Amato, sungguh beruntung. Memiliki sulung seperti Halilintar.
Pria tua dengan usia mencapai kepala lima itu berdiri menghadap senja, sang surya menenggelamkan diri di lautan, membuat kilauan pada samudra. Ombak berdesir, aroma air asin sama sekali tak mengganggunya. Ia menyunggingkan senyuman, embusan angin membelai rambutnya yang memudar termakan usia.
Disebelahnya, berdiri seorang pemuda berusia 27 tahun. Yang mendongak menatap langit merah yang mulai menampakkan pesona bintang. Memulai pertunjukan angkasa. Mulutnya sedikit terbuka, menampakkan ekspresi ketakjuban pada dirinya, matanya seolah-olah tertimpa cahaya seluruh semesta. Berpendar dibawah kungkungan jutaan bintang.
“Hali,” panggil pria tua tersebut. Membuat pemuda itu mengalihkan atensinya pada sang ayah.
“Iya?”
“Kapan kamu bakal nikah?”
Halilintar, ia tak menyangka akan dibombardir pertanyaan seperti itu, ia memejamkan mata, memikirkan berbagai diksi yang ia tuang di mesin ketik. Yang tak pernah terucap dari mulutnya, memilih berbicara dengan jemari.
“...Sampai aku yakin, ada orang yang benar-benar bakal menerima Taufan dan Blaze seutuhnya.”
Amato, pria itu tersentak. Sulungnya masih sama. Sang anak kebanggaannya. Yang sampai akhir tak pernah memikirkan dirinya sendiri, karena adik-adiknya, lebih dari dunia itu sendiri.
Lihatlah, garis wajah tua Amato, rasa bangga menyeruak di dadanya, dihimpit oleh penyesalan dan rasa sesak yang tak kunjung hilang.
Sulungnya, yang melampaui dirinya.
Amato, ia jahat. Jahat sekali, melarikan diri dari anak-anaknya, terpuruk pada masa lalu, tak pernah berbalik, sekadar untuk melihat, apakah anak-anaknya tumbuh dengan baik. Ia terlalu takut, ia menyimpan seluruh sakit itu pada dirinya sendiri. Ia tak pernah menoleh.
Meninggalkan putra-putranya yang tumbuh dengan baik, dalam asuhan sang sulung.
Yang mereka semua, dididik oleh satu orang.
Hingga, seluruh posisi itu, sudah beralih pada sang sulung, yang berperan sebagai 3 figur sekaligus. Seorang kakak, seorang ayah, dan seorang ibu.
Tak pernah Amato mendengar satupun keluhan adik-adik Halilintar mengenai pemilik netra merah itu. Tidak pernah! Bahkan Blaze, ia memang mengatakan Halilintar cerewet dan galak pake banget, tapi itu bukan keluhan, itu pernyataan fakta. Buktinya Blaze hanya cengar-cengir saat menceritakan betapa reognya Halilintar di rumah.
Bukankah Amato terlalu kejam?
Ia meninggalkan keluarga kecilnya di tangan sang sulung, berlindung dibalik kata “Berdikari” dan menumpahkan semua tanggung jawabnya untuk Halilintar.
Amato memang tidak membenci keterbatasan anak-anaknya, tapi tetap saja, bukankah itu keterlaluan karena ia menghindari seluruh fakta itu? Bukankah itu memalukan? Karena anak-anak yang tak pernah diharapkannya justru menjadi orang-orang terhebat di masa depan. Berkat tempaan Halilintar.
Bukankah itu semua seperti karma untuknya, yang selalu meragukan kondisi anak-anaknya? Yang selalu bersedih kenapa ia memiliki anak anak seperti mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
consequence | amato
Teen FictionN AMATO'S :: tentang cinta seorang ayah, untuk anak-anaknya bonus from diseaseries .