= Selamat Membaca =
[ Bantu sisir typo, ya :) ][Januari, 1996]
Langit menunjukkan semburat kekuningan pertanda sang surya akan hadir. Dengan udara yang sejuk menyapa, semakin menambah kesan suasa yang lebih tenang. Kebiasaan yang dilakukan Sraddha sebelum matahari hadir adalah memastikan setiap bunga yang ada di depan rumah dan warung makan mendapatkan air yang cukup. Abbah dan ibunya ada di dalam sedang menyiapkan makanan untuk menu warung hari ini. Dengan tangan yang menyirami bunga, Sraddha sesekali menyapa beberapa tetangga yang lewat di depan.
Setelah memastikan semua bunga tersiram air, Sraddha masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke dapur, Sraddha membersihkan warung makan lebih dulu. Padahal dirinya sudah ingin sekali masuk ke dapur dan memasak. Namun, warung makan harus bersih lebih dulu, jadi ketika makanan sudah siap nanti, kondisi tempat sudah bersih.
“Aku bisa bantu apa?” tanyanya setelah memasuki dapur.
Abbahnya yang fokus pada masakannya hanya meliriknya sekilas. Sraddha menyingsingkan lengan bajunya dan mengikat serbet di pinggangnya. “Coba icipi ini,” suruh Abbahnya.
Sraddha langsung mengambil sendok kecil dan menyicipi. Untuk beberapa saat, lidahnya mengecap, setelahnya tangannya langsung mengambil garam sedikit dan menyicipi ulang. “Udah,” katanya.
“Ini kamu bikin gorengan ndak papa, ya?” Ibunya memberikan sepiring pisang yang sudah dikupas.
Sraddha mengangguk dan menerimanya. Langsung saja Sraddha melakukan apa yang disuruh ibunya, Sraddha membuat adonan untuk pisang goreng. Kemudian menggoreng pisangnya satu per satu. “Aku udah bersihin meja-meja di depan, kalo makanannya dibawa ke depan, ndak papa.”
“Bentar, Abbah mau nge-teh dulu,” ucap Abbah.
“Tinggal pisang goreng ini aja atau masih ada yang lain?” Sraddha bertanya dengan tangan yang masih membolak-balikkan pisang goreng di wajan.
“Tinggal pisang itu aja, Nduk,” kali ini ibunya yang menjawab.
Sraddha tersenyum dan kembali fokus ke pekerjaannya. Ibunya mulai menyiapkan makanan di tempat masing-masing sementara Abbahnya masih meminum tehnya. Hari-hari seperti inilah yang dilakukan Sraddha. Sewaktu lulus dari Sekolah dulu, dirinya ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi keinginan itu hilang karena kesenangannya pada memasak. Pastinya Abbah dan ibunya berusaha membujuk Sraddha untuk berpikir kembali karena hal ini akan sangat berhubungan dengan masa depannya. Namun, keputusannya sudah sangat yakin dan dirinya tidak menyesal telah memilih untuk menekuni kesukaannya ini.
“Ada yang tau tukang jahit sepatu?”
Suara itu seperti memecah keheningan yang sejak beberapa menit lalu mengisi dapur. Suara itu juga yang membuat semua orang yang ada di sana serempak menoleh ke pemilik suara tersebut.
“Sepatuku ada yang rusak,” ucapnya lagi. Perempuan itu menenteng sepasang sepatu flat hitam yang biasa digunakannya untuk bekerja.
Melihat hal tersebut, Abbah menaruh gelas tehnya di meja. “Bawa sini, siapa tau Abbah masih bisa perbaiki,” katanya.
Perempuan yang dimaksud pun melangkah mendekatinya dengan membawa sepasang sepatunya. Tangannya diarahkan kepada Abbah, Abbah menerimanya dan mulai membalik-balikkan sepatunya dengan sangat memperhatikan detailnya.
“Nanti tak bawa aja ke tukang jahit,” gumam Sraddha.
“Sik, mungkin Abbah bisa perbaiki.” Nadanya yakin dengan mata yang masih menatap sepatu.
Menanggapi ucapannya tersebut, ketiga wanita yang ada di dapur itu tertawa bersamaan. “Abbah, Abbah, tangan kamu itu seringnya pegang pisau buat motong bawang. Ndak kebiasa pegang jarum buat jahit.” Ibu Sraddha mengatakannya dengan menggelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SRADDHA [TERBIT]
Historical Fiction- Sraddha - Keputusan tanpa rencana untuk pergi ke Yogyakarta membawa Shanum kepada satu fase yang mempertanyakan seluruh hidupnya. Jurnal merah dengan inisial SG menuntunnya pada masa lalu yang harusnya terkunci rapat dan terlupakan. Shanum, freel...