Warung Makan Abbah #5

89 10 0
                                    

= Selamat Membaca =
[ Bantu sisir typo, ya :) ]


[Desember, 1995]

Aroma masakan dengan iringan suara dentingan alat masak mengisi seluruh ruangan. Pelaku utamanya adalah seorang perempuan yang memang dengan sengaja melakukannya hanya untuk mendalami peran sebagai koki. Netranya melirik jam yang ada di dinding, menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Maknanya perempuan itu sudah ada di dapur sejak dua setengah jam yang lalu.

Kakinya melangkah ke sisi lain dapur untuk mengambil sendok. Dengan segera menyendokkan sedikit pada olahan daging yang sudah menjadi fokusnya sedari tadi. Sedikit meniup lalu tangannya mengantarkan pada indra pengecapnya. Untuk beberapa saat wajahnya menunjukkan kebingungan, memproses rasa yang ada di lidahnya.

Tanpa pikir panjang perempuan itu langsung mematikan kompor, melepas serbet dari pinggangnya lalu berjalan keluar.

"Sudah masaknya?"

Pertanyaan itu langsung tertuju padanya ketika dirinya keluar dari dapur. Matanya menatap laki-laki tua yang adalah Abbahnya dengan wajah datar. Dengan wajah seperti ini, Abbahnya pasti sudah bisa menduga apa yang terjadi di dalam sana. Tangannya menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya sampai habis. Perasaan kesal memenuhi dirinya, bukan karena pertanyaan Abbah. Kesal ini karena masakan yang dibuatnya, ini bukan kali pertama perempuan dengan rambut terikat asal itu memasak gudeg. Tiga, ini kali ketiga dirinya memasak, tetapi entah kenapa tidak memiliki rasa yang diinginkannya.

"Ini udah enak, Nduk."

Kepalanya yang ditaruh di meja sedikit mendongak. Abbah berdiri dengan tangan yang memegang mangkok kecil yang sudah pasti berisi gudeg yang dibuatnya tadi. Lidahnya juga sudah merasakan, tidak terlalu buruk, tetapi kurang memuaskan.

"Rasanya masih ada kurangnya, Bah," ucapnya malas.

Abbah menggeser kursi yang berada di seberangnya. "Sraddha, memang kamu mau rasa yang bagaimana? Kan rasa gudeg memang seperti ini."

Perempuan yang dipanggil Sraddha itu menegakkan tubuhnya. "Tetap aja kurang, rasanya kaya masih ada yang kurang tapi aku ndak tau apa," jelasnya.

"Lagi ngomongin apa, kok berisik men pagi-pagi sampai kedengaran sama bapak-bapak di luar," perkataan dari ibu Sraddha yang lalu ikut bergabung dengan mereka.

Abbah memberikan mangkok yang dipegangnya kepada istrinya. "Ini Sraddha bikin gudeg lagi, tapi katanya masih ada kurangnya. Lek kata Abbah, sih, udah pas, Buk."

Wanita paruh baya itu mengambil mangkok dari tangan Abbah dan menyicipi gudeg yang Sraddha buat. Sraddha memerhatikan wajahnya dengan teliti, ekspresinya menunjukkan ekspresi berusaha untuk memahami rasa yang ada. "Enak gini, Nduk. Memang kurangnya dimana?"

"Ndak tau, aku ngerasanya kurang aja, Buk," ucap Shraddha dengan nada belum puas.

Alasannya tetap bilang kurang adalah karena Sraddha sudah pernah memakan yang lebih enak dari yang dibuatnya ini. Sraddha ingin membuat gudeg dengan rasa yang sama enaknya, tetapi sepertinya dirinya harus mencoba lagi untuk bisa mencapai rasa yang sama.

"Bah, Abbah! Mau pesen makan," suara orang dari luar. Jam pagi seperti ini memang waktunya rumah makan milik Abbah ramai, waktunya orang-orang sarapan. Orang tua Sraddha memiliki warung makan yang buka di samping rumahnya.

Tidak terlalu luas, tetapi cukup lenggang dan konsep ruangannya lebih bersih dan tertata seperti restoran. Dengan bagian belakang yang saling terhubung, jadi orang-orang rumah bisa mudah keluar masuk warung. Dapur yang digunakan oleh Sraddha tadi juga adalah dapur warung, orang-orang sering menyebutnya Warung Makan Abbah. Seluruh masakan yang dijual adalah masakan Abbah, Ibu dan Sraddha juga membantu, tetapi kebanyakan memang Abbah sendiri yang memasak.

SRADDHA [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang