= Selamat Membaca =
[ Bantu sisir typo, ya :) ]
[ Januari, 1996 ]“Nduk, bisa tolong antarkan ini ke meja yang di sana?”
Sraddha langsung mengambil nampan yang sudah berisi sepiring nasi dengan telur dan sayur serta satu gelas teh hangat dari Abbahnya. Kakinya dengan segera melangkah menuju meja yang ditunjuk Abbahnya tadi. “Silakan,” ucapnya ramah.
Setelah mengantarkan pesanan tadi, Sraddha lalu membersihkan meja-meja yang telah digunakan. Piring-piring kotor dijadikan satu kemudian membersihkan mejanya. Minggu pagi kadang bisa seramai ini, tetapi juga kadang sepi. Entah karena faktor apa, dirinya hanya tau jika waktu pagi seramai ini membuatnya harus lebih siap untuk berjalan ke sana kemari.
“Permisi, Mbak. Boleh pesan menu gudegnya?”
Tangannya langsung berhenti ketika mendengar suara itu. Alasan pertama, telinganya bisa mengenali suara tersebut yang sama sekali tidak asing. Alasan kedua, tidak ada menu gudeg di warung makan ini, tidak setelah Sraddha menolak memasukkan masakan gudegnya ke dalam menu.
Kepalanya menengadah, matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Senyuman langsung terbit di bibirnya. “Kamu di sini?” ucapnya lirih. Di satu sisi dirinya masih belum percaya jika manusia yang dihadapannya ini benar-benar di satu ruangan yang sama, khususnya karena laki-laki yang tepat berdiri di depannya ini mengatakan tidak akan kembali setidaknya sampai lusa.
“Ya, aku di sini,” kata laki-laki itu dengan senyuman. “Boleh pesan gudegnya?”
Sraddha langsung mendatarkan bibirnya. “Kita ndak jual gudeg, Mas. Maaf, ya.” Sraddha mengambil piring-piring yang ada di meja, sebelum dirinya kembali ke dapur, dirinya menatap laki-laki itu tepat di matanya. “Tetap di sini,” ucapnya tegas.
Laki-laki yang diberikan tatapan tajam itu hanya bisa menahan senyumnya. Sraddha membawa piring-piring itu ke dapur, dalam hatinya ada perasaan aneh dan dirinya tahu alasan dibaliknya. Setelah meletakkan piring-piring itu di tempatnya, Sraddha lalu mengambil piring bersih dan menyiapkan sepiring makanan, menaruhnya di nampan dengan segelas teh. Berusaha sekeras mungkin untuk tetap biasa agar Abbahnya tidak memperhatikannya. Langkahnya dipercepat untuk sampai pada laki-laki yang sekarang tengah mengawasinya dengan senyuman.
Sraddha meletakkan piring dan tehnya di meja. “Silakan,” ucapnya sedikit keras. “Pertama, kamu bohong tentang hari kepulanganmu. Kedua, aku sudah bilang jangan datang ke sini,” ucapnya pelan dengan penekanan.
Laki-laki yang diajak bicara hanya bisa tertawa kecil karena melihat Sraddha berusaha untuk tetap tenang meskipun sebenarnya sangat panik. “Tenang, Abbahmu juga ndak akan tau kalo aku pacar..”
Sraddha langsung menyubit lengannya dengan keras sembari menatapnya tajam. “Stop!” Laki-laki itu mengusap lengannya akibat cubitan, berusaha menampilkan wajah sebiasa mungkin dan mengangguk menuruti Sraddha. “Di tempat biasa, oke?”
Laki-laki itu mengangguk sekali lagi. Sraddha lalu berpaling dan seketika menghentikkan langkahnya. Kepalanya menoleh ke belakang, matanya melihat bajunya yang sedang di tarik. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak salah tingkah, Sraddha melemparkan tatapan tajam. “Ghufran,” katanya lirih.
Laki-laki yang dipanggilnya Ghufran itu lalu melepaskan bajunya dengan tersenyum.
===
“Loh, mau ke mana, Nduk?”
Pertanyaan itu terlontar seketika melihat Sraddha sudah tampil rapi. “Abbah lupa? Ini tanggal 31,” katanya dengan menampilkan wajah kecewa.
Abbahnya berusah mengingat tanggal. “Oh, iya, kamu udah pesen, Nduk?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SRADDHA [TERBIT]
Historical Fiction- Sraddha - Keputusan tanpa rencana untuk pergi ke Yogyakarta membawa Shanum kepada satu fase yang mempertanyakan seluruh hidupnya. Jurnal merah dengan inisial SG menuntunnya pada masa lalu yang harusnya terkunci rapat dan terlupakan. Shanum, freel...