memutuskan mempercepat makanku sebelum bel masuk berdering. Tak akan kusia-siakan traktiran makan siang ini. Karena mood Riga cukup baik hari ini, maka dia menawariku makan siang gratis.
Setelah topik tentang Jinan tak lagi jadi pembahasannya, kali ini Riga sibuk membuka aplikasi belanja online. Melihat toko alat-alat lukis. Salah satu rahasia darinya yang kusimpan ialah tentang ketertarikannya akan seni melukis. Riga yang tampak tenang perawakan luarnya akan menjadi sosok yang berbeda saat dia melukis. Aku pernah melihatnya melukis beberapa kali, di sebuah tempat rahasia yang disebutnya sebagai studio. Dia menyisihkan uang jajannya untuk menyewa satu kosan yang sepi, di mana dia jadikan sebagai basecamp-nya untuk melukis.
Ah, itu adalah salah satu rahasia yang tanpa rencana dia bagikan padaku. Padahal selama ini kupikir dia hanya akan berada di sekitarku untuk berjaga-jaga agar rahasianya yang lain bisa aman. Adanya rahasia itu lah yang menjadi alasan kenapa aku 'terpaksa' terseret dalam arus hidup tuan muda bermasa depan cerah ini.
Aku pernah dengar banyak yang berdesis iri karena aku bisa 'berteman' dengan Riga. Menjadi teman sekelas Riga saja sudah jadi kebanggaan, apalagi bila bisa jadi teman akrab-nya. Walau aku tak bisa menyebut hubungan 'pertemanan' ku dengannya adalah sesuatu yang bersifat akrab. Sebab yang kulihat aku tak ubahnya babu yang ikut ke mana dia suruh. Menjadi orang yang akan mendengar komentarnya tentang hari ini. Karena dia tak mungkin mengajakku diskusi soal pelajaran. Dia pun tahu benar kapasitas belajar dan nilai-nilaiku yang tak pernah setara dengannya.
Andai saja orang-orang yang iri itu tahu, berada di dekat Riga adalah mimpi buruk sepanjang masa SMA-ku. Mengusik hari-hari tenangku sebelum pertemuan menyebalkan hari itu.
"Weekend ini gue mau ke studio. Lo mau ikut?" kali ini dia akan membahas soal hobinya.
Aku memperlambat tempo makan, berpikir tentang akhir pekan ini. Aku ingin mengarang alasan yang logis untuk menolak.
"Besok nyokap gue pulang." Itu alasan yang paling brilian. Orang tua. Dan aku tak bohong soal itu karena ibuku memang akan pulang dari pekerjaannya akhir pekan ini. Aku tak mungkin absen di rumah karena Ibu pasti ingin mengecek banyak hal setelah sebulan lebih bekerja di rumah majikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kita Sebut Cinta
Teen Fictiondariku yang patah hati akan dunia. darimu yang melalui hal-hal serupa. dari mereka yang menyuguhkan kisah berbeda. cinta selalu jadi alasan. setiap hati yang kosong, setiap hati yang dirundung kecewa. lalu ada gebu yang menelusup, dengan kurang aja...